Ulasan Hadis tentang Perceraian

A. Matan Hadis

1. Matan Abu Daud[1]

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ مُعَرِّفِ بْنِ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الطَّلاَقُ.

Artinya: Kami (Abu Daud) mendapatkan cerita dari Kasir bin Ubaid; Kasir bin Ubaid diceritakan oleh Muhammad bin Khalid dari Muhammad bin Khalid dari Mu’arraf in Washil dari Muharib bin Ditsar; dari Ibnu Umar dari Nabi SAW yang bersabda:”Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”

2. Matan Ibnu Majah[2]

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيِّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ

B. Para Perawi

1. Kasir bin Ubaid (w. 250 H.)

Tingkatan perawi: tepercaya (tsiqah)

2. Muhammad bin Khalid

Tingkatan perawi: dipercaya (shaduq)

3. Mu’arraf bin Washil

Tingkatan perawi: tepercaya (tsiqah)

4. Muharib bin Ditsar (w. 116 H)

Tingkatan perawi: tepercaya (tsiqah)

5. Ibnu Umar (w. 73 H)

Tingkatan perawi: sahabat/tepercaya (tsiqah)

C. Tingkatan Hadis

1. Al-Hakim: sahih

2. Al-Baihaqi: sahih

3. Al-Khatthabi: masyhur

4. Al-Munziri: mursal

5. Al-Albani: dhai’f

6. Abu Hatim: mursal pada Muharib bin Ditsar karena ia tidak menyebutkan dari Ibnu Umar, langsung ke Nabi Muhammad.

7. Hasil penelitian: sahih.

D. Asbab al-Wurud

Menurut riwayat yang paling valid, hadis ini berkaitan dengan peristiwa Abdullah bin Umar yang menikahi seorang perempuan yang ia cintai. Namun, sang ayah, Umar bin Khattab tidak menyukai anaknya itu menikahi sang perempuan. Abdullah pun mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW. Nabi SAW lantas mendoakan Abdullah, kemudian bersabda, “Ya, Abdullah, ceraikan istrimu itu!” Akhirnya, Abdullah pun menceraikan sang istri.[3]

E. Syarah Hadis

Menurut al-Asqallani perceraian yang dibenci adalah perceraian yang terjadi karena tidak ada sebab yang jelas.[4] Menurut al-Khattabi, maksud dibencinya perceraian itu karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan terjadi perceraian tersebut, seperti perlakuan yang buruk dan tidak adanya kecocokan. Jadi yang dibenci bukanlah perceraian itu sendiri, tapi hal lain yang menyebabkan terjadi perceraian. Allah sendiri membolehkan perceraian. Di samping itu, Nabi juga pernah menceraikan beberapa istri beliau, meski ada yang beliau rujuk kembali.[5]

Paralel dengan perceraian, dalam syariat Islam juga terdapat sesuatu yang halal, tapi dibenci. Hal itu seperti seseorang melaksanakan shalat di rumah, padahal tidak ada alasan yang membuatnya tidak bisa shalat di masjid. Begitu pula seperti melaksanakan jual beli di saat berkumandang azan Jum’at. Di sisi lain, setan memang paling menyukai terjadinya perceraian antara suami istri padahal perceraian merupakan sesuatu yang paling dibenci oleh Allah.[6]

Menurut Imam Nawawi, perceraian ada empat macam, yaitu wajib, haram, makruh, dan mandub (sunah).[7]

Wajib jika pejabat berwenang telah mengutus dua orang juru damai (hakam) untuk mendamaikan, tapi setelah diupayakan ternyata menurut mereka berdua yang terbaik (maslahat) adalah bercerai, maka perceraian adalah wajib.

Makruh jika tidak terjadi masalah dalam rumah tangga, tapi salah satu suami atau istri menuntut cerai tanpa ada sebab yang jelas. Inilah yang dimaksud dengan hadis di atas.

Haram jika (1) istri dalam keadaan haid sedangkan ia tidak menuntut cerai dengan ganti rugi dan tidak ada permintaan untuk diceraikan; (2) istri dalam keadaan suci dan sudah “digauli” oleh suami namun belum jelas apakah istri hamil atau tidak; (3) jika suami memiliki beberapa orang istri yang telah diatur giliran masing-masing; lantas suami menceraikan salah satu istrinya sebelum ia menunaikan giliran untuk istri tersebut.

Mandub jika sang istri tidak bisa menjaga kehormatan dirinya atau salah satu atau dua-duanya merasa tidak bisa menjalankan kewajiban yang telah diatur oleh syara’.

Dalam Umdah al-Qari, diungkapkan perceraian ada dua macam, yaitu sunni dan bid’i. Perceraian sunni adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan suci dan selama dalam keadaan suci tersebut, istri tidak pernah disetubuhi oleh suami; serta perceraian itu disaksikan oleh dua orang saksi. Perceraian bid’i adalah perceraian yang terjadi di saat istri dalam keadaan haid; atau dalam keadaan suci tapi sudah pernah disetubuhi; atau tidak disaksikan oleh dua orang saksi.[8]


[1] Sunan Abi Daud, juz 6, hal. 227.

[2] Sunan Ibnu Majah, juz 1, hal. 650.

[3] Fath al-Bari, juz 10, hal. 447 dan ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, juz 6, hal. 226.

[4] Fath al-Bari, ibid.

[5] Aun al-Ma’bud., loc. cit.

[6] Mirqah al-Mafatih, juz 6, hal. 420.

[7] Syarh an-Nawawi li Sahih Muslim, juz 10, hal. 52.

[8] Umdah al-Qari bi Syarh Sahih al-Bukhari, juz 20, hal. 225.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

8 Komentar

    1. Aya,
      Jika sepasang suami istri sudah bercerai, berarti mereka berdua tidak boleh melakukan hubungan suami istri lagi. Alasan anak tidak bisa membolehkan sesuatu yang jelas haram. Apalagi jika suami sudah memiliki keluarga yang baru. Hubungan seksual yang dilakukan sepasang insan yang sudah bercerai adalah perbuatan zina.