Suatu hari seorang kerabat bertanya padaku, “Kamu pernah nggak punya uang?”
“Pernah. Bahkan sering,” jawabku santai seraya tetap memainkan jari jemari di keyboard laptopku.
“Terus gimana?” sergahnya dengan mata mendelik.
“Apanya yang gimana? Biasa aja tuh!” Aku menoleh ke arahnya dan berhenti mengetik.
“Nggak bingung? Nggak repot?” Pamanku, yang memiliki usaha rumah makan di Yogyakarta, itu seolah tak percaya.
“Ah, biasa saja. Sekarang saja, uangku tinggal seribu perak. Tak lebih tak kurang.”
Petikan dialog itu terjadi di suatu malam di rumahku. Jawabanku dalam dialog itu adalah salah satu upayaku untuk belajar memaknai hidup yang sementara ini. Setelah letih dihantam prahara hidup, aku kini mencoba menjalani hidup dengan seadanya. Ada uang, tak perlu diambil pusing. Tak ada uang, juga tak perlu diambil pusing.
Sikapku yang demikian terkadang tak bisa dimengerti atau sulit dimengerti oleh orang lain. Bahkan ibu dari anak-anakku sering kali menyampaikan protes.
“Pak, tagihan bank belum dilunasi. Cicilan kendaraan juga belum bayar. Listrik belum dibayar. Susu si bungsu sudah habis. Tagihan air bulan ini juga belum dibayar. Uang gaji sudah habis. Jadi gimana?” Demikian keluhan klise yang acap terlontar dari perempuan yang selama ini mendampingi hidupku.
“Tenang saja. Nanti juga dibayar. Nanti juga Allah ngasih rezeki,” jawabku santai sembari tersenyum.
“Bapak ini gimana, sih?! Uang lagi nggak ada, tapi bilang tenang melulu. Malah senyam-senyum,” sungut perempuanku dengan kesal. Dia memang sudah sangat hafal dengan sikapku ini. Bahkan sejak sebelum menikah pun, ia sudah sering melihat keadaanku yang terjepit dalam kesusahan. Toh, sampai sekarang aku masih hidup dan bisa tersenyum.
Hidup dalam kesempitan merupakan bagian perjalanan hidup yang sering kulalui. Tak ada yang aneh jika kemudian aku tetap tersenyum pada dunia di saat tak ada seperak pun uang di dompetku. Tak ada senyum gembira penuh jumawa saat Sang Pemilik Hidup menganugerahi rezeki pada diriku. Kita memang berasal dari ketiadaan dan kelak kembali kepada ketiadaan. Lantas jika saat ini aku tidak memiliki uang, hal itu tidaklah aneh dan bukan persoalan besar.
Ini juga mungkin perbedaan hidup di desa dengan hidup di perkotaan. Aku tak perlu takut tidak makan jika hidup di desa. Kalaupun terpaksa tak memperoleh sesuap nasi, banyak sanak keluarga yang siap membantu. Di samping itu, tak ada keinginan-keinginan aneh yang berbiaya tinggi jika tinggal di desa. Aku tak perlu makan fast food yang berharga mahal. Aku tak perlu menonton film di bioskop 21 Theatre.
Aku sendiri pernah merasakan tinggal di Jakarta selama hampir 2 tahun. Saat itu aku menjadi sekrup industri dengan bekerja sebagai “buruh” di sebuah pabrik di pinggiran Jakarta. Pulang dari pabrik, segerobak godaan dari teman-teman kerja telah siap menghadang. Mampir di tempat biliar, makan di restoran siap saji, nonton di Twenty One, dugem di diskotek. Ah, banyak nian.
Uang dan segala harta duniawi lain memang senantiasa menjadi godaan yang siap membuat seseorang terperosok dalam kegelisahan dan kenistaan. Andaikan kita memiliki uang, namun kita tidak memiliki keinginan untuk membelanjakannya, uang itu pun jadi sesuatu tak berharga. Sebaliknya, saat tak memiliki uang, dan kita terbelit oleh berbagai keinginan, maka kita pun akan dihunjam keresahan. Padahal yang sering terjadi, keinginan kita sebenarnya bukanlah sesuatu yang betul-betul kita perlukan.
Uang hanyalah alat tukar untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup kita. Tidak semua kebutuhan hidup harus terpenuhi dengan uang. Justru banyak kebutuhan hidup bisa terpenuhi tanpa harus menggunakan uang. Jadi, aku pun tak perlu dirundung kesedihan, saat uang dan harta duniawi tak berada dalam genggaman. Toh, kebahagiaan hidup memang tak tergantung pada harta dunia.
Apakah aku hanya sekedar menghibur diri sendiri? Aku hanya mencari-cari alasan atas kemalasanku untuk bekerja keras sehingga tak memiliki uang dan kelebihan duniawi? Menghibur diri sendiri adalah bentuk upaya paling realistis yang bisa kulakukan saat sebuah keinginan tak terwujud. Apalagi andaikan keinginan itu terwujud sekalipun, belum tentu hal itu akan membuatku berbahagia. Malas? Aku juga tetap bekerja seperti biasa. Berangkat ke kantor sejak pagi dan pulang sore hari. Di malam hari, aku juga masih menyempatkan diri untuk mengerjakan order terjemahan dari sebuah penerbit di Bandung.
Toh, di tengah keadaan yang tak jelas, aku masih memiliki tekad yang kuat dalam hati. Suatu saat aku harus bisa bertamu di Rumah-Nya di Tanah Suci. Meski aku juga sadar, ongkos untuk pergi ke sana tidaklah murah. Paling tidak, hal itulah satu-satunya motivasiku yang paling kuat agar diriku bekerja keras mencari rezeki. Tentu saja dengan mencari rezeki melalui cara yang halal.
Pertamax
wah Cara Bersyukur dan Ikhlas yg luar biasa….. Jadi tinggal cara menghadapinya saja to pak. matur sembah nuwun
Tabik.
Allahummaktublana alhajja wal ‘umrota fi hadzihissanah au ba’da hadzihissanah
karrot ba’da marrot
wa sahhil lana athoriqo wal wushula
ilal haromain asyarifain
makkah wal madinah.
Amiin…
Dahsyat Pak
Menjalani kehidupan dengan sabar dan penuh syukur
Rejeki telah Allah atur dan memang dengan itu kita harus menjemputnya dengan cara yang halal
Tetap tegar tanpa terjajah oleh dunia
Moga niat tulus ke Tanah Suci segera terwujud
Dahsyat, saya juga sedang proses untuk itu pak, menjalani semua dengan sabar dan tawakal, dan keinginan yang menggebu kadang malah menjadi penjara yang menyesakkan dada…
Saya punya niat untuk membawa orang tua saya ke sana pak. Orang tua saya juga termasuk gak punya uang. Gak punya uang untuk pergi ke tanah suci itu.
tapi untuk beribadah kok mahal ya pak?
mas ochid, renungannya luar biasa.
kaya adalah cukup, bukan?
dan tak banyak orang yang bisa kaya dengan cara demikian.
benar bahwa uang adalah alat tukar kebutuhan hidup, sementara tak semua kebutuhan harus dipenuhi dengan uang. (coba sampaikan pada bank kreditur saya deh. hihi)
nah, yang banyak saya saksikan justru orang yang tak sabar menghamburkan uang seakan-akan uang itu akan segera busuk di tangannya bila tak dibelanjakan.
semangat untuk menjalani hidup di dunia ini harus diringi dengan rasa syukur yang banyak . . . . . tanpa bersyukur manusia masih selalu kurang . . . . . . . . .
Salam awam(ologi).
sungguh, sebuah refleksi yang mencerahkan, mas rache. sikap nrima ing pandum (bahasa jawa) atau qanaah seperti ini yang agaknya mulai hilang. lihat saja, demi mendapatkan uang, mereka rela menggadaikan harkat dan martabat kemanusiaannya dengan melakukan korupsi atau marka up anggaran. terima kasih pencerahannya, mas rache.
aahhh pak… saya terkelu. Dan hari ini teringat lagi pada ibu saya yang selalu mengingatkan saya. Tuhan sudah menyediakan kebutuhan bagi orang yang percaya padaNYA.
“Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Tuhan.”
Ada banyak ceritanya mengenai uang ini yang juga saya sampaikan pada suami saya. Sehingga waktu saya bilang, “Pa…. uang kita tinggal sedikit”, Dia selalu berkata, “Kamu ingat kan Tuhan akan menyediakan”. Dan memang, setiap saya kekurangan, Tuhan akan memberikannya lewat tangan lain. Sayang manusia sering lupa….
EM
Seiring waktu kita mungkin akan banyak belajar bahwa bresyukur atas apa yang kita dapatkan (walaupun itu sedikit), akan menjadikan kita manusia yang ridha terhadap semua keputusan yang telah digariskan oleh Allah.
Saya jadi ingat cerita beberapa tahun lalu. Ketika itu awal bulan puasa dan dalam pikiran saya ada rencana untuk memperbaiki rumah setelah lebaran nanti. Tapi Allah berkehendak lain, pertengahan bulan puasa bapak saya dilarikan ke RS dan harus masuk ICU serta mesti dirawat selama beberapa hari. Uang yang awalnya akan digunakan untuk memperbaiki rumah harus dialihkan untuk membiaya pengobatan bapak.
Hikmah yang saya petik kala itu adalah manusia boleh berencana tapi tetap Allah yang berkehendak dan setiap rezeki yang dianugerahkan oleh Allah dalam beberapa momen memang sudah ‘menempati’ posnya masing-masing. Punya uang banyak habis, uang sedikit pun habis sehingga tak perlu terlalu risau dengan persoalan uang.
menerima apa adanya…duh saya malu
Aku juga lagi tak punya uang niy pak…tapi aku meyakini bahwa uang bukan segala-galanya. TOh sampai hari ini begitu banyak momen dimana aku kere alias tak punya uang, tapi tetap saja masih hidup kan…hehehehe
Dalam Bahasa Seorang Teman : Gusti Allah Ora Sare
Maka Jika kita orang yang percaya,sebenarnya sudah dibentangkan berkah di seluruh muka bumi yang diturunkan dari langit. Entah melalui siapa berkah itu akan datang. tak ada yang tahu. tapi janji allah tidak akan pernah diingkari.
Subhanalloh..wah..menjadi renungan yang daleem banget Pak untuk saya. Supaya kita zuhud dan tawadhu ya Pak. ..Alhamdulillah punya sahabat blogging seperti bapak. Matur nuwun nasihatnya.
Wah…makasih bang. Mo berbagi tentang memaknai hidup. Emang sulit seh, tapi harus dicoba.
Makasih
Saya selalu yakin, bahwa saya selalu lolos dalam prahara finansial ..
Adaaaa aja caranya ..
Cuma belakangan, saya kok merasa agak terjepit, kesimpulan sementara, jangan-jangan karena saya lupa bersyukur
🙂
Yang paling mengejutkan saya adalah isi beberapa paragraf terakhir. Insyaallah saya sudah menapakkan diri pada hidup penuh syukur seperti bapak. Tapi saya belum seberapa dibanding bapak, yang selain berlimpah syukur, juga ikhlas menautkan cita-cita pada perintah Allah untuk naik haji. Amin.
Amin. Mudah-mudahan dimudahkan dalam segala hal. dan Abah sama Keluarga Bisa Ke Tanah Suci.
Amin Yarobal Alamin
Selalu sabar, ikhlas dan bersyukur ya Om..
Pak, tulisannya selalu penuh inspirasi. Saya jadi malu sama diri sendiri karna terkadang saya justru menjadi seperti yang bapak ceritakan, selalu merasa kekurangan.. Padahal itu karena saya kadang disilaukan dalam membedakan mana yang kebutuhan dan keinginan. Sungguh, cara ikhlas yang bapak sampaikan sangat menginspirasi…
Doa saya semoga niat bapak (dan juga niat saya tentunya) untuk suatu saat dapat menunaikan ibadah suci ke Mekah dapat terlaksana. Amiieen..
Kaya atau miskin itu relatif…..tapi saya juga tetap pusing kalau sama sekali tak ada cadangan, karena betapapun sebagai seorang ibu rumah tangga, kebutuhan terus mengalir, dan anak-anak tak berhenti untuk disuapi.
Namun kita juga tak perlu “ngoyo” dalam mencari nafkah, sampai melupakan hal-hal penting. Jadi yang penting menurutku, adalah kata “cukup” itu yang paling bermakna.
Sungguh luar biasa perjalanan hidupmu begitu bermakna, syukroon katsir ‘ala yuktab..
wah, prinsip yg njawani sekali pak, mangan ora mangan ngumpul….
Tuhan sudah membagi rizkiNya kepada kita sesuai dengan kebutuhan untuk hidup. bentuknya bisa bermacam-macam, seperti bantuan, kesehatan, kemudahan, pertolongan, senyuman, tumpangan, dan lain-lain bahkan terkadang berbentuk uang lebih.
Sama2 Pak. Saya senang bisa sharing dengan orang sebijak Bapak.
saya senang sekali membaca ini. sangat terkesan. salam…
Sederhana itu indah kang …
hemat keinginan
memang cukup memberatkan
namun hikmahnya luar biasa..