Transkrip Skenario Kriminalisasi KPK a la Mbah Jambrong

Berdasarkan pemberitahuan dari indra kesepuluhnya, Mbah Jambrong mengetahui ribut-ribut tentang upaya kriminalisasi terhadap dua orang ketua Komisi Pemberangusan Korupsi (KPK). Tak ayal, Mbah Jambrong pun turun gunung dan keluar dari pertapaannya di Gunung Slamet Widodo.

Saat hendak mendaki, aku sempat bertemu dengan Mbah Jambrong yang sedang minum kopi di warung Mpok Minah di kaki gunung. Ia menceritakan hasil penyadapannya terhadap beberapa pembicaraan dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam upaya kriminalisasi tersebut. Berikut petikan hasil penyadapan Mbah Jambrong yang dibantu beberapa jin penghuni Gunung Slamet Widodo.

 

Wisto ke Gadogado (23 Juli 2009)

”Bagaimana perkembangannya?” tanya Wisto Beres, mantan Jaksa Muda Investigasi di Kejaksan Gede.

“Ya, masih tetap nambahin BAP. Ini saya masih di Mabes,” jawab Gadogado, adik kandung Gorogoro Wanito, tersangka kasus korupsi yang kini buron. Gorogoro terlibat kasus korupsi pada Proyek Sistem Kencan Rame-rame Terpadu (SKRT) yang juga Komisaris PT Masasih.

“Berkas kasus ini kelihatannya minggu ini diserahkan ke Pak Ribetaja,” terang Wisto menyebut nama Wakil Jaksa Gede. “Setelah berkas diperiksa Pak Ribetaja, kita koordinasi dengan Mabes Polri. Setelah itu, kita beraksi.”

“Raja sudah dikasih tahu belum?” tanya Gadogado lagi.

“Sudah-sudah,” jelas Wisto meyakinkan. “Aku masih mencocokkan tanggal yang tepat untuk menyerahkan surat untuk beliau.”

 


Gorogoro ke Gadogado (24 Juli 2009)

”Pokoknya, sekarang Berita Acaranya harus dilengkapi,” seru Gorogoro memberikan pengarahan kepada sang adik, Gadogado.

“Iya, sudah. Sekarang sudah dibantu Pak Ribetaja, kok,”  jawab Gadogado meyakinkan sang kakak.

“Bilang sama Ribetaja, paling lambat Senin, urusan dengan kejaksaan sudah final. Setelah itu, kita beraksi.”

“Sambil kita menunggu surat untuk Raja dikeluarkan? Gitu, ya?” tanya Gadogado kepada kakak.

“Lha iya! Kamu tanyain sama Mabes, dong. Nanti malam, tanyain sama Susahno di Mabes!” Gorogoro memberikan petunjuk kepada sang adik.

 

Hari Melapataka ke Gadogado (27 Juli 2009)

“Pak, kronologinya sudah ada di Bang Warman semua,” ucap Hari Melapataka, seorang penyidik polisi ke Gadogado.

“Baguslah,” jawab Gadogado. “Tapi, sebetulnya masih ada satu saksi lagi. Namanya, Idih Lumauaja. Dia adalah orang yang diceritakan Pak Entesukarani itu lho, Pak.  Terus, ada lagi satu pembuktian, yaitu waktu Ajimu Takampuh datang ke kantor KPK, terjadi rapat. Saat itu, rapatnya berlangsung di ruang  rapat Hendra.”

Gadogado ke Kasihongkos (28 Juli 2009)

“Kos, kronologis itu jangan diberikan kepada Idih, lho!” seru Gadogado kepada Kasihongkos, seorang pengacara yang kini ia sewa. “Soalnya, Idih sudah berseberangan dengan kita. Cuma kamu harus bilang sama dia kala dia terpaksa harus jadi saksi. Soalnya, dalam skenario kita, dia kan diperintah oleh Hendra untuk menerima uang. Kalau Idih nggak mau jadi saksi, ya sudah. Idih nggak usah dilibatkan lagi.”  

