Sumbangan dan Sindikat Koruptor

tikus-koruptor1 Sekolah yang didirikan oleh almarhum ayah mertuaku memperoleh sumbangan dari pemerintah sebesar 150 juta. Tentu saja jumlah itu terbilang besar buat ukuran sekolah di kampungku. Adalah jelas bahwa sekolah itu memerlukan biaya untuk membangun dan memperbaiki beberapa ruangan, baik untuk kelas, perpustakaan, ruang komputer, dan lain-lain.

Namun sumbangan –yang sudah beberapa minggu silam berada di rekening sekolah– tak jua dicairkan oleh pihak sekolah. Hal itu terjadi karena ada silang pendapat yang sengit antara sebagian guru dengan pihak yayasan yang notabene berasal dari keluargaku. Sebagian guru bersikeras bahwa pihak sekolah sebagai penerima bantuan harus konsisten dengan “perjanjian” awal atas pengucuran sumbangan tersebut. “Perjanjian” itu adalah bahwa pihak penerima sumbangan bersedia menyerahkan 50% dari nilai nominal sumbangan kepada pihak yang “memperjuangkan” sehingga proposal itu disetujui dan sumbangannya dikucurkan.

Bacaan Lainnya

Argumentasi para guru adalah bahwa model pembagian 50:50 itu merupakan sesuatu yang lumrah. Biasa terjadi. Toh, selama ini, pembagian seperti itu biasa berjalan. Tak ada kasus hukum yang kemudian membelit pihak-pihak yang terkait. Bahkan, mereka mencontohkan, ada beberapa pesantren dan madrasah yang juga menjalani pembagian 50 :50 seperti itu. Toh, mereka aman-aman saja. Tak ada yang masuk penjara.

Di sisi lain, mereka juga beralasan, bahwa adalah tidak mudah memperoleh sumbangan. Karena itulah, jika ada persyaratan untuk memperoleh sumbangan harus dengan pembagian fifty-fifty, maka ikuti saja persyaratan tersebut. Yang penting, kita memperoleh sumbangan dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Toh, “orang pusat” yang “memperjuangkan” sumbangan itu pula yang membantu membuat laporan pertanggungjawaban keuangannya. Pihak sekolah “sekedar” menandatangani saja.

Sementara di sisi lain, pihak yayasan tidak setuju dengan proporsi pembagian fifty-fifty tersebut. Menurut pihak yayasan, pembagian 50% untuk pihak yang “memperjuangkan” tersebut adalah sangat besar dan tidak masuk akal. Bagaimana nanti pihak sekolah mempertanggungjawabkan komisi 50% tersebut? Bagaimana jika auditor dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat Jenderal (Itjen) datang mempertanyakannya? Bagaimana konsekuensi hukumnya? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggayuti kepala adik iparku yang notabene sebagai ketua yayasan. Di sisi lain, sebagai sarjana hukum tentu ia tidak mau gegabah menyerahkan komisi 50% yang akhirnya bisa membuat celaka pihak sekolah dan yayasan.

Singkat cerita, kedua kubu tidak mencapai titik temu. Pihak yayasan lantas memutuskan untuk menyelidiki langsung ke Jakarta, siapa oknum pusat yang bermain di belakang sumbangan tersebut. Seorang kakak iparku yang notabene seorang jaksa juga bersedia ikut ke Jakarta untuk melakukan penyelidikan. Ternyata keputusan pihak yayasan demikian justru membuat gentar sindikat “mafia sumbangan” tersebut. Seorang kaki tangan sindikat tersebut –yang selama ini sebagai penghubung dengan pihak sekolah dan yayasan—meminta agar keputusan untuk menyelidiki ke Jakarta dibatalkan. Mereka tidak ingin kedok mereka dibongkar. Mereka bersedia untuk tidak lagi menuntut komisi 50 % asal sindikat mereka tidak diutak-atik. Syukur Alhamdulillah, akhirnya sekarang sumbangan itu bisa dicairkan dengan utuh.

Apa yang bisa kurenungkan dari peristiwa tersebut? Ternyata hantu korupsi di negeri ini masih banyak bergentayangan. Dengan dalih hendak membantu, ternyata ujung-ujungnya mereka hendak mencari keuntungan sendiri. Banyaknya sumbangan yang sekarang mengalir dari pusat ke daerah justru menjadi ajang bagi para pejabat busuk untuk berkorupsi ria. Para pejabat itu membangun jaringan hingga ke daerah-daerah untuk mencari mangsa. Sumbangan-sumbangan itu ditawarkan ke beberapa lembaga. Jika tawaran itu diterima, sumbangan itu pun “disunat” beramai-ramai hingga 50% dengan alasan karena mereka ikut “memperjuangkan” sumbangan hingga bisa dicairkan.

Saat sebuah lembaga mengalami kesulitan keuangan, terkadang para pengelolanya tidak lagi berpikir panjang tentang resiko hukum. Atau mereka juga tidak berpikir bagaimana status hukum secara agama dari tindakan memberikan komisi hingga 50% tersebut. Apakah halal, haram, atau subhat? Ajaran untuk menjaga kesucian harta yang diperoleh agar bisa berkah tak lagi dipertimbangkan. Sungguh mengenaskan!

Mungkin para pengelola seperti itu beralasan bahwa mereka tidak menggunakan sumbangan untuk kepentingan pribadi. Mereka betul-betul menggunakan demi keperluan lembaga yang mereka kelola. Mereka tidak sedikit pun melakukan tindakan korupsi atas bagian 50% yang mereka terima dari total jumlah sumbangan. Tapi, bukankah mereka memberi kesempatan kepada orang lain untuk berkorupsi ria dengan komisi 50%? Dengan kata lain, mereka memang tidak memperkaya diri sendiri, tapi memperkaya orang lain. Tentu saja, hal itu pun termasuk tindakan pidana.

Membangun lembaga pendidikan demi ikut serta mencerdaskan masyarakat tentu merupakan sebuah tindakan mulia. Tapi kemuliaan sebuah tindakan juga dilihat dari tata caranya. Bagaimana bisa sebuah tindakan menjadi mulia jika dengan menggunakan cara yang kotor?! Sampai kapan pun tak ada alasan untuk membenarkan tindakan Robin Hood yang menyumbang orang-orang miskin dari harta hasil ia mencuri. Robin Hood hanyalah sebuah cerita rakyat yang tidak bisa dijadikan contoh yang baik dalam hal cara mencari harta.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

24 Komentar

  1. Saya mengucapkan SELAMAT menjalankan PUASA RAMADHAN.. sekaligus Mohon Maaf Lahir dan Bathin jika ada kata kata maupun omongan dan pendapat yang telah menyinggung atau melukai perasaan para sahabat dan saudaraku yang kucinta dan kusayangi.. semoga bulan puasa ini menjadi momentum yang baik dalam melangkah dan menghampiriNYA.. dan menjadikan kita manusia seutuhnya meliputi lahir dan bathin.. meraih kesadaran diri manusia utuh.. meraih Fitrah Diri dalam Jiwa Jiwa yang Tenang

    Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabat Sahabatku terchayaaaaaank
    I Love U fullllllllllllllllllllllllllllllll

  2. hehehe.. maaf pak link nya baru saya adds

    @ Kang Boed all

    Makasih link saya di add. Sebuah kehormatan buat saya.

    Pertamax? 1 liter 6.800, Kang Boed. He…he…

    Selamat menjalankan ibadah puasa juga untuk Kang Boed. Semoga Ramadhan ini berhasil menjadi kawah candradimuka bagi kita.

  3. Budaya korupsi yang sudah sangat melekat di sebagian masyarakat kita memang harus dikikis pelan-pelan. Tak adanya rasa malu atau rasa bersalah atau rasa kasihan membuat sebagian dari kita masih mau dan tega untuk memotong sesuatu (dana) demi untuk kepentingan pribadi. Jangan aneh jika kita juga menemukan bahwa banyak diantara mereka adalah orang yang ibadahnya terbilang cukup rajin namun akhlak kesehariannya sama sekali tidak mencerminkan ibadahnya.

    Cukup miris ketika kita sadar bahwa budaya korupsi di Indonesia sepertinya susah untuk dikurangi padahal ketika zaman pemerintahan Gus Dur pemerintah mulai menaikkan gaji PNS namun ternyata bukan persoalan gaji yang kurang tapi moral yang rendah yang dimiliki oleh sebagian dari kita membuat budaya korupsi masih merajalela.

    Inilah PR kita bersama, Mas Jafar. Mungkin untuk korupsi-korupsi yang nilai miliaran, sudah dibidik oleh KPK. Tapi, korupsi yang nilainya ratusan juta, ternyata masih banyak terjadi di daerah-daerah. Yang jelas, korupsi memang bukan karena persoalan gaji, tapi mentalitas yang korup dan sistem pengawasan yang macet.

  4. sekarang ini calo tak hanya ada di terminal, mas race, tapi sudah lama merangsek ke dalam dunia pendidikan. untung saja dari pihak yayasan mau menyelidiknya sehingga bisa ketahuan siapa sesungguhnya yang berdiri di balik sindikasi korupsi itu. korupsi agaknya benar2 sdh mengakar sampai ke lapisan penjaga gawang moral bangsa.

    Betul, Pak, calo tidak hanya di terminal atau pelabuhan. Tapi, juga di kantor-kantor yang wangi dan ber-AC itu.
    Sebenarnya, belum terbongkar siapa di balik sindikat koruptor bantuan itu. Pihak yayasan memutuskan untuk membatalkan penyelidikan ke Jakarta karena pihak sindikat itu sudah tidak lagi menuntut komisi 50 %. Sindikat itu menggunakan sistem sel terputus. Hanya si kaki tangan yang berhubungan dengan pihak penerima bantuan.

  5. kejadian ini juga memperlihatkan bahwa kebenaran itu masih berdasarkan pendapat mayoritas. korupsi malah jadi sesuatu yang lumrah, yang tak lazim justru apabila tidak bersedia terlibat. sungguh gambaran mentalitas yang rendah ya, mas? syukurlah akhirnya bisa digagalkan dengan tekad yang baik dari pihak yayasan.

    saya juga beberapa kali mengalami hal yang semacam, bahkan baru saja berhasil melawan satu. puas sekali bisa melawan dan menang. tapi “oknum-oknum di atas” memang seperti punya kekuatan super sehingga bisa melakukan kecurangan dengan santai tanpa takut terjerat hukum.

    Begitulah, Uni. Yang aneh dan “tidak benar” adalah jika kita tidak ikut-ikutan korupsi. Di sinilah letak tantangannya. Saat kita tidak sudi larut dalam sistem yang bobrok, pada akhirnya kita juga diberikan jalan oleh-Nya. Salut juga untuk Uni yang telah berani melawan mereka yang korup dan tamak itu!

  6. Itulah pak kenapa kadang rapat di dewan molor lama, belum sepakat tentang jatah untuk menyelesaikan rumusan dan UU hehehhehe.
    seorang kawan berkata :sebuah badan mengajukan anggaran ke “HEWAN PERWAKILAN”, kemudian rame tuh kondisinya, sebagian menolak sebagian setuju. lobi2 tingkat tinggi lalu dilakukan akhirnya dari dana yg diajukan kisaran 20% disunat untuk komisi ketok palu. coba bayangkan kalau dana yg diajukan 20 M atau jangan tinggi2 lah cukup 5M wuihh belum bayangne duit sebesar itu aku hehehhehhehe

    Semakin besar anggaran yang dibidik, tentu semakin besar pula nominal yang disunat. Kalo untuk ukuran Senayan, tentu sudah kisaran M. (ember kaleee). Ngebayanginnya aja, saya juga nggak bisa.

  7. Saya sebtulnya berharap kebiasaan korupsi seperti itu bisa hilang jika orang Indonesia itu tinggal dan bekerja di luar negeri. Tapi ternyata pak, sudah mendarah daging apalagi jika nguplek-ngupleknya di lingkungan indonesia juga (apalagi pemerintahan). susah deh…..

    EM

    Wah, Ibu, hendak mengatakan, KBRI juga masih banyak korupsinya ya? Yah, orang kita memang payah. Mudahan kelak bisa berubah. Kapan ya? Saya juga binun.

  8. Model – model korupsi dengan dalih “memperjuangkan” seperti ini akan mentok dan berhenti jika sudah berhadapan dengan hukum. Mungkin mereka berpikir bahwa masyarakat masih bisa dibodohi dengan trik semacam itu. Rakyat sudah pandai dan berani ngomong, ayo dilawan korupsinya, minimal ditanya kwitansi pembayaran dan aturan / dasar hukumnya. Seperti mas rache sebutkan, kalau masih ndak ketemu juga cari informasi langsung ke pusat (jakarta)

    Betul, Mas Adipati. Kita harus berani melawan. Toh, pada akhirnya, saat kita berani melawan, mereka juga berfikir dua kali untuk meneruskan aksi korupsi mereka.

  9. Pak sebaiknya penyelidikan dilanjutkan.Ya untung-untung aja satu atau 2 sindikat itu di pidana dan komplotannya jadi bubar..

    Memang para koruptor itu tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, sehingga menghalalkan segala cara..

    Insya 4JJI kedatangan Bulan Suci yang penuh Berkah dan Magfirah Dapat menambah keimanan kita sehingga dapat terhindar dari sifat-sifat tamak seperti para koruptor..

    Mohon Maaf Lahir dan Bathin pak.

    Sebenernya, pengennya juga penyelidikan itu diteruskan. Tapi tidak semua anggota keluarga sepakat, lagi pula repot kerjaan masing-masing. Udahlah, yang penting sumbangan itu tidak jadi disunat.

    Selamat menjalankan ibadah puasa juga, Mas Soni. Mohon maaf lahir dan batin.

  10. Waduhhh ampun dehhh, gawat amat…kok bisa setega itu kah….Suruh lihat para siswa yang saat ini sedang belajar di sekolah itu pak, lihat juga yang miskin, nah itu tanggung jawab siapa ? Kalo sempat bagi bagi uang itu terjadi, pastilah sudah merampas hak pendidikan anak di sekolah itu.

    Saya benar benar shock..mendengar kisah ini, mudah-mudahan gak terjadi lagi usaha -usaha begini ini.

    Cerita saya mungkin hanya fenomena gunung es. Mungkin masih banyak kasus serupa yang terjadi. Tapi, kebanyakan pasrah saja saat sumbangan itu disunat. Dan para anggota sindikat sudah kebal hati nuraninya. Tampaknya, hati mereka tidak akan tersentuh meski melihat para siswa-siswa di sekolah tempatku yang berasal dari keluarga miskin.

  11. dananya besar banget yah, tapi dalam jangka waktu segitu kok belum cair cair yah *geleng geleng*

    selama korupsi masih berkentayangan seperti yang sampeyan katakan, dana dana untuk kepentingan umum akan selalu raib di telan kerakusan mereka….

    Meski korupsi masih banyak terjadi, masih ada juga segelintir pejabat yang menapaki jalan sunyi kejujuran. Pada akhirnya, saat pejabat-pejabat rakus itu dilawan dengan serius, mereka juga takut.

  12. Sulit kali bang ngilangin penyakit yang satu itu.
    Mungkin…diawali dari diri kita masing-2 aja dulu.
    Smoga..di bulan suci ini, korupsi bisa menghilang …..

    Bahwa itu sulit ngilangin, saya setuju. Tapi seperti kata Bendol, diawali saja dari diri kita masing-masing.
    Selamat menjalankan ibadah puasa.

  13. teman saya yang menjadi pimpinan di sebuah pesantren pernah mengalami hal ini. karena tak sanggup dengan perjanjian 50:50 itu, maka sumbangan itu ditolaknya, padahal pesantren itu sangat membutuhkan sekali bantuan tersebut. yah… itulah kondisi negara kita, sulit sekali untuk menghentikannya…

    Memang sulit, Uda, tapi kita harus mulai berusaha melawannya.

  14. Alllah hanya menyukai hal-hal yang baik. Kalau saja semua orang sadar akan hal ini pasti mereka akan melakukan hal yang terbaik. Mengikhlaskan dana tersebut murni untuk kemajuan sekolah misalnya sehingga kelak di kemudian hari mereka akan menuai buahnya, sesuatu yang kurasa lebih berharga daripada seonggok materi yang mereka perjuangkan sekarang.

    Ternyata tak semua orang menyukai kebaikan yang diperintahkan-Nya. Godaan materi seringkali menutup nurani orang untuk berbuat baik.

  15. Kekasih Sejati yang setia selalu.. DIA rela menunggu walau kita selalu menykiti hatiNYA.. dengan salah dan DOSA.. subhanalllllaaaaah.. DIA MENUNGGUMU.. TANGANNYA SELALU TERULUR MENANTIKAN KITA SEMUA.. YANG MAU KEMBALI KEPADANYA
    SALAM SAYANG

    Ia adalah Sang Maha Cinta. Meski seluruh makhluk mengingkari dan menyakiti-Nya, ia tetap menebarkan Kasih-Nya.
    Salam sayang juga.

  16. SAHABATKU RAIH FITRAH DIRI menjadi MANUSIA SEUTUHNYA UNTUK MENGEMBALIKAN JATI DIRI BANGSA
    Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang ‘tuk Sahabat Sahabatku terchayaaaaaank
    I Love U fulllllllllllllllllllllllll

    Baik, Sahabatku, mudahan saya bisa meraih fitrah sebagai manusia seutuhnya.

    I love you full too.

  17. hah?!? 50%???
    saia juga pernah bertukar cerita dengan orang yg merasa ‘terdepak’ dari dinas pendidikan di salah satu daerah, praktek macam ini sudah banyak terjadi. cuma kalau sampai 50% ini saya benar-benar kaget dan tak bisa membayangkan kalau benar-benar dilakukan oleh sekolah lain misalnya. betapa fiktifnya nanti pertangjawaban yang akan diberikan. padahal dengan hanya nilai 10% “potongan” saja sudah ada kepala sekolah yg ketar-ketir… duh… negeri ini sungguh luar biasa. 🙁

  18. Indonesia skrg emg udah menyedihkan. Banyak para wakil rakyat yang hanya memikirkan diri mereka sendiri tanpa tahu akan akibat yang akan mereka dapat nantinya. Mereka seperti tidak ber-Tuhan saja.

    Mudahan keadaan seperti itu pada akhirnya bisa berubah, ya, Bang Aan. Makasih sudah sudi berkunjung