Wartawan Gadungan

ID Card Wartawan Gadungan
ID Card Wartawan Gadungan

Kemarin (17/6/2014) merupakan hari yang paling menyita pikiranku. Pada hari itulah, seorang oknum wartawan bodrek berhasil “memeras” diriku dan mengantongi uang Rp. 100.000,-. Bukan pada jumlah uang yang membuat diriku menjadi terkuras pikiran. Tapi pada tindakan diriku yang mau saja mengikuti kemauan oknum wartawan untuk memberikan uang.

Memang banyak cara untuk mencari uang, termasuk dengan cara memeras dengan berkedok sebagai wartawan gadungan. Dengan berlagak melakukan wawancara dan mengambil foto diriku, si wartawan pun melakukan aksinya. Ia bertanya-tanya soal tarif nikah. Tentu saja saya menjawab, bahwa tarif pencatatan nikah yang resmi adalah Rp. 30.000 sesuai dengan PP No. 47 Tahun 2004. Tapi sang tetap tidak percaya dengan tarif yang saya sampaikan.

Tak puas dengan jawaban saya, si wartawan pun mulai berulah. Ia mengancam akan menulis berita bahwa KUA yang saya pimpin memungut biaya nikah sebesar Rp. 500.000. Tentu saja saya tidak menerima dengan tudingan seperti itu. Tak pernah sekalipun saya atau anak buah saya memungut biaya sebanyak itu. Saya pun mengatakan bahwa berita itu sudah merupakan fitnah yang kejam.

Wawancara itu pun terpaksa diputus, karena waktu sudah mau masuk waktu sholat Jum’at dan kebetulan saya mendapat tugas untuk khotbah dan menjadi imam di mesjid dekat kantor. Sembari bergegas bersiap-siap untuk berangkat ke mesjid, tidak lupa saya menyelipkan dua buah amplop berisi masing-masing Rp. 5.000,-. Belum sempat saya pergi ke mesjid, tiba-tiba salah satu dari kedua wartawan itu masuk kembali ke ruangan saya.

“Kayak musafir aja! Masak cuma lima ribu!” cetus si wartawan dengan wajah masam. Aku pun nyengir kuda sembari membenahi sarung.

Keesokan harinya, si wartawan datang sendirian tanpa ditemani temannya yang mengembalikan amplop kemarin. Kali ini wartawan membawa draft berita yang katanya ingin ia kirimkan ke redaksi. Setelah membaca sejenak, betapa terkejut saya. Dalam tulisan itu tertulis, saya sebagai kepala KUA memungut 500.000 setiap pernikahan. Setiap datang ke tempat pengantin, saya juga ditulis meminta uang bensin sebesar Rp. 50.000,-. Tidak hanya, setiap piagam BP4, kantor kami juga dituding mengutip Rp. 100.000. Betul-betul keterlaluan!

Dengan menahan emosi, saya katakan kepada wartawan itu, bahwa tulisan itu betul-betul tidak memuat berita bohong. Fitnah. Sama sekali tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Saya tegaskan, bahwa tidak pernah sekalipun saya atau anak buah saya memungut biaya seperti yang dituduhkan.

Sang wartawan bersikukuh, bahwa berita yang ia tulis berdasarkan seorang narasumber yang tidak boleh ia ungkapkan identitasnya. Dengan berlindung pada aturan bahwa narasumber berita harus dilindungi, ia pun bersikukuh tak mau mengungkapkan identitas si narasumber.

Belakangan saya pun semakin menyadari, ternyata hal itu hanya sekedar trik si wartawan untuk mengancam dan menakut-nakuti diriku. Seolah-olah jika sudah diancam untuk diberitakan seperti itu, saya menjadi takut dan mau memberinya uang. Hal itu terbukti dengan adanya tawaran dari si wartawan bagaimana jika berita itu tidak perlu dikirimkan dengan imbalan biaya Rp 200.000. Saya menolak keras permintaannya. Saya tegaskan, mau diberitakan silakan saja. Saya juga yakin, kalaupun toh ada koran atau media massa yang memuat berita itu, koran atau media massa bukanlah media massa tingkat nasional atau tingkat lokal yang benar-benar bonafide.

Akhirnya si wartawan beralih kepada alasan bahwa ia membutuhkan biaya untuk kegiatan seminar yang dilakukan oleh teman-temannya sesama wartawan. Ia menurunkan permintaannya menjadi Rp. 100.000. Saya masih tetap ngotot untuk hanya memberi sebesar Rp. 50.000 sekedar untuk uang bensin. Si wartawan tetap menolak. Tanpa berpikir panjang lagi, akhirnya saya meminta bendahara untuk menambah sebesar Rp. 50.000 agar genap seratus ribu rupiah.

Sepeninggal si wartawan gadungan itu, saya pun jadi tercenung, kenapa saya masih bisa dikibuli oleh oknum wartawan itu. Ini menjadi pelajaran berharga buat saya. Pelajarannya adalah jangan pernah terpancing emosi menghadapi para wartawan yang datang untuk memeras. Tanyakan kartu wartawannya. Minta sampel media massa di mana ia bertugas sebagai wartawan. Persiapkan diri agar jangan sampai merasa takut, marah, dan kehilangan logika. Jangan sampai terhanyut dengan ancaman macam-macam. Apalagi jika kita yakin sama sekali tidak melakukan tindakan seperti yang si wartawan tuduhkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

9 Komentar

  1. Alhamdulillah jika antum sudah menyadari kesilafan, hal seperti itu banyak dilakukakan para orang jahat di jaman sekarang, senjata penangkal yang paling solid adalah memperbanyak dzikir, insyaallah. Maaf bukan bermaksud menggurui pak Ustadz.