 

Gadogado ke Godawati (28 Juli 2009)

“Besok saya tunggu perkembangannya. Kamu bilang sama Ribetaja, kalau Idih Lumauaja itu bajingan! Bener! Ini penting! Dia mengingkari semua skenario yang sudah kita rancang! Padahal, Entesukarani kan yang bawa Hendra waktu bertemu dengan Gorogoro.” 

Gadogado ke Pornoman  (29 Juli 2009)

“Kelihatannya, kronologis saya yang benar,” ujar Gadogado kepada Pornoman, seorang penyidik yang ikut menyusun BAP.

“Iya memang sudah benar, kok,” jawab Pornoman. “Saya juga lihat di surat lalu lintas. Saya sudah mengecek ke Imigrasi. Memang sudah benar, kok. Peristiwa-peristiwa itu sudah sesuai dengan waktu kepergian mereka ke Singapura.”

Gadogado ke Wisto (29 Juli 2009)

”Terus gimana, Pak? Mengenai Idih gimana?” tanya Gadogado kepada Wisto.

“Soal Idih sudah saya laporkan ke Iriman,” jawab Wisto tegas. “Hal ini bukan kesalahan Bapak. Kita di sini yang salah.” Iriman adalah seorang jaksa yang dituding memfasilitasi pertemuan Entesukarani dengan Gadogado.

“Iya, padahal Idih saksi kunci keterlibatan Hendra,” jawab Gadogado. “Maksud saya, Pak: Idih mengenal Hendra dari saya dan dari Pak Wisto. Kalau skenarionya seperti itu, bagaimana, Pak?”

 “Ya, nggak apa-apa,” timpal Wisto. “Kalau kenalnya dari Wisto, nggak apa-apalah.”

“Kalau kita mengikuti skenario seperti itu,” jelas Gadogado, “berarti saya mengakui hal itu kepada Jaksa Iriman. Cuma bagaimana kalau Idih menutupi siapa yang memerintah dirinya? Kan ceritanya, Entesukarani memerintahkan Idih untuk menyerahkan uang ke Hendra. Masalahnya, bagaimana kalau Idih nggak mau mengaku seperti itu? Jadi, siapa dong yang mengaku?!”

“Ya, Bapak sama Ajimu, dong, yang mengaku!”tegas Wisto.

“Nggak bisa, dong, Pak! Wong, saya nggak ada hubungannya saya Hendra.”

“Ya, ada hubungannya, dong! Kan saya dengar dari Idih tentang hubungan Bapak dengan Hendra.”

“Iya, emang saya kenal Hendra dari Idih. Tapi, masalahnya, Idih nggak mau ngaku. Saya kan juga nggak menyuruh memberikan uang ke Hendra. Jadi, gimana, nih?”

“Ya, sudah. Nggak apa-apa,” pungkas Wisto mengakhiri pembicaraan.


Gadogado ke Wisto (30 Juli 2009)

“Pak, tadi jadi ketemu Pak Susahno, nggak?” tanya Gadogado kepada Wisto.

“Jadi ketemu,” jawab Wisto. “Akhirnya, Kasihongkos yang tahu persis teknis di sana. Dia yang disuruh untuk mengompromikan masalah dengan Idih. Kasihongkos juga sudah bertemu dengan Pak Susahno. Yang penting, kita akan susah kalau Idih tidak mengaku bahwa ia diperintah Pak Entesukarani untuk memberikan uang kepada Pak Hendra.”

“Bagi saya, yang penting,” kata Gadogado, “Idih menyatakan waktu itu supaya Gorogoro membayar Hendra atas perintah Entesukarani.”

“Nah, itu!” seru Wisto.

“Masalah itu memang Bapak sudah tahu kan? Kan, saya sudah lapor ke Bapak.” jelas Gadogado.

“Wong, katanya, waktu malam penyerahan itu, Ajimu bahkan sempat dipeluk oleh Hendra. Si Ajimu dipeluk Hendra karena teriak-teriak. Sekarang, saya tanya, kok Bapak bisa ngomong gitu?” tanya Wisto ke Gadogado.

 “Bohong! Sebenarnya, nggak ada kejadian peluk-pelukan itu. Sekedar kamuflase saja,” tegas Gadogado.

“Okelah, kejadian itu memang nggak ada,” ujar Wisto. “Jadi, Idih cuma dikasih tahu, yang disuruh menyerahkan uang adalah Ajimu. Idih curiga, duitnya dimakan Ajimu.”

