Sang Pembalak Liar

Hutan gundul hasil pembalakan liar (Foto: iwandahnial.files.wordpress.com)
Hutan gundul hasil pembalakan liar (Foto: iwandahnial.files.wordpress.com)

Lelaki itu berbadan tegap. Tinggi besar dengan kulit agak gelap. Kumisnya tebal dengan sorot mata yang tajam. Ke mana-mana, ia sering menggunakan kaos dan celana blue jeans serta dilengkapi sepatu bot. Di pinggangnya, menyembul sepucuk pistol kecil. Gagah sekali tampaknya. Sekilas pasti orang menilai, ia adalah seorang anggota aparat keamanan. Mungkin kalau jadi provost, perawakannya sangat memenuhi syarat.

Meski tidak lulus SD dan tidak bisa baca tulis, Ibur bisa menandatangani surat-surat yang berkaitan dengan bisnisnya. Tak ayal, ia sangat tergantung dengan istrinya yang jauh lebih terdidik. Karena itulah, pengelolaan uang ia serahkan kepada istrinya. Jadilah Ibur dan istri sepasang suami istri yang kompak dan romantis. Dengan mengendarai motor besarnya bersama sang istri, ia sering membeli sarapan nasi kuning di warung dekat rumahku. Begitulah penampilan Ibur. Sebutlah namanya seperti itu.

Bacaan Lainnya

Sejak tahun 2001 hingga tahun 2004 saat pemerintah Megawati kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden, Ibur menikmati masa-masa keemasannya sebagai seorang pembalak liar. Dalam seminggu, ia bisa tiga kali mengirimkan kayu jati ratusan kubik. Jika ada pengiriman, menjelang Isya, iring-iringan truk hingga 10 buah melintas di depan rumahku membawa kayu jati. Konon, truk-truk itu langsung dibawa ke sebuah pelubahan, dan kemudian dikirimkan ke luar negeri oleh si bos besar yang berkebangsaan Korea.

Bayangkan, bagaimana tidak habis kayu jati di hutan di kampungku jika setiap minggu tiga kali rata-rata 10 truk mengangkutnya dengan muatan penuh? Ironisnya, truk-truk dengan santai melenggang kangkung melewati berbagai kantor polisi. Semuanya aman terkendali.

Bukan pemandangan aneh jika sore atau usai maghrib, mobil polisi sudah nongkrong di depan rumah Ibur. Tentu saja bukan untuk menangkap sang bos kayu, namun meminta jatah uang keamanan. Dan Ibur pun tak segan merogoh koceknya dalam-dalam demi kelancaran bisnis kayunya itu. Terkadang sebelum rombongan truknya berangkat, ia juga mentraktir para polisi di sebuah rumah makan ikan bakar dekat rumahnya.

Jaringan Ibur memang panjang. Dari pucuk pimpinan aparat keamanan hingga petugas lapangan, semuanya mendapat jatah. Tak heran, bisnisnya aman-aman saja. Memang beberapa kali, ia masuk bui. Tapi, ia dengan mudah kembali keluar melenggang kangkung. Maklum, ia juga memiliki bos yang siap mengeluarkannya dari hotel prodeo jika tertangkap oleh aparat yang tidak tahu siapa dia.

Untuk lebih memperkuat posisinya, Ibur juga menyuplai kayu-kayu jati ilegalnya itu untuk pembangunan rumah para petinggi aparat. Bahkan, konon, seorang pucuk pimpinan aparat dibantu oleh Ibur saat sang jenderal membangun rumah di kampung halamannya. Karena itulah, para polisi setingkat polsek atau polres mati kutu di hadapan Ibur yang begitu powerful.

Suatu ketika, ada pertemuan di kecamatan tentang masalah kehutanan. Pihak-pihak yang terkait pun diundang dalam rapat tersebut. Termasuk pula, salah seorang aktivis pemuda yang sering main ke rumahku. Seperti biasa, sang aktivis itu pun berbicara kritis. Dan Ibur pun menjadi sasaran tembak pemuda lajang itu. Namun sepulang dari rapat itu, Ibur pun mendatangi sang aktivis. Sepucuk pistol ditodongkan Ibur tepat di jidat si pemuda.

“Awas, kalau kamu ngomong macem-macem lagi, saya dor kamu! Ngerti?!” bentak Ibur dengan garang.

Sejak ancaman itu, sang aktivis kampung itu pun ketakutan setengah mati. Ia pun menghilang dari kampung. Selidik punya selidik, sang aktivis pergi ke ibukota dan bersembunyi di rumah keluarganya.

Kejayaan Ibur memang mencolok di mata rakyat di kampungku. Rumah lamanya ia pugar sehingga menjadi rumah yang bagus dan mewah. Seorang anaknya yang paling gede, ia bangunkan juga sebuah rumah yang paling bagus di antara deretan rumah sekitarnya. Tidak hanya sampai di situ, Ibur juga membangun rumah untuk sarang burung walet yang terletak tak jauh dari rumahnya sendiri. Sebuah mobil Carnival hitam nongkrong pula di garasi rumahnya.

Layaknya bos mafia, Alcapone, Ibur juga tak lupa menggelontorkan uangnya untuk hal-hal yang bersifat sosial. Mungkin semacam pencucian uang (money laundring) atau upaya menciptakan citra baik di mata masyarakat. Ia tidak segan membagi-bagikan sembako ke masyarakat yang tidak mampu. Ia juga bersedia menyediakan bantuan kayu jati untuk pembangunan mesjid di kampungku.

Namun satu hal yang mungkin tidak disadari Ibur. Roda kehidupan terus berputar, dan bisnis haram pada akhirnya, cepat lambat, pasti ambruk. Begitulah yang dialami Ibur di kemudian hari. Saat pemerintahan baru menggantikan pemerintahan yang lama, ditabuhlah genderang perang terhadap para pembalak liar. Aparat keamanan yang selama ini melindungi bisnis, kini justru mengincar dirinya.

Pengiriman kayu jati yang selama ini lancar kini menjadi tersendat. Paling hanya satu dua truk yang bisa ia kirimkan. Itu pun dengan ekstra hati-hati. Hingga akhirnya, pengiriman itu berhenti total. Dan Ibur mendengar bahwa ia menjadi target dari pihak aparat pusat. Beking aparat di daerah sudah tak mempan lagi melindung dirinya. Sebelum akhirnya, aparat betul menangkap dirinya, ia sudah kabur duluan bersama sang istri tercinta. Hingga hari ini, tidak ada yang tahu pasti di mana keberadaan sang mantan juragan kayu jati. Ada yang menyebukan ia bersembunyi di Sumatera. Ada yang menyebutkan ia bersembunyi di Banten, belajar agama dan menjadi orang baik-baik. Ada yang menyebutkan ia menyamar menjadi preman di Tanah Abang.

Entahlah aku juga tak tahu pasti. Yang jelas, hingga hari ini, ia tak jua berani kembali ke kampung. Rumahnya sudah ditempati oleh orang lain. Konon, kalau ia berani pulang, ia telah diancam akan dibunuh. Tentu saja hal itu bisa dimaklumi. Kalau Ibur tertangkap, ia mungkin akan bernyanyi. Para pejabat dan aparat yang selama ini terlibat dalam melindungi bisnis haram Ibur, terancam posisi mereka.

Ibur kini telah menorehkan jejak hitam di kampungku. Selama aku tinggal di rumahku sekarang, aku sudah mengalami tiga kali banjir. Mungkin memang tak ada kaitan langsung dengan Ibur. Namun setiap kali banjir terjadi, orang-orang memiliki umpatan standar, “Ini gara-gara Ibur menggunduli hutan kita.”

Mungkin masih banyak Ibur-Ibur yang lain di negeri ini. Gundulnya hutan akibat perbuatan mereka tak bisa dipulihkan dalam jangka waktu cepat. Mungkin perlu puluhan atau ratusan tahun lagi. Dan hidup kaya dengan cara yang melanggar hukum seperti Ibur adalah laksana membangun istana pasir di pinggir pantai. Dalam sekejap, ia pun hilang ditelan gelombang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

6 Komentar

  1. saya yakin, mas rache, jumlah Ibur di negeri ini luar biasa banyaknya. merekalah yang sesungguhnya yang telah memiliki andil besar terhadap rusaknya lingkungan hidup dan merabaknya global warming. sayangnya. jaringan mereka yang kuat seringkali membuat aparat keamanan tak berdaya menghadapi sindikat semacam itu. bahkan, tak jarang aparat keamanan pun masuk ke dalam lingkaran jaringan yang mbulet ndak karu2an. kapan, yah, hutan kita bisa kembali seperti dulu?

    @ Sawali Tuhusetya
    Saya juga tidak tahu, kapan hutan kita kembali rimbun dan berfungsi seperti dulu. Setiap kali melintasi hutan di kampung saya, saya seperti hendak menangis. Betul-betul gundul, persis seperti dalam foto yang saya posting.

  2. Saya rasa bukan masalah presiden atau partai apa yang menang sejak krisis ekonomi melanda pembalakan memang semakin menjadi-jadi.

    @Apria
    Maafkan saya, Apria. Saya tidak bermaksud berpromosi seorang presiden atau partai tertentu. Saya non partisan. Saya juga tidak sedang menuding partai tertentu. Saya hanya sedang bercerita tentang kisah yang terjadi di kampung saya.

  3. Di Riau saya melihat sebuah dilema. Ketika pembalakan liar itu dibiarkan saja, ribuan orang memiliki pekerjaan di sebuah pabrik kertas. Dan ketika pembalakan itu mulai ditindak, ribuan buruh terpaksa di rumahkan karena sang pabrik tak bisa berproduksi.
    Bingung jadinya.

    @ Taufik Asmara
    Memang ada dilema. Di tempat saya juga sama. Tapi kita harus mempertimbangkan resiko yang lebih besar. Bencana yang timbul seperti banjir jauh lebih menyengsarakan daripada pemecatan ribuan karyawan perusahaan kayu.