Sebagai seorang penghulu, tentu saja saya terkadang menemui acara pernikahan yang sangat seremonial dan formalistik. Ada banyak acara yang harus dilewati hingga acara akad nikah, terutama jika dilaksanakan oleh sebuah wedding organizer (WO). Setelah akad nikah, masih ada lagi acara-acara lain. Acara itu dipandu oleh pembawa acara yang terkadang kurang mengerti tentang hukum perkawinan dalam Islam, seperti tata cara khotbah nikah. Bahkan terkadang ada yang bersikeras harus ada khotbah nikah seolah merupakan sesuatu yang wajib. Hal ini menunjukkan ada salah kaprah tentang khotbah nikah di tengah masyarakat yang selayaknya diluruskan.
Salah Kaprah
Di antara salah kaprah yang sering terjadi dalam pernikahan adalah terkait dengan khotbah nikah. Ada dua salah kaprah yang terjadi. Pertama salah kaprah tentang penempatan khotbah nikah yang salah dalam rangkaian acara yang dilakukan oleh pembaca acara. Kedua, salah kaprah tentang materi khotbah yang dilakukan oleh sang khatib.
Salah kaprah pertama: penempatan khotbah nikah. Sebagaimana lazimnya khotbah dalam salat Jumat, salat Id, dan lainnya, khotbah nikah pun merupakan satu rangkaian dengan ritual lainnya. Dalam kegiatan Jumatan, khotbah Jumat adalah satu rangkaian dengan salat Jumat. Tidak perlu diselingi dengan kegiatan lain antara khotbah Jumat dan salat Jumat, seperti misalnya pengumuman dari pengurus DKM. Dalam pelaksanaan salat Id, khotbah dilaksanakan tidak lama setelah salat Id selesai dilaksanakan.
Dalam pernikahan, khotbah nikah dilakukan sebelum akad nikah. Begitu khotbah nikah selesai dilaksanakan, langsung dilaksanakan akad nikah. Dengan demikian, acara-acara lain tidak perlu dilaksanakan di antara khotbah nikah dan akad nikah.
Dalam pelaksanaannya, sering kali petugas pembawa acara atau Master of Ceremony (MC), tidak mengerti peletakan khotbah dalam rangkaian mata acara (rundown). Terkadang khotbah nikah dilaksanakan di awal. Setelah khotbah nikah, ada lagi mata acara lain, seperti sambutan atau pemeriksaan administrasi oleh petugas KUA.
Salah kaprah kedua: materi khotbah. Dalam pelaksanaan akad nikah di tengah masyarakat, terkadang ditemukan ada seseorang ditunjuk oleh pihak pengantin untuk memberikan khotbah nikah. Namun dalam penyampaiannya, unsur penting khotbah nikah tidak terpenuhi. Sebagaimana dijelaskan al-Mawardi, ada empat unsur yang semestinya ada dalam khotbah nikah, yaitu: tahmid, salawat, wasiat takwa, dan ayat al-Qur’an (Al-Hawi fi Fiqh asy-Syafi’i, juz 9, hal. 164).
Hal yang sering kali luput dalam materi khotbah adalah wasiat takwa. Sang khatib sibuk memberikan materi khotbah sampai ke sana ke mari. Materinya lebih mirip pengajian atau sambutan biasa. Bahkan terkadang diselingi dengan bumbu guyonan sehingga mengurangi nilai sakral khotbah. Padahal, khotbah nikah tetap harus mengacu kepada rukun khotbah. Mereka tidak bisa membedakan antara khotbah dengan sambutan dan pengajian biasa.
Status Hukum Khotbah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum khotbah nikah hanyalah sunah, dan bukanlah termasuk rukun. Dengan demikian, tak ada konsekuensi akad nikah jadi tidak sah jika khotbah nikah tidak dilakukan atau salah dalam pelaksanaannya.
Berbeda dengan mayoritas ulama, Imam Dawud azh-Zhariri berpendapat bahwa khotbah nikah adalah wajib (Bidayatul Mujtahid, juz 1, hal. 393). Pandangan azh-Zhahiri tersebut berbeda dengan fakta sejarah hukum Islam. Dalam hidup Nabi Muhammad dan para sahabat, praktek pernikahan tidak selalu disertai dengan khotbah nikah. Jika memang khotbah nikah itu adalah sesuatu yang wajib, tentu saja praktek akad nikah yang tidak disertai khotbah dilarang oleh Nabi Muhammad. Namun ternyata, praktek akad nikah tanpa khotbah tidak dilarang oleh Nabi Muhammad (al-Hawi fi Fiqh asy-Syafi’i, juz 9, hal. 164).
Khotbah tidak hanya dilakukan pada saat sebelum akad nikah, tapi juga disunahkan pada saat melakukan lamaran (khitbah). Khotbah pada saat lamaran disebut dengan Khotbah Hajat (Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 138). Orang yang melamar (calon suami) atau wakilnya mengucapkan khotbah sebelum masuk ke pokok masalah, yaitu melamar. Jika pada saat lamaran sudah dibacakan khotbah, maka khotbah pada saat akad nikah berfungsi untuk menguatkan (Al-Fiqh al-Manhaji, juz 4, hal. 53).
Pada saat Nabi Muhammad menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali, khotbah disampaikan oleh keduanya, yaitu Nabi Muhammad selaku wali dan Ali selaku calon suami. Jika wali dan calon menyampaikan khotbah pada saat akad nikah, maka yang didahulukan adalah khotbah dari calon suami, baru kemudian khotbah dari wali. Hal itu untuk menunjukkan bahwa si calon suami selaku orang yang meminta (thalib), sedangkan si wali sebagai pihak yang menjawab (mujib). Setelah calon suami dan wali menyampaikan khotbah, baru kemudian dilaksanakan ijab dan kabul (al-Hawi fi Fiqh asy-Syafi’i, juz 9, hal. 165)