“Bukan soal Ajimu-nya, Pak,” sergah Gadogado. “Pada waktu Idih datang ke pergi kantor KPK, ia diminta oleh Ajimu.  Kalau saya ditanya, saya bilang, Idih memang ada di situ. Dibolak-balik aja antara Idih dan Ajimu. Toh, sama saja dua orang itu. Ajimu disuruh ngomong, bahwa Idih ada di tempat itu. Kalau skenarionya seperti, saya nggak masalah, Pak. Memang seperti itulah yang saya suruh.”

“Pokoknya,” timpal Wisto, “hal-hal yang jadi kunci sudah saya beritahukan kepada Kasihongkos. Kalau tidak ada lagi hal penting, kasus ini nggak bisa dibuat skenario seperti itu.”

“Yang penting buat saya, Pak,” imbuh Gadogado, “si Ajimu ini, dia ngurusi Andri Rakus segala. Ujung-ujungnya, Ajimu dapat perintah menyerahkan uang ke Hendra.”

“Siapa lagi, Pak? Kan jadi nggak nyambung?!” tanya Wisto.

“Begini, Pak,” jelas Gadogado. “Ajimu memerintahkan Ade Raharja untuk menyerahkan uang ke Hendra.  Kalau nggak ada yang memerintah, kan jadi nggak nyambung, bagaimana uang itu bisa diserahkan ke Hendra.”

“Memang secara keseluruhan, skenarionya tetap seperti itu,” timpal Wisto. “Tapi, kalau Idih nggak ngaku, biarin saja. Yang penting, Ajimu sama Gadogado kan mengakui cerita itu.”

“Kan saksinya kurang satu, Pak?” sergah Gadogado.

“Lho?! Kan saksinya sudah dua: Ajimu dan Gadogado,” sangkal Wisto.

“Saya bukan saksi, Pak,” Gadogado menyangkal lagi. “Saya kan penyandang dana.”

“Kenapa dana itu dikeluarkan, karena Bapak disuruh Idih, ‘kan?! Sama saja kan, ha.. ha.. ha…”

“Suruh Idih mengaku lah, Pak,” bujuk Gadogado. “Kalau berteman kayak gini, percuma saja, Pak. Susahno dari awal berangkat sama saya ke Singapura. Idih sudah tahu hal itu. Saya mengakui, tokoh bernama Toni itu saya. Yang penting, Idih nggak mempermasalahkan kepergian saya itu. Hal itu kan urusan penyidik. Yang penting, Idih mengakui bahwa dia yang memerintahkan untuk nyogok Hendra. Gitu aja.”

“Sekarang begini,” ujar Wisto dengan nada kesal, “Idih memerintahkan Ajimu untuk memberikan uang ke Hendra. Oke? Bapak dengar kan?  Sudah selesai!”

“Tapi, kalau Idih nggak bantu, kita bisa terjerumus, Pak. Dia dibenci sama Susahno.” Gadogado masih saja membujuk.

“Biarin aja! Tapi nyatanya, dia ngomong kalo dipanggil Susahno.”

 


Gadogado dengan Godawati (6 Agustus 2009)

“Tadi Pak Ribetaja telepon,” kata Godawati dengan nada ceria, “besok dia mau pijet di Depok. Ketawa-ketawa dia. Pokoknya, harus ngomong apa adanya. Kalau nggak gitu, kita yang mati. Soalnya sekarang, KPK dapat dukungan dari Raja.”

“Siapa yang harus ngomong apa adanya?” tanya Gadogado

“Ya, kita semua,” tegas Godawati. “Pokoknya, Pak Ribetaja harus kita dukung. Biar nanti KPK ditutup sekalian! Ngerti nggak?”

“Iya, iya,” sahut Gado-gado.

“Udah, deh! Pokoknya, jangan khawatir!” Godawati meyakinkan sang kekasih gelapnya itu. “Ini urusan bisa tuntas. Harus selesai. Pak Ribeaja ngomong begitu. Oh, ya, Pak Ribetaja kemarin juga ngamuk-ngamuk. Dia marah sama si Susahno yang polisi itu lho! Kan Susahno janji mau bantu kita to?! Kok tahu-tahunya dia yang nyeleweng. Nggak berani dia.”


Gadogado dengan Godawati (6 Agustus 2009)

”Iya, Sayang. Tapi ditanyain, tanda tangan itu punya siapa? Dia nggak bisa menjawab kan?! Dasar bajingan semua, Yang! Hendra itu dijerumuskan ajalah, Yang! Nggak usah ragu-ragu!”

Gadogado dengan Fulan (7 Agustus 2009)

“Menurut Susahno, kalau bisa, besok sudah keluar berita keterlibatan Hendra,” kata Gadogado.

“Tapi menurut pihak media yang kita hubungi, hal itu nggak bagus. Soalnya, pemberitaannya bertepatan Minggu. Orang sedang libur. Bagusnya Senin pagi, langsung main.”

“Mabes minta TV dikontak hari ini, supaya besok counter-nya dari Gorogoro.”

Gadogado dengan Onar Situpeang  (8 Agustus 2009)

“Nggak usah ngomong sama penyidik,” pinta Gadogado kepada Onar Situmeang. “Cuma Abang saja yang tahu, BAP Ajimu tuh seperti itu. Jadi dalam posisi dia di BAP, masih sesuai apa yang dia ketahui. Jangan sampai dia berpikir, kita berbohong.”

“Siap, Bang,” sahut Onar sigap.

“Sama harus dikaitkan hal ini: Kasus ini seperti sindikat. Idih, Ajimu, dan KPK merupakan satu sindikat untuk memeras kita. Gitu, ya, Bang.”

“Iya.”

“Intinya, si Ajimu sudah di BAP sesuai kronologis yang kita susun,” Gadogado kembali berujar. “Kenapa kok kita laporkan Ajimu itu. Kenapa sudah laporan begini, kok dia melarikan diri. Gitu lho! Dan di BAP, Idih itu nggak mengaku. Kita nggak usah ngomong. Pokoknya, Si Idih nggak tahu rencana kita.”

“Bang, nanti maksudnya di BAP, intinya adalah bahwa kita mengaku diperas.”

“Iya,” ucap Onar.

“Sekarang, jangan dibuka dulu. Maksudnya, status si Ajimu itu jangan dibuka dulu. Kita merasa, Ajimu, Edy, dan KPK sudah memeras kita. Dan kita sudah membayar apa yang mereka minta. Makanya, kenapa masalahnya jadi begini. Gitu lho, Bos.”

“Iya, deh.”

“Menurut pengakuan Ajimu, dia sudah membayar seluruh dana tersebut
kepada orang-orang KPK. Nggak tahu siapa orang KPK itu.”

“Betul.”

Asex dengan Gadogado (10 Agustus 2009)

“Secara keseluruhan, skenarionya sudah bagus. Gorogoro dikatakan nggak melarikan diri.”

“Keras sekali dia ngomongnya.”

 “Iya, keras. Tadi saya rekam omongannya.”

“Ya, sudah.  Terus, poin-poinnya tersasar, kan?”

“Sudah.”

“Pokoknya, Gorogoro dikatakan tidak melarikan diri. Bagus penjelasannya!”

“Jadi penjelasannya begini. Ini ada suatu rekayasa. Hal itu tampak dari pemanggilan para Ketua KPK jadi saksi, terus tersangka. Tenggat waktu 9 bulan. Sudah kondusif. Tiba-tiba, karena ada testimoni Pak Entesukarani, muncul pemanggilan sebagai tersangka. Secara keseluruhan, sudah oke.”

“Mengenai soal pencekalan, KPK dianggap salah sasaran.”

“Ya, dalam kasus Yunus Pasal, kok yang dicekal Gorogoro? Itu bagaimana?
Penyitaan dan penggeledahan juga salah sasaran. Dalam kasus Yunus Pasal, kok yang digeledah Masasih? Pokoknya. intinya sudah masuk semua.”

Asex dengan Gadogado dan Robot (10 Agustus 2009)

”Iya memang kasus ini berawal dari cuplikan testimoni Entesukarani. Nggak banyak, tapi intinya kita berkelit, kalau ini bukan penyuapan. Karena di awal itu, beritanya dari Entesukarani dulu, berupa testimoni itu. Jadi dia cuplik dari Entesukarani, terus baru disambung ke kita. Jadi, dijelaskan sama Onar, kalo itu bukan penyuapan. Dan permasalahannya, kedatangan Entesukarani menemui Gorogoro itu juga membawa konsekuensi Entesukarani bisa dipermasalahkan.”

“Ngomong gimana? Pengacara dari Gorogoro press release hari ini.”

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

18 Komentar

  1. melihat pembicaraan orang besar
    melihat pembicaraan orang kecil

    terlihat jurang yang sangat jauh.

    Seperti filosofi golok. Tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Begitu pula perumpamaan antara orang besar dengan orang kecil.

  2. saya udah baca tapi tetep gak ngerti, maklum kebanyakan baca Cerita Panas minta tulisan yang lengkap lagi dong bisar duduk persoalannya bisa saya mengerti,, hehehee

    Tulisan ini sengaja saya samarkan tokoh-tokohnya untuk menghindari tuduhan fitnah. Di samping itu, obrolan di telepon memang tidak mudah dirubah menjadi tulisan yang mudah dimengerti. Saya sudah berusaha agar mudah dipahami. Tapi, ya begitulah. Mungkin belum maksimal.

  3. wah saya semakin bingung pak hehehehhehe …
    pokoke cicak vs buaya deh …
    buaya kalap cicak ditelan ..

    Ternyata cicaknya melawan, buaya memang jadi kalap. Cicak ternyata banyak pendukungnya. Meski sempat ditelan oleh sang buaya, cicaknya akhirnya dimuntahkan juga.

  4. Mudah-mudahan konspirasi ini segera terungkap. Kasian rakyat awam, termasuk saya, yang jadi bingung sendiri, ini yang benar yang mana sih?? Sekilas kelihatan si Buaya yang salah. Tapi kok ya mereka yakin banget mereka benar ya? Hmm…teori konspirasi memamng benar-benar merusak pemikiran… 🙁

    Tampaknya, konspirasi ini sudah mulai terbongkar. Tinggal keberanian aparat untuk menindaknya saja.

  5. hahahaha KPK itu ditutup saja sekalian
    Biar ramai, biar kacau negeri ini
    Penyadapan bisa dihilangkan
    Korupsi bisa bebas, semaunya, sesukanya.

    Ayo dukung pembubaran KPK
    Untuk masa depan Indonesia yang penuh Korupsi
    hahahahahaha

    *tertawa sambil melelehkan air mata*

    Ini ada sapu tangan untuk menghapus air mata, Kang Adipati. Negeri ini memang mengenaskan. Hukum bisa dipermainkan oleh seorang cukong.

  6. Ada yang bilang meskipun KPK itu sendiri tidak ‘suci’ tetapi sebagian besar orang yakin bahwa KPK adalah sebuah institusi yang ‘lebih suci’ dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaan sehingga terlepas dari benar atau tidaknya kasus yang terjadi publik hanya melihat kejadian yang terjadi sebagai upaya terencana dari beberapa belah pihak untuk melemahkan dan ujung-ujungnya membubarkan KPK.

    Masyarakat sekarang ini tumbuh dalam dunia informasi yang serba cepat serta begitu haus dalam mengejar informasi sehingga amat sangat sulit untuk menutup-nutupi fakta yang ada.

    Mudah-mudahan kejadian KPK vs Kepolisian dan Kejaksaan ini bisa menjadi tonggak baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, sama seperti dengan yang terjadi di Hongkong di tahun 70-an ketika institusi semacam KPK-nya Hongkong (ketika itu baru dibentuk) harus diserbu secara beramai-ramai oleh para polisi. Namun kejadian itu justru menjadikan KPK Hongkong semakin kuat dan mendapat dukungan publik yang luas.

  7. polisi teriak maling
    maling teriak polisi
    maling teriak maling
    polisi teriak polisi

    cicak vs buaya.., yg menang kadal…
    dua2nya dikadalin…

    apa yang terlihat belum tentu itu yang terjadi…
    apa yang terjadi belum tentu itu yang terlihat…