Puasa adalah Latihan Kehidupan

puasa latihan kehidupanJika direnungkan lebih dalam, ternyata puasa adalah latihan kehidupan yang luar biasa. Karena merupakan latihan, tidak semua orang juga berhasil dalam menjalakan latihan itu. Karena itulah, puasa itu ditentukan oleh Allah sebagai sesuatu kewajiban yang dilaksanakan setiap tahun. Kalaupun selama bulan Ramadhan, seseorang belum berhasil menjalankan semua latihan itu, masih ada banyak puasa sunah yang bisa dilakukan. Bagaimanapun manusia memang makhluk yang sering kali lupa dan lalai dengan tugas dan tujuan hidupnya. Karena itulah, ia perlu banyak mendapatkan latihan agar senantiasa ingat dengan tugas dan tujuan hidupnya di dunia. Berikut ini beberapa latihan dalam puasa yang sejauh ini bisa kupahami dan kuhikmati.

  1. Latihan bersikap pasrah dan berprasangka baik kepada ketentuan Allah

Bagi sebagian orang, puasa bisa menjadi sesuatu siksaan bagi mereka. Timbul pertanyaan, mengapa orang harus bersusah-payah untuk tidak makan dan minum sejak fajar hingga tenggelam matahari? Bukan hal itu bentuk penyiksaan terhadap diri sendiri? Mengapa Tuhan menyiksa hamba-Nya dengan rasa lapar dan haus sepanjang siang hari?

Bacaan Lainnya

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab manakala seseorang memiliki sikap pasrah dan berprasangka baik atau berpikir positif terhadap ketentuan dan hukum Tuhan. Setiap ketentuan dan hukum yang diciptakan oleh Tuhan pasti memiliki tujuan yang baik untuk manusia, bahkan untuk alam semesta. Meskipun sekilas suatu ketentuan Tuhan tampak buruk dan menyiksa bagi manusia, namun di baliknya banyak terdapat hikmah dan manfaat yang besar bagi manusia dan alam semesta. Hal itu tergantung kepada diri seorang manusia, apakah ia mau atau tidak untuk menggali dan merenungkannya dengan pikiran dan hati yang jernih.

Sebagai Pencipta manusia dan seluruh alam semesta, tentu Tuhan Maha Mengetahui dengan pasti bagaimana kondisi fisik, pikiran, dan perasaan setiap manusia. Tidak mungkin Tuhan menciptakan suatu ketentuan yang tidak mampu dilakukan oleh hamba-Nya. Tidak mungkin Tuhan membuat ketentuan hukum di luar kemampuan manusia untuk menjalankannya. Termasuk dalam hal ini adalah ketentuan tentang puasa. Manusia yang normal dan sehat tidak akan mati hanya karena ia berpuasa sejak terbitnya fajar hingga tenggelam matahari.

  1. Latihan bersikap jujur

Saat seseorang menjalankan puasa, ia memiliki kebebasan memilih untuk membatalkan puasanya atau tidak dengan cara makan atau minum. Ia bisa menyembunyikan diri dari penglihatan orang lain, lantas makan atau minum sepuasanya. Ia lantas bisa saja mengaku bahwa ia tidak membatalkan puasanya, padahal ia sudah makan atau minum tanpa sepengetahuan orang lain. Tapi, sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa ia telah bertindak tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Orang lain bisa saja ia tipu. Tapi ia tidak bisa menipu dirinya sendiri dan Tuhan. Ke mana pun ia bersembunyi, pasti Tuhan Maha Mengetahui setiap gerak-geriknya. Dengan demikian, orang yang berpuasa sebenarnya sedang berlatih untuk bersikap jujur. Tidak ada artinya berpuasa jika seseorang tidak jujur.

Sikap jujur itulah yang perlu dilatih dan dijadikan kebiasaan bagi seseorang agar bisa meningkatkan kualitas pribadinya. Rentang waktu satu bulan selama Ramadhan seyogianya bisa menjadi momentum yang tepat untuk menerapkan sikap jujur dalam kehidupan sehari-hari. Ketika bulan Ramadhan telah usai, nilai-nilai kejujuran tetap melekat dalam kehidupan seseorang sepanjang tahun ke depan, hingga kemudian ia bertemu kembali bulan Ramadhan berikutnya, dan kembali dilatih untuk bersikap jujur.

  1. Latihan mengendalikan hawa nafsu

Hawa nafsu memang bagian integral dari seorang manusia. Hawa nafsu bisa mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan. Tapi hawa nafsu juga bisa mendorong seseorang untuk melakukan keburukan. Karena itulah, hawa nafsu harus dikendalikan oleh seorang manusia. Jika hawa nafsu sudah tidak bisa dikendalikan, ia akan menghancurkan kehidupan seorang manusia. Jika manusia senantiasa menuruti keinginan hawa nafsu, maka ia akan diperbudak oleh hawa nafsu. Ketika hal itu terjadi, tak ayal kehidupannya pasti tidak akan baik.

Karena besarnya bahaya hawa nafsu, mau tidak mau, manusia harus mengendalikannya. Salah satu latihan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah dengan cara berpuasa. Meski dalam keadaan lapar dan dahaga, lantas di hadapannya dihidangkan makanan yang lezat dan minuman yang menyegarkan, seseorang yang berpuasa berlatih untuk mengendalikan hawa nafsu agar tidak tergoda untuk makan atau minum. Bagi sepasang suami istri, apalagi mereka yang masih dalam masa pengantin baru, saat keduanya sedang berpuasa, mereka tidak boleh melakukan hubungan suami istri di saat siang hari.

  1. Latihan berempati dan bersedekah kepada orang tidak mampu

Dalam realitas kehidupan, tidak semua orang memiliki kehidupan yang layak. Tidak semua orang mampu mencukupi semua kebutuhannya, bahkan kebutuhan-kebutuhan dasarnya sekalipun. Ada orang yang dirundung kelaparan karena memang tidak memiliki uang untuk membeli makanan. Ada orang yang harus berjibaku mencari rezeki sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi untuk hari itu saja. Di esok hari, ia kembali harus membanting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi. Demikianlah kehidupan yang dijalani oleh manusia.

Dengan berpuasa, orang dilatih untuk merasakan betapa tersiksanya rasa lapar dan haus sepanjang hari sebagaimana yang dirasakan oleh kaum papa. Bagi sebagian orang yang hidupnya serba berkecukupan dan tidak pernah merasakan kesulitan untuk mendapatkan makan, puasa menjadi sesuatu yang penting sebagai latihan untuk berempati terhadap penderitaan mereka yang dihimpit oleh kesulitan ekonomi. Dengan puasa, orang dilatih untuk memperbanyak sedekah terhadap orang-orang tidak mampu yang membutuhkan uluran tangan.

  1. Latihan bersyukur terhadap nikmat yang diberikan Allah

Ketika seseorang merasakan rasa lapar dan dahaga karena berpuasa, pada saat yang sama ia sebenarnya dilatih untuk menyadari bahwa selama ini telah diberi banyak rezeki oleh Allah. Selama ini bisa dengan mudah untuk mendapatkan makan dan minum. Tapi bagi sebagian orang lain, untuk mendapatkan makan dan minum yang sederhana sekalipun, mereka harus bekerja keras membanting tulang. Di situlah, seseorang yang berpuasa dilatih untuk bersyukur atas banyaknya rezeki dan kenikmatan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya.

Sikap syukur tidak hanya lantas diwujudkan dalam ucapan “Alhamdulillah” atau “Puji Tuhan” saja. Lebih dari itu, sikap syukur juga harus dimanifestasikan dalam tindak-tanduk nyata. Ketika orang benar-benar menyadari makna syukur, ia pun menjadi semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, sebagai Zat Yang Maha Pemberi rezeki. Ia pun semakin menjadi semakin dekat kepada orang-orang yang membutuhkan uluran tangannya. Ia menyadari bahwa rezeki yang ada pada dirinya, tidak mutlak hanya ia yang bisa menikmati. Setiap rezeki yang datang ke tangannya, pasti melewati banyak orang dalam prosesnya. Karena itulah, ia pun tidak terjerat dalam sikap kikir atas harta yang ia miliki.

  1. Latihan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kondisi fisik

Secara alamiah, ketika seorang berpuasa, cairan dalam tubuhnya tentu berkurang. Hal ini bisa mengakibatkan dirinya menjadi lemas dan kurang tenaga. Meski demikian, kondisi tersebut tidak akan berakibat fatal jika memang kondisi orang yang berpuasa sebelumnya sehat dan normal. Dalam kondisi yang lemas dan kurang tenaga tersebut, seseorang yang berpuasa tetaplah harus melakukan aktivitasnya sebagaimana biasa. Ia tetap bekerja meski dalam keadaan berpuasa. Sama seperti orang lain yang tidak berpuasa. Ia beribadah seperti biasa sebagaimana orang lain yang tidak berpuasa.

Hal inilah yang ingin dilatih pada setiap orang yang berpuasa. Latihan untuk tidak tergantung dengan kondisi fisik ketika harus melakukan sesuatu. Berpuasa adalah wahana yang diciptakan oleh Tuhan untuk melatih manusia agar memiliki daya juang yang kuat meskipun kondisi riