Surat dari Michigan

Pikiranku ragu

tentang ada dan tiadaku

Bacaan Lainnya

Namun cinta mengumumkan

aku ada

— Iqbal

Rose, malam ini deru hujan salju masih saja terdengar lamat-lamat. Rinai snowfall laksana konser alam yang dipandu oleh seorang dirigen maha piawai.   Begitu ritmis dan padu. Saat ini, aku hanya ingin merenungi kembali  tapak-tapak sejarah yang kutanggalkan, Rose. Ya, hanya merenungi dan menelusuri maknanya. Bukan untuk menumpuk romantisme picik dan berkubang di dalamnya.

Sudah lima tahun waktu beringsut tak terasa  semenjak aku mengenalmu.  Suatu kurun waktu yang kukira  cukup untuk menyingkap makna aku,  kau dan persuaan kita. Terlalu usang dan berdebu rasanya catatan sejarah itu untuk dibuka kembali. Namun, aku mencoba untuk tidak terlena pada huruf-huruf lahiriahnya. Aku ingin menguak lebih dalam, apa misteri di baliknya.   Ya, makna yang memberiku sepotong pelajaran tentang hidup dan kehidupan.

Rose, lima tahun silam, kau kukenal sebagai  gadis dengan selaksa pesona. Kau hitam manis seperti penyanyi idolaku, Shanice Wilson. Lembut dan penuh percaya diri.  Dari  sorot mata yang sejuk, kau tawarkan sejuta keteduhan yang selama ini ini kucari. Keadaan keluargaku yang tak menjanjikan kasih sayang, mendorongku mendambakan kehadiranmu selalu.

Hari demi hari bergulir. Tak terasa aku pun kian merasuk di kehidupanmu. Walau tanpa sepatah pun kata cinta, aku tetap berjalan menyusuri hari-harimu dengan kepercayaan diri. Ya, semua itu lebih merupakan ilusiku daripada realita. Ilusi yang membuatku mampu mengepakkan sayap ke angkasa tanpa sadar bahwa aku masih manusia yang menginjakkan kaki di atas bumi. Pun, ilusi yang membuatku menggenggam erat keyakinan mampu meraih setangkup hatimu tanpa sadar bahwa kehidupan hanyalah sekumpulan kemungkinan.

Dalam realita, aku masih belum punya keberanian penuh untuk mendekatimu. Di keseharian kita, aku tidak intens bergaul denganmu. Aku hanya sesekali mengantar dan menjemputmu ke kampus. Dan repotnya, tatkala aku menemuimu, kau mengajak teman-temanmu. Celakanya lagi teman itu tak mau mengerti aku yang hanya ingin berdua. Kau pun tidak tahu (atau pura-pura tidak tahu?), bagaimana raut mukaku yang mengekspresikan keterusikan. Atau, kau memang sengaja, Rose. Ah, aku tak tahu pasti.

Namun, Rose, aku pun merasakan hatiku kebat-kebit ketika kau berjalan bersama teman-temanmu tanpa bisa kudekati. Ah, aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan dengan kegelisahan meronta. Lebih-lebih jika kau asyik mengobrol atau berjalan dengan teman-teman cowokmu. Tak bisa kulukiskan gemuruh di dadaku. Ingin kutemui dan kusingkirkan kau, aku tak punya nyali. Dan yang penting, aku tak punya hak sedikit pun melarangmu bergaul dengan teman-temanmu, cowok atau cewek. Antara kita tidak ada apa-apa. Kita hanya berteman.

Siang itu kau kuajak ke kantin dekat kampusmu. Kucoba bersikap sewajarnya. Sembari menyeruput Sprite, kutatap manik-manik matamu. Aku pun mengungkapkan isi hatiku. Padahal, Rose, setengah mati aku berusaha mengendalikan gejolak dalam dadaku. Tatkala kudengar jawabanmu yang menggantung, aku pun tidak kaget. Jawabanmu yang pasti ternyata harus kutunggu dua minggu. Dan janjimu itu tak bisa kutawar. Kau teguh juga memegang keputusan, Rose. Keputusan itu akan kau sampaikan via surat.

Tahu, nggak, kau, Rose? Betapa resahnya hatiku menanti jawabanmu itu. Hari-hari penantian yang sungguh tak mengenakkan. Antara keyakinan’ dan keraguan tercipta peperangan dahsyat di benakku.

Keyakinan kusematkan di dadaku kala menyimak kata-kata harapan yang kau selipkan dalam obrolan kita di kantin itu. Ya, ditambah pula kesudianmu kutemani di hari-hari sebelumnya. Walau intensitas dan kualitasnya mungkin belum bisa menelurkan keyakinan menurut kaca mata orang lain. Ah, aku terlampau percaya diri kiranya, Rose.

Keraguan juga merasuki pikiranku, Rose. Pernyataanmu bahwa kau telah mempunyai cowok seakan mengirimkan hantu keraguan yang selalu membayangiku. Hantu keraguan yang siap melumat keyakinanku. Walau menurutmu, cowok itu masih teka-teki bagimu. Namun hal itu telah cukup menusuk jantung keyakinanku.

Dan, Rose, hari yang kau janjikan tiba. Secercah, ya, hanya secercah kegembiraan mengiringi langkahku menuju rumahmu untuk mengambil surat itu. Dengan iringan kata maaf dan gumpalan mendung yang menggantung di wajahmu yang keibuan itu, kau angsurkan surat itu. Aku mulai menangkap gejala yang tak kuharapkan di sorot matamu yang meredup. Tanpa banyak basa-basi, aku pun pamit. Karena memang aku ditunggu Robert. Dia mengajakku ke rumah neneknya di luar kota.

Rose, kamu mungkin bisa menebak perasaanku saat menelusuri huruf-huruf di suratmu. Kucerna dengan hati berdebar seakan tak percaya pada jalinan kata-kata itu. Dan, Rose, seribu tusuk jarum bersarang di jantungku Laksana berenang di samudera tak bertepi, aku  terengah-engah menahan gejolak di bilik-bilik hatiku.

“Gimana, Pay?” tanya Robert. Duduknya yang di sampingku seakan tak kuketahui sedikit pun.

“Rose sial! Shit!” seruku geram. Kuremas surat itu lalu kubuang jauh-jauh di sela deras angin di samping mobil.

Robert menatapku sekilas seakan menerjemahkan sikapku barusan. Tangannya tetap lincah memainkan setir.

“Tenanglah, Pay. Cewek nggak cuma dia. Dunia nggak selebar daun jambu.” Kunyuk itu berkicau sok tahu. Klise sekali.

Taft yang kami tumpangi terus melaju. Tak peduli kegundahanku yang kian meraja di dada.

Rose, sejak saat itu, di kamus hidupku hanya ada dendam, benci serta perasaan tak dihargai sama sekali. Ah, sangat naif sekali sebenarnya. Uring-uringan dan malas kuliah jadi agenda harianku. Suatu sikap yang amat tak memecahkan persoalan.

Perhatian teman-temanku yang menyayangkan perubahan drastisku, tak kugubris sama sekali. Bermacam solusi yang mereka tawarkan tak mampu membuatku berdiri tegak. Dan Katana hadiah Papa tatkala aku bisa menjebol UMPTN, jadi ajang kompensasiku. Hampir semua event reli kuikuti tanpa berpikir resikonya. Hobi ngebutku tersalurkan di sana. Hobi yang kukurangi saat mendekatimu, Rose. Kelembutanmu meluluhlantakkan kebrutalanku.

Mungkin aku tak berbakat pembalap, Rose. Walau berkali-kali aku mengikuti berbagai event reli, aku tak pernah menggondol juara. Meski berkali-kali kuganti dan kumodifikasi mobilku. Mobil-mobil yang kuperolehi dengan mudah dari Papa atau Mama, ternyata tak kuasa mengentaskan kepedihan di lubuk hatiku.

Rose, kepedihan hatiku berlipat-lipat ketika melihat kondisi keluargaku. Papa hanya sibuk dengan bisnisnya. Sekarang di Singapura, besok di Tokyo, dan lusa entah di mana lagi. Ada tenderlah, concortium meeting-lah, lobbying-lah, atau entah apa lagi. Datang ke rumah, paling ribut-ribut soal defisitlah, rush-lah, perusahaan anu go public, dan berbagai istilah bisnis yang saat itu asing di kupingku.

Mama juga tak pernah di rumah. Peresmian anak cabanglah, rapat direksilah, arisan di sinilah, shopping di sanalah. Entah apa lagi. Mama mungkin simbol wanita karier modern. Sangat ironis, Rose. Mama dan Papa datang ke rumah hanya untuk persinggahan. Lalu kembali terbang ke sana kemari. Di rumah, mereka seperti orang asing yang tak saling kenal.  

Kasih sayang Papa dan Mamaku berwujud materi, Rose. Aku amat tak percaya materi adalah manifestasi kasih sayang orang tua sesungguhnya. Ternyata, Rose, aku tetap tersiksa di tengah gemerlap kemewahan. Aku jadi sadar, kebahagiaan tak tergantung pada materi, Rose.

Maka aku pun kian terpuruk kalau kau menampikku. Ya, kau yang kuharapkan mampu menyirami hatiku yang gersang, ternyata malah mengobarkan prahara berkepanjangan. Mungkin aku juga bersikap keliru padamu. Dari awal aku memang mencari kasih sayang pengganti kasih sayang orang tuaku. Bukan mendambakan cinta kasihmu sebagai seorang Rose. Tanpa embel-embel pengganti kasih sayang orang tua. Ya, cinta seorang Rose yang memang ingin kumiliki. Tapi begitulah, Rose. Aku mulanya hanya ingin menjadikanmu sebagai dermaga dari bahtera kehidupanku yang telah patah dan sobek tiang serta layarnya.

Namun, Rose, roda waktu terus menggelinding. Akhirnya aku menginginkan lebih dari sekadar pijakan awal itu. Aku ingin kau tak cuma pengisi kasih sayang orang tuaku saja. Aku memang ingin kau sebagai gadis yang menyuguhkan kelembutan seorang kekasih.

Rose, keinginan itu hanyalah milik mimpi hidupku. Dan aku jenuh dengan mobil dan reli. Lalu aku pun mencari kompensasi lain. Walaupun kejenuhan bukan bermuara pada ketakutan terulangnya kecelakaan padaku. Aku memang beberapa kali mengalaminya. Untung tak pernah berakibat fatal. Toh, hal itu memang biasa bagi pembalap.

Aku tak menemukan yang sesungguhnya kucari di arena reli. Aku memang merasakan kenikmatan tersendiri saat duduk di belakang setir dan memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Tapi, toh, aku tetap kembali kepada luka hatiku ketika berada di tempat lain. Kebahagiaan yang diberikan sirkuit itu hanya sesaat sekali.

Rose, aku mulai mencari kompensasi pada cewek-cewek itu. Ya, kau ternyata mengirimkan sebongkah dendam dalam dadaku. Aku jadi tak percaya setiap makhluk yang bernama cewek. Aku menyamaratakan semua cewek seperti kamu. Pandai bersandiwara. Lain di lidah, lain pula di hati. Tiada yang bisa dipercayai. Ah, sebuah persepsi yang amat picik dan kerdil., Ya, persepsi yang kemudian harus kukoreksi total. Begitu juga tentang dirimu.

Nah, Rose, satu persatu cewek-cewek itu kudekati lalu kulukai. Sebagaimana kau hanya memberiku harapan, aku pun memberi mereka harapan. Ya, harapan-harapan kosong! Kubangun seonggok harapan buat mereka. Dan kuhancurleburkan sendiri. Walau begitu, aku masih mempunyai hati nurani dan norma agama, Rose. Aku tak pernah merusak pagar ayu. Biar aku dendam setengah mati kepada kaummu, aku masih berpikir waras.

Aku sebenarnya sangsi, kenapa cewek-cewek itu tertarik padaku? Apakah pada rayuanku yang kukira tak meyakinkan? Apakah pada mobil dan performance-ku? Ah, entahlah. Yang jelas, tak kutemukan ketenangan di sana. Yang ada hanya kesenangan sesaat dan semu. Aku mulai jenuh dengan balas dendam ini. Kepura-puraan yang menyakitkan.

Ketika kejenuhan itu kian menggunung, aku pun mencari alternatif kompensasi lain yang kuharapkan bisa mengobati keresahanku. Aku tertarik buku-buku filsafat, Rose. Sekilas buku-buku itu mampu menawarkan ide-ide yang memompa semangatku. Dari filsafat Yunani kuno hingga filsafat kontemporer macam Post-Modernisme, kulahap acak.

Namun di antara aliran-aliran itu, Eksistensialisme paling memikat hatiku. Dari aliran itulah, aku bangkit membangun eksistensiku. Aku tertarik perkataan Sartre, salah satu tokohnya: “Man is nothing else, but what he makes of himself.” Sedikit demi sedikit, ide-ide aliran ini kian mencekoki pikiranku. Aku mulai bangkit dengan semangat baru.

Tatkala pengaruh-pengaruh filsafat itu nyaris mencapai titik kulminasi dan aku bisa disebut atheis, aku pun diserang kegelisahan dari segala penjuru. Ya, aku tidak mendapat ketenangan dari buku-buku itu. Kegelisahan malah se makin mengobrak-abrik ritme hidupku. Aku laksana seorang pengembara yang dahaga di tengah gurun gersang dan terik mentari yang garang.

Rose, aku pun harus memutuskan mencari alternatif lain lagi bagi obat pergolakan pikiranku. Nah, anehnya, ketika aku merentangkan jarak begitu jauh dari agamaku, justru aku kian merindukannya. Mungkin pandangan sinis para filosof itu, karena mereka tak utuh memahami konsep-konsep agama. Aku mulai tergerak membuka buku-buku agama.

Ternyata buku-buku itu kuasa menyirami hati yang kembara ini, Rose. Sungguh. Aku mulai merasakan arti hidup di sana. Kegelisahan yang bersarang di kalbuku, sirna sedikit demi sedikit. Betapa banyak pikiranku yang harus kurevisi. Aku kembali kepada Tuhan dan agamaku. Kembali kepada nurani manusia yang mau tak mau membutuhkan Tuhan. Ah, betapa lama aku telah melupakan-Nya.

Laksana Archimides yang meneriakkan eureka ketika eksperimennya berhasil, aku pun bersyukur menemukan arti cinta. Aku takkan kecewa lagi dengan tragedi penampikanmu terhadap uluran kasihku dulu. Kukira kau pun layak gembira dengan hal ini, Rose.

Telah lama aku dihimpit egoisme dan kekuasaan emosiku sendiri. Aku hanya berputar-putar di lingkaran ketidakpercayaan diri. Tak terhitung waktuku yang kuhabiskan hanya untuk bergantung pada orang lain. Tidak berdiri di kaki sendiri.

Kini, aku sadar, cinta yang kutawarkan padamu bukanlah cinta yang sesungguhnya. Ternyata aku berubah benci dan dendam tatkala cinta itu kau tolak. Aku kemudian terguncang saat keinginan itu tak terpenuhi. Mengapa berubah benci, dendam, dan kecewa jika memang benar mencintai? Secara tak sadar, aku memaksakan kehendak agar kau jadi kekasihku. Dan itu adalah egoisme, bukan cinta.

Rose, kupikir, cinta sejati tak mempunyai pamrih apapun. Tidak pujian dan kebersamaan. Bahkan tidak cinta itu sendiri. Pamrih hanya akan menodai ketulusan cinta. Cinta sejati hanya mendambakan kebaikan dan kebahagiaan yang dicintai. Ia tak membaikkan yang buruk dan tak menjelekkan yang baik.

Kini, aku tak ragu melangkah, Rose. Sudah dua tahun aku mengikuti aku mengikuti program kuliah Accounting and Business Administration di Michigan University. Bagaimanapun muaknya dengan kemewahan, aku tetap punya tanggung jawab terhadap keluargaku. Aku harus menyiapkan diri meneruskan tongkat estafet di perusahaan Papa. Ya, itulah bukti cintaku pada mereka.

Telah lama aku menyia-nyiakan waktu. Ah, kuliahku di tanah air yang kocar-kacir amat sulit kuperbaiki. Sungguh naif, Rose. Hanya karena tak bisa memecahkan persoalan sendiri, kuliah kutelantarkan. Karena itu, aku tak ingin terperosok di lobang yang sama. Dengan persiapan yang menggila, aku bisa menerobos universitas kebanggaan Michigan itu. Test TOEFL, SAT, ACT dan lainnya, harus kuhadapi. Ya, test-test itu membuat rada nervous juga.

Hujan salju di Januari ini, belum juga reda. Jalan raya di bawah apartemenku tampak memutih dengan snowball. Dingin kian terasa menusuk. Termometer di dinding kamarku menunjuk 25° C. Malam telah melewati setengah perjalanannya. Aku masih terpaku bertongkatkan kedua tanganku di bingkai jendela. Dari kejauhan, tampak remang-remang danau Michigan. Lampu-lampu memantulkan sinarnya yang genit di permukaan air danau itu.

Rose, liburan musim panas nanti, aku ingin pulang ke Tanah Air. Aku tak tahu mengapa keinginan bertemu dirimu begitu menyesakkan dadaku. Ingin kuajak kau keliling Michigan ini. Menyusuri danau terbesar di Amerika, danau Michigan. Atau, melihat-lihat pabrik mobil Ford. Memang cukup lama kita tak bersua. Ya, lima tahun, Rose. Sejak pertemuan di kantin itu, aku tak ingin bertemu kau lagi. Tiga tahun kemudian, aku pun tak memberitahukan kepergianku ke negeri Uncle Sam ini. Namun, Rose, kini dan selamanya, kau adalah kekasihku. Pun, semua orang, semua manusia.

Dimuat di Majalah Anita Cemerlang, September 1996 dengan nama pena Amelia Rashid

Pos terkait

Tinggalkan Balasan