Di tengah masyarakat dilanda wabah Covid 19, ketika semua pihak bahu-membahu untuk menghentikan penyebarannya, ada saja pihak yang justru melakukan provokasi yang justru kontra produktif. Hal itulah yang dilakukan Ichsanuddin Noorsy, seorang ahli ekonomi yang seolah bertindak sebagai ahli tafsir Al-Qur’an. Ia menyitir ayat Al-Qur’an Surah al-An’am ayat 162. “Kamu bilang hidup matimu untuk Allah, tapi sekadar menghadapi Covid saja ketakutan. Padahal masjid tempat mulia, kenapa mesti takut!” demikian kata Noorsy. Dengan ayat tersebut, secara tidak langsung ia memprovokasi masyarakat agar tidak takut dengan virus Covid 19.
Ungkapan Noorsy tersebut jelas tidak pada tempatnya. Ayat tersebut merupakan wilayah akidah. Tentu saja setiap muslim harus meyakini bahwa ibadah, hidup dan matinya hanya dipersembahkan kepada Allah. Hal itu menjelaskan tentang bagaimana seseorang harus ikhlas dalam beribadah dan menjalankan kehidupannya. Dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Imam Thabari menjelaskan bahwa ayat tersebut berkaitan erat dengan perintah Allah kepada Nabi untuk menjelaskan tentang keyakinan Islam. Hal ini untuk menyikapi kebiasaan umat musyrik Mekkah. Mereka melakukan haji sembari menyembah berhala. Mereka juga melakukan penyembelihan binatang yang dipersembahkan untuk berhala.
Nabi Muhammad adalah orang yang paling mengerti Islam
Tidak ada manusia di muka bumi ini yang paling mengerti tentang Islam kecuali Nabi Muhammad SAW. Hal itu karena beliaulah manusia istimewa yang mendapat wahyu langsung dari Allah. Wahyu itu sampai ke tangan kita hingga hari ini dalam bentuk Al-Qur’an. Selain itu, ajaran-ajaran Islam juga bersumber dari beliau yang sampai ke kita saat ini melalui kitab-kitab hadis. Beliaulah yang meletakkan dasar-dasar ajaran Islam yang menjadi pedoman bagi para pengikutnya hingga akhir zaman.
Dari kedua sumber itu, Al-Qur’an dan Al-Hadis, para ulama lantas mengelaborasinya menjadi khazanah pengetahuan yang sangat luas. Elaborasi itu menjadi penting bagi umat Islam agar mereka tidak seenaknya memahami teks Al-Qur’an dan Hadis padahal tidak memiliki perangkat ilmu yang memadai. Dari elaborasi itu muncullah kitab-kitab tafsir, hadis dan penjelasannya (syarh), fikih dan ushul fikih, dan lain-lain.
Tidak ada orang yang paling bertakwa dan dekat dengan Allah selain Nabi Muhammad SAW. Jika ada orang yang ingin mengetahui siapa manusia paling bertakwa, maka lihatlah Nabi Muhammad. Jika ada orang yang ingin mengetahui siapa manusia paling dicintai oleh Allah, dialah Nabi Muhammad, Kekasih Allah. Jika ada orang yang paling dekat dengan Allah, dialah Nabi Muhammad. Beliau adalah puncaknya orang saleh. Beliau adalah walinya dari seluruh wali.
Allah sendiri menetapkan bahwa Nabi Muhammad merupakan panutan terbaik (uswatun hasanah) bagaimana agama Islam diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau merupakan contoh paripurna bagaimana ajaran-ajaran Allah dalam Al-Qur’an dipraktekkan di kehidupan nyata. Beliau menjadi titik sentral bagi seluruh penganut Islam dalam mencari panduan bagaimana menjalani kehidupan beragama.
Nabi adalah orang yang mencintai keselamatan umatnya
Sebagai pemimpin yang mencintai para pengikutnya, Nabi Muhammad tentu tidak akan mengajarkan sesuatu yang menjerumuskan umatnya. Beliau tentu ingin umatnya selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itulah, dalam konteks pandemi Covid 19 seperti sekarang ini, ajaran Nabi tentang menjaga keselamatan umatnya dari bahaya penyakit menjadi sesuatu yang sangat penting.
Sabda yang diucapkan oleh Nabi tentu tidak berdasar hawa nafsu beliau. Petunjuk yang beliau sampaikan kepada umatnya tentu berasal dari panduan dari Allah. Hal itu ditegaskan oleh Allah sendiri dalam Al-Qur’an Surah an-Najm ayat 3. Dan dia (Nabi Muhammad) tidaklah berbicara menurut kemauan hawa nafsunya.
Ketika wabah pandemi Covid 19 melanda seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sudah seyogianya umat Islam mengingat kembali ajaran Nabi Muhammad. Hal ini penting agar umat Islam beragama bukan berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Dalam konteks pandemi Covid 19 ini, Nabi Muhammad bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari).
Sabda Nabi tersebut mengajarkan kepada tentang bagaimana agama tidak dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Dalam hadis tersebut, Nabi mengajarkan tentang isolasi mandiri saat terjadi wabah. Kita diajarkan untuk tidak memasuki daerah yang sedang dilanda wabah agar kita tidak tertular. Di sisi lain, kita juga diajarkan untuk tidak keluar dari daerah yang dijangkiti wabah agar kita tidak menularkan kepada orang lain.
Ajaran Nabi untuk tidak memasuki daerah wabah atau keluar darinya merupakan ajaran tentang ikhtiar bagi umatnya demi keselamatan mereka. Hal ini menunjukkan betapa rasionalnya Nabi Muhammad dalam beragama. Beliau menunjukkan bahwa bahaya dan ancaman wabah itu nyata sehingga harus dihindari.
Hal ini sejalan pula dengan ajaran Nabi Muhammad untuk tidak berkontak dengan seseorang yang mengidap penyakit menular. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, beliau bersabda: “.. dan larilah dari pengidap kusta sebagaimana kau lari dari kejaran singa!” Metafora yang dibuat oleh Nabi tersebut merupakan diksi yang sangat cerdas. Nabi Muhammad menunjukkan kepada umatnya bahwa penyakit menular itu sangat berbahaya sebagaimana berbahayanya seekor singa. Jika kita berada di hadapan seekor singa, maka tindakan yang paling masuk akal adalah kita berlari darinya untuk menyelamatkan diri.
Ikhtiar dulu baru tawakal
Jika direnungkan lebih dalam, hadis tersebut jelas mengajarkan kepada kita untuk melakukan ikhtiar saat terjadi wabah. Bertawakal dan hanya takut kepada Allah adalah dua sikap yang harus diletakkan pada tempatnya yang benar. Dalam hadis lain, Nabi mengajarkan bahwa sikap tawakal itu diletakkan setelah seseorang melakukan ikhtiar. Lihat bagaimana dialog Nabi tentang sikap tawakal sebagaimana yang direkam oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya.
“Ya Rasulullah SAW, apakah aku harus mengikat untaku lalu bertawakal pada Allah SWT atau melepaskannya dan bertawakal pada Allah SWT?” tanya seorang sahabat.
Rasulullah SAW berkata, “Ikat untamu lalu bertawakal pada Allah SWT.”
Jawaban Nabi tersebut jelas menunjukkan bahwa kita harus berikhtiar dulu, baru kemudian bertawakal. Namun di tengah pandemi saat ini, muncul sebagian orang yang berkoar-koar di media sosial, “Jangan takut sama Corona. Takutlah kepada Allah!” Atau ada kalimat berbunyi, “Kami hanya takut kepada Allah, bukan Corona!”
Kalimat-kalimat di atas secara tidak langsung menunjukkan kesombongan yang dibalut dalam idiom-idiom agama. Keyakinan bahwa Allah yang menguasai hidup dan mati hamba-Nya tidak lantas dipertentangkan secara vis a vis dengan ikhtiar manusia untuk menyelamatkan diri dari ancaman yang membahayakan hidupnya. Hal itu karena Nabi Muhammad sendiri mengajarkan untuk melakukan ikhtiar saat ada ancaman bahaya. Padahal Nabi sendiri adalah sosok yang paling takut kepada Allah dan paling beriman di dunia ini. Namun beliau tetap mengajarkan kepada umatnya untuk berikhtiar saat menjalani kehidupan di dunia ini.