Pendahuluan
Kajian tentang sejarah penulisan Alquran selalu saja menarik perhatian para cendekiawan, semenjak para ulama klasik, seperti az-Zarkasyi (w. 794) dengan karyanya al-Burhan fi Ulum al-Alquran hingga para orientalis Barat kontemporer, seperti Christoph Luxenberg, profesor bahasa Semitik dari Jerman yang juga keturunan Lebanon, dengan karyanya Die syro-aramaeische Lesart des Koran.
Dari berbagai kajian yang telah ada itulah, muncul berbagai pendapat baik yang mendukung dan meyakini otentitas Alquran maupun justru yang sebaliknya, meragukan atau bahkan menolak otentisitasnya. Namun apapun pendapat itu, sejarah tentu yang menguji mana pendapat yang benar dan mana pendapat yang sekedar dilandasi sentimen subyektif sang cendekiawan belaka.
Dan jika kalian meragukan Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, Muhammad, buatlah satu surat saja seperti Al-Quran itu dan ajaklah para sekutu kalian selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar. (Qs. Al-Baqarah: 23)
Pemeliharaan Alquran di Masa Nabi Muhammad SAW
Penghafalan Alquran
Alquran tidaklah diturunkan secara sekaligus, namun diturunkan secara gradual selama sekitar dua puluh tiga tahun. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat bahkan sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal di luar kepala oleh para sahabat. Proses penghafalan itu lebih mudah karena umumnya bangsa Arab memang mempunyai daya hafal yang kuat. Apalagi bahasa ibu mereka adalah bahasa Arab yang digunakan oleh Alquran. Hal itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka direkam lewat hafalan di luar kepala.
Nabi Muhammad merupakan seorang hafiz (penghafal) Alquran pertama dan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Upaya penghafalan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat adalah manifestasi kecintaan mereka kepada Alquran sebagai dasar agama Islam. Dalam kitab Sahih-nya Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
Menurut az-Zarqani, dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, penyebutan jumlah para hafiz pada riwayat hadis dari Anas di atas, bukanlah menunjukkan pembatasan secara hakiki, tetapi pembatasan yang bersifat relatif. Hal itu ditunjukkan dengan adanya beberapa riwayat yang berbeda-beda dalam menyebutkan jumlah dan nama para hafiz. Sementara hadis-hadis itu adalah hadis sahih dan Anas sebagai seorang sahabat Nabi tidak mungkin berbohong.
Sementara az-Zahabi dalam karyanya Ma’rifah al-Qurra al-Kibar ‘ala Thabaqat wa al-Amshar, menyebutkan ada tujuh orang sahabat yang menghafalkan Alquran di masa Nabi masih hidup dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung serta dari merekalah sanad bacaan-bacaan dari sepuluh imam qiraat. Sedangkan para sahabat yang menghafal Alquran namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah mereka itu banyak bahkan mencapai lima puluh orang.
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa para hafiz Alquran di masa Rasulullah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan di masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari, guru para qari pada masanya, menyebutkan bahwa penukilan Alquran dengan berpegang pada hafalan –bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab– merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.
Penulisan Alquran di Masa Rasulullah SAW
Menurut al-A’zami, Rasulullah menugaskan sekitar empat puluh orang sahabat sebagai penulis wahyu. Di antara mereka terdapat sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu’awiyah, ‘Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada manuskrip-manuskrip itu membantu upaya penghafalan.
Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan ayat-ayat Alquran yang turun atas inisiatif mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang-belulang binatang. Namun, penulisan Alquran dalam media kulit yang telah diproses sedemikian rupa (perkamen/riqq), merupakan yang paling banyak digunakan. Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Alquran. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut.
Ketika Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Alquran telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan di atas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan; atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Alquran belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun segeralah dihafal oleh para qari dan ditulis oleh para penulis. Namun pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Susunan penulisan Alquran itu tidak berdasarkan waktu atau tempat turunnya. Namun setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi -ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata pada masa Nabi Alquran itu seluruhnya dikumpulkan dalam satu mushaf, sementara proses penurunan wahyu masih berlangsung, maka hal ini tentu akan menyulitkan. Sebagian ayat masih datang untuk ditempatkan di tempat tertentu, sementara ayat yang lain dicabut. Kemungkinan hal itu bisa menyebabkan bisa terjadi perselisihan dan pencampuran antara ayat dan surat satu sama lain. Karena itulah, Allah menjaga otentitias al-Qur’an hingga selesai proses pewahyuan kemudian memberikan petunjuk kepada Khulafaur Rasyidin untuk mengumpulkannya.
Penulisan Alquran di Masa Abu Bakar ash-Shiddiq
Setelah dibaiat sebagai khalifah sepeninggal Nabi Muhammad, Abu Bakar dihadapkan pada masalah murtadnya sebagian orang Arab. Karena itu ia segera menyiapkan dan mengirimkan balatentara untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Alquran. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Alquran karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qari.
Di sisi lain Umar merasa khawatir jika terjadi peperangan di tempat-tempat lain, akan banyak pula qari yang terbunuh sehingga Alquran akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak usulan ini dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya serta ke-hadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar.
Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Alquran itu. Zaid bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis.
Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti dan hati-hati. la tidak hanya bersandar pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Ungkapan Zaid “Dan aku dapatkan akhir surah Taubah pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak aku dapatkan pada orang lain” tidak menghilangkan arti kehati-hatian tersebut dan tidak pula berarti bahwa akhir surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapatkan akhir surah Taubah ter¬sebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak di antara para sahabat yang menghafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan. Jadi, ayat akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat; dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
_Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan: “Umar datang lalu berkata: ‘Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Alquran, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan Alquran itu pada lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari seseorang mengenai Alquran sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang mendengarnya langsung dari Rasulullah, sekalipun Zaid sendiri hafal. la bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati.
Namun terkait dengan konsep dua saksi di atas, Ibn Hajar berpendapat berbeda. Menurutnya, yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan. Sedangkan menurut As-Sakhawi, yang dimaksud “kedua saksi itu menyaksikan” adalah bahwa catatan itu ditulis di hadapan Rasulullah; atau dua orang saksi itu menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Alquran diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka ialah agar Zaid tidak menuliskan Alquran kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat di hadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan.
Setelah selesai proses seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Abu Bakar kemudian memerintahkan agar manuskrip-manuskrip tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Alquran diturunkan. Kemudian manuskrip-manuskrip yang telah menjadi satu mushaf utuh tersebut disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun tiga belas Hijri, mushaf itu disimpan oleh Umar bin Khattab dan tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu disimpan oleh Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahannya, Usman meminta mushaf tersebut dari tangan Hafsah.
Selain mushaf resmi yang ada di tangan Abu Bakar, terdapat juga mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali bin Abi Thalib, mushaf Ubay bin Ka’ab dan mushaf Abdullah Ibn Mas’ud. Tetapi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara seperti di atas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan, juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansukh dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar.
Keistimewaan-keistimewaan seperti ini hanya ada pada himpunan Alquran yang dikerjakan oleh Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Alquran dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, di saat Abu Bakar mengumpulkan Alquran. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang pertama yang mengumpulkan Kitab Allah.”
Penulisan Alquran di Masa Usman bin Affan
Dalam riwayat dari Anas diceritakan bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Us¬man yang saat itu menjabat khalifah. Huzaifah pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azerbaijan bersama dengan penduduk Irak. Huzaifah amat terkejut oleh perbedaan mereka dalam bacaan. Lalu ia berkata kepada Usman, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah Kitab) sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani!” Perselisihan-perselisihan itu bahkan telah sampai tingkat pada berbahaya karena saling mengafirkan antara sesama umat yang berbeda cara membaca Aquran.
Dan hal itu akhirnya sampai juga kepada Khalifah Usman, maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Alquran. Penduduk daerah yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam [mushaf Alquran pedoman] saja!’ Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya: Sudilah kiranya Anda kirimkan kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Alquran itu. Kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.
Hafsah pun mengirimkannya kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya. Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Mereka melaksanakan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Selanjutnya Usman mengirimkan ke setiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Alquran atau mushaf lainnya dibakar.
Keterangan cukup panjang ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Alquran seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula ke setiap wilayah masing-masing satu mushaf, dan ditahannya satu mushaf untuk di Medinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal dengan nama “Mushaf Imam”.
Kemudian ia memerintahkan membakar semua bentuk lembaran atau mushaf yang selain itu. Umat pun menerima perintah itu dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditinggalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam kategori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir. Dan inilah yang terjadi.
Sebagian orang mungkin bertanya-tanya, mengapa para sahabat meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu? Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukhsah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai alasan untuk menyampaikannya, beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih.
Baca juga Pengaruh Alquran dan as-Sunnah terhadap ilmu Qawa’id al-Fiqhiyyah
Dengan usahanya itu, Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Alquran dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Usman ke pelbagai daerah:
1. Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekah, Syam, Basrah, Kufah, Yaman, Bahrain dan Medinah.
2. Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf Imam; atau dikirimkan ke Kufah, Basrah, Syam dan Mushaf Imam.
3. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. Tanpa merinci dikirimkan ke mana saja, As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Adapun manuskrip mushaf yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Sebagai seorang pejabat di era Usman bin Affan, Marwan bin Hakam kemudian mengambil manuskrip-manuskrip itu lantas membakarnya. Menurutnya, hal itu lakukan karena ia khawatir di kemudian hari muncul keraguan terhadap keaslian mushaf Usmani yang telah dijadikan mushaf standar dan resmi (mushaf imam).
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keterangan yang diriwayatkan oleh Ibn Kasir dalam kitabnya Fada’ilul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah di antaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang tampaknya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setelah beberapa lama berada di tangan kaisar Rusia di perpustakaan Leningrad. Namun menurut Subhi Shalih, mushaf itu tetap berada di masjid Damsyik hingga kemudian masjid itu terbakar termasuk mushaf tersebut pada tahun 1310 H.
Urutan Ayat dan Surat
Jumlah surah Alquran ada seratus empat belas surah. Dan di¬katakan pula ada seratus tiga belas surah, karena surah Anfal dan Bara’ah dianggap satu surah. Adapun jumlah ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun “kelebihan” ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah ayat tentang utang-piutang, sedang surah terpanjang adalah surah Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah mengambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum-hukum syari’at.
Susunan Ayat
Alquran terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Alquran. Surah adalah sejumlah ayat Alquran yang mempunyai permulaan dan kesudahan. Urutan ayat-ayat dan surat Alquran ini adalah tauqifi, ketentuan dari Rasulullah. Menurut az-Zarkasyi, pendapat inilah yang telah disepakati tanpa keraguan lagi.
Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang di dalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini di tempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Pada masa Nabi Muhammad, akurasi dan otentisitas susunan Alquran tetap senantiasa terjaga karena hafalan Qur’an beliau sendiri senantiasa diperiksa oleh Jibril setiap tahun pada bulan Ramadhan. Pada tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad, bahkan Jibril melakukan pemeriksaan kembali Alquran yang telah diwahyukan kepada beliau sebanyak dua kali. Hal pemeriksaan Jibril terakhir itulah yang kemudian menjadi susunan ayat dan surat seperti yang kita kenal sekarang.
Susunan Surah
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surah-surah Alquran.
Susunan surat berdasarkan tauqifi
Dikatakan bahwa susunan surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan Jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Alquran pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya sebagaimana susunan ayat-ayatnya yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu susunan mushaf Usman.
Pendapat ini didukung oleh riwayat bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah mufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayat¬kan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra’il, Kahfi, Maryam, Ta Ha dan Anbiya’: “Surah-surah itu termasuk yang diturunkan di Mekah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Susunan surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat
Hal ini mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf yang dimiliki oleh sebagian sahabat. Misalnya mushaf Ali disusun berdasarkan kronologi peristiwa turunnya wahyu, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzzammil, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani.
Dalam mushaf Ibn Mas’ud yang pertama ditulis adalah surah Baqarah, kemudian Nisa’ dan kemudian Ali ‘Imran.
Dalam mushaf Ubay yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, kemudian Nisa’ dan kemudian Ali ‘Imran.
Sebagian tauqifi sebagian ijtihad sahabat
Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya, keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’ut tiwal, al-ha-wamim dan al-mufassal pada masa hidup Rasulullah. Pendapat inilah yang dipegang oleh Ibnu Hajar.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Alquran dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Usman Alquran dikumpulkan, ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada satu huruf (logat) dan umat pun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu me¬reka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadis tentang surah Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas di atas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al-Farisi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du’afa’. Di samping itu dalam hadis ini pun terdapat kerancuan mengenai penempatan Basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapat sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu, dalam komentarnya terhadap hadis tersebut pada Musnad Imam Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menyebutkan: “Hadis itu tak ada asal mulanya ditinjau dari kaidah-kaidah hadis yang telah disepakati oleh para ulama hadis.” Paling jauh hadis itu hanya menunjukkan ketidaktertiban kedua surah tersebut.
Sementara itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnnya bersifat ijtihadi, dalil-dalil-nya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menun¬jukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa yang selain itu adalah hasil ijtihad. Di samping itu, yang bersifat demikian pun hanya sedikit sekali.
Rasm Usmani
Zaid bin Sabit bersama timnya telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan Alquran yang disetujui oleh Usman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-Rasmul Usmani lil Mushaf, yaitu dengan dinisbahkan kepada Usman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.
1. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasam Usmani buat Alquran ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan Alquran. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama. Bahkan Abdul Aziz ad-Dabbagh melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa di balik penulisan Alquran dengan rasam Usmani itu terdapat rahasia-rahasia Allah, bahkan termasuk mukjizat, yang tidak terjangkau oleh akal.
2. Segolongan orang berpendapat bahwa rasm Usmani itu hanyalah sebuah istilah, tata cara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas di antara mereka. Pendapat seperti inilah yang diyakini oleh Abu Bakar al-Baqillani. Menurutnya, al-Qur’an boleh ditulis baik dengan ejaan maupun dengan ejaan sekarang. Apalagi tak ada satu dalil naqli pun yang mengharuskan kita untuk mengikuti rasm Usmani. Nabi Muhammad sendiri hanyalah menyuruh para penulis wahyu untuk menulis wahyu tanpa menjelaskan atau melarang kepada mereka untuk menulis dengan cara penulisan tertentu. Di samping itu, rasm Alquran hanyalah tanda-tanda yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus bahasa belaka.
3. Banyak ulama berpendapat bahwa rasam Usmani hanyalah bersifat bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Pendapat ini diikuti di antaranya oleh Imam Malik, Abu Amar, Imam Ahmad.
Dari ketiga pendapat itu, hemat penulis bahwa pendapat kedua itulah yang kuat, yakni Alquran harus ditulis dengan rasm Usmani yang sudah dikenal dalam penulisan Mushaf. Rasm Usmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa Usman. Dan pemeliharaan rasm Usmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Alquran dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya sesuai dengan ejaan yang berlaku di setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah penulisan itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata di antara satu negeri dengan negeri lain.
Perbaikan Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan kemampuan orang Arab saat itu dalam berbahasa yang cukup baik, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mulai mengalami perkembangan karena banyaknya percampuran dengan bahasa asing, maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan pe¬nulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar.
Menurut Abu ‘Amr ad-Dani dalam karyanya al-Muhkam fi Nuqath al-Mashahif, yang khusus membahas masalah pembuatan tanda baca al-Qur’an, Abul Aswad ad-Duwali adalah orang pertama yang merintis usaha itu. Ada juga sebagian yang menyebut nama lain, seperti Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin Ashim al-Laitsi. Namun, meski demikian tampaknya keduanya hanyalah mengikuti metode yang telah dirintis sebelumnya oleh Abul Aswad. Mayoritas ulama memang berpendapat demikian. Namun, menurut Shubhi Shalih, tidak masuk akal jika Abul Aswad sendirian dikatakan sebagai yang pertama meletakkan dasar-dasar pembuatan tanda baca Alqur’an. Yang lebih tepat, adalah bahwa Abul Aswad, Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin Ashim al-Laitsi mempunyai andil yang sama dalam hal tersebut.
Baca juga Tafsir al-Baqarah ayat 1-10
Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik. Fathah berupa satu titik di atas awal huruf; dammah berupa satu titik di atas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang di atas huruf; kasrah berupa tanda sempang di bawah huruf; dammah dengan wawu kecil di atas huruf; dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah.
Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum huruf “ba”‘ diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin tidak diberi tanda apa-apa ketika idgham dan ikhfa. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf yang sesudahnya diberi tanda syaddah; kecuali huruf “ta”‘ sebelum “ta”‘, maka sukun tetap dituliskan.
Kemudian pada abad ketiga Hijri terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm mushaf. Dan orang pun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf yang di-syaddah sebuah tanda seperti busur. Sedang untuk alif washal diberi lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah atau dammah.
Kemudian secara bertahap pula orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menun-jukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda waqaf lazim adalah (م), waqaf mamnu’ (لا), waqaf ja’iz yang boleh waqaf atau tidak (ج), waqaf ja’iz tetapi wasalnya lebih utama (صل), waqaf ja’iz tetapi waqafnya lebih utama (قلى), waqaf mu’anaqah yang bila telah waqaf pada satu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat yang lain diberi tanda “.’. .’.”, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Alquran, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah Alquran dan jangan dicampuradukkan dengan apa pun.” Dan sebagian dari mereka membedakan antara pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan perpuluhan (al-a’syar) dan pembukaan-pembukaan yang tidak diperbolehkan. Al-Halimi mengatakan: “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-akhmasy), nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah Alquran.” Se¬dang pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Alquran dengan yang bukan Alquran. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk orang yang memerlukannya.”
Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Di antara ulama yang membolehkan adalah Rabi’ah bin Abi Abdurrahman yang menyatakan bahwa tidak masalah memberi syakal pada mushaf. An-Nawawi mengatakan: “Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan.” Perhatian untuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).
Pandangan Negatif tentang Sejarah Penulisan Alquran
Banyak upaya kritis dilakukan oleh berbagai pihak, terutama para orientalis, terhadap sejarah penulisan Alquran. Upaya-upaya itu memang terkesan menjadi semacam serangan terhadap kepercayaan orang Islam atas otentitas dan validitas Alquran sebagai kitab suci. Di sini kami akan kemukakan beberapa hal yang penting di antaranya dan kemudian menanggapinya.
1. Dalam karyanya Die syro-aramaeische Lesart des Koran sebagaimana yang disinggung di awal, Christoph Luxenberg antara lain menyimpulkan, Alquran yang sekarang (Mushaf Utsmani) sebagai tidak otentik, salah baca dan salah salin. Malah, Alquran yang asli bukanlah berbahasa Arab, tetapi berbahasa Syriac.
Luxenberg mengira Al-Qur’an hanya dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan. Di samping itu, ia juga menganggap tulisan adalah segalanya. Ia menganggap manuskrip sebagai patokan, sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu pada teks. Terakhir, ia menyamakan Al-Qur’an dengan Bibel, di mana pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit untuk dipahami.
2. Ada beberapa bagian Alquran yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang sekarang ada di tangan kita. Sebagai bukti (dalil) dikemukakannya: Hal ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya bahwa Aisyah berkata: ‘Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca Alquran di Masjid, lalu katanya: ‘Semoga Allah mengasihinya. la telah mengingatkan aku akan ayat yang aku telah dibuat lupa terhadapnya. Dalam riwayat lain, dikatakan Aku telah menggugurkannya dari ayat ini dan ini.’
Dalam menjawab tudingan ini, menurut al-Qaththan bahwa teringatnya Rasulullah akan satu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu, tidak berarti muncul keraguan terhadap validitas teks Alquran yang ada. Hal itu karena riwayat yang mengandung ungkapan “menggugurkan” itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, “aku telah dibuat lupa terhadap¬nya” (kuntu unsituha). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “menggugurkannya” adalah “lupa”, sebagaimana ditunjukkan pula oleh kata-kata “telah mengingatkan aku”. Kelupaan atau lupa bisa saja terjadi pada Rasulullah dalam hal yang tidak merusak tablig. Di samping itu ayat-ayat tersebut telah dihafal oleh Rasulullah, dicatat oleh para penulis wahyu serta dihafal oleh para sahabat. Hafalan dan pencatatannya pun telah mencapai tingkat mutawatir. Dengan demikian lupa yang dialami Rasulullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan dalam pengumpulan Alquran.
3. Sebagian kalangan menuding bahwa dalam Alquran terdapat sesuatu yang bukan Alquran. Termasuk dalam kalangan ini adalah orientalis Arthur Jeffery. Untuk pendapatnya ini mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Mas’ud mengingkari Surah Al-Fatihah, an-Nas dan al-Falaq termasuk bagian dari Alquran.
Menurut al-A’zami, riwayat yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud berpendapat seperti itu adalah lemah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tuduhan itu adalah fitnah yang dialamatkan kepada seorang sahabat yang diakui integritas moralnya. Tidak mungkin seorang Ibnu Mas’ud mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum para sahabat lain, apalagi terhadap persoalan penting seperti Alquran.
4. Menurut Richard Bell, dalam karyanya Bell’s Introduction to the Qur’an, sistematika Alquran kacau-balau. Ayat demi ayat tidak disusun secara sistematis. Terkadang terselip suatu tema di tengah-tengah ayat tertentu yang berlainan dengan tema utama yang dibicarakan. Hal ini dikarenakan bahwa para penulis wahyu yang dibentuk Usman melakukan kesalahan dengan menyelipkan suatu ayat yang sebenarnya bukan bagian ayat tersebut. Bell memberikan contoh surat al-Maidah ayat 3. Menurutnya, jika dilihat keseluruhan ayat tersebut dapat dibagi menjadi 4 bagian (a, b, c dan d).
3a. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala
3b. Dan (diharamkan) juga mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
3c. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu. Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.
3d. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
Ayat a, b, dan d berisikan tentang halal dan haram yang jelas adalah satu kesatuan. Sementara ayat terakhir yang bertopik kemenangan Islam justru hanya diselipkan secara aneh di ayat c. Menyelipnya ayat 3c secara aneh ini jelas hanya dapat diterangkan dengan hipotesa dokumen tertulis bahwa ayat 3a dan 3b ditulis pada satu lembar kertas sendiri, sementara ayat 3d ditulis pada lembar terpisah. Kemudian ada yang mencatatkan ayat 3c di balik kertas yang dipakai untuk mencatat 3a dan 3b. Oleh tim penyusun wahyu yang dibentuk Usman yang mungkin tidak mengetahui hal ini, ayat 3c ini dianggap sebagai kesatuan dari 3a, 3b dan 3d sehingga dituliskan berurutan. Padahal jelas-jelas ayat 3c ini memotong kesatuan ayat-ayat tentang halal dan haram tersebut.
4. Segolongan Syi’ah ekstrem menuduh bahwa Abu Bakar, Umar dan Usman telah mengubah Alquran serta menggugurkan beberapa ayat dan surahnya. Mereka (Abu Bakar cs.) telah mengganti dengan lafal Ummatun hiya arba min ummatin – “Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain” (an-Nahl [16]:92), yang asalnya adalah; A’immatun hiya azkd min a’immatikum – “Imam-imam yang lebih suci daripada imam-imam kamu”, mereka juga menggugurkan dari surah Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan “Ahlul Bait” yang panjangnya sama dengan surah al-An’am, dan menggugurkan pula surah mengenai kekuasaan secara total dari Alquran.
Menurut al-Qaththan, tudingan tersebut tidak memiliki bukti periwayatan yang kuat. Apalagi hingga saat ini, tidak ada laporan yang menyebutkan ditemukan mushaf Alquran yang mencantumkan ayat seperti yang diklaim oleh golongan Syiah tersebut. Di kalangan sendiri, mushaf yang digunakan tetaplah mushaf Usmani seperti yang dikenal secara luas di dunia Islam.
Penutup
Meski sebagai kitab suci, Alquran juga menjadi obyek kajian ilmiah oleh para ilmuwan, baik muslim maupun non-muslim, konservatif maupun liberal. Tak urung, Alquran pun dialamatkan dengan berbagai pandangan, baik yang meyakini keasliannya maupun yang justru meragukan. Menurut Fazlur Rahman, adalah problem bagi umat Islam jika terlalu khawatir terhadap penelitian Alquran. Kekhawatiran jika kemudian hasilnya mungkin berbeda dengan mainstream pandangan yang berlaku. Padahal hal itu adalah resiko yang harus dihadapi dengan ketulusan hati dan persepsi. Wallahu a’lam bishawab.
Daftar Pustaka
A’zami, M.M. Sejarah Teks Al-Qur’an: dari Wahyu sampai Kompilasinya dalam format e-book.
Abdurrahman bin al-Kamal Jalaludin as-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, (tk:, tp., tt.).
Ahmad bin Hambal Abu Abdillah asy-Syaibani, Musnad Ahmad bin Hambal, (Kairo: Muassasah Qurthubah, tt)
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1983)
Ibnu Katsir, Fadhailul Qur’an, (tk: tp, tt.), juz I, hal. 15 dalam al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
Maktabah Syamilah versi 1.
Maktabah Syamilah versi 2.09.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Alquran, terj. Drs. Mudzakir AS., (Jakarta: Litera AntarNusa, 1994).
Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996).
Muhammad bin Ahmad bin Usman bin Qayimaz Adz-Dzahabi, Ma’rifat al-Qurra al-Kibar ‘ala Thabaqat wa al-Amshar, ed. Basyar Awwad Ma’ruf et. el., (Beirut: Muassash ar-Risalah, 1404 H)
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391 H).
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987).
Pedersen, J., Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj. Alwiyah Abdurrahman, (Bandung, Mizan, 1996).
Shubhi ash-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ilm lil Malayin, 1988).
Syamsudin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”, dalam www.swaramuslim.com.
Ugi Suharto, “Meruntuhkan Al-Qur’an”, Republika, edisi 8 Agustus 2003.
Utsman bin Sa’id ad-Dani Abu Amar, al-Muhkam fi Nuqath al-Mashahif, (Damsyik: Darul Fikr, 1407 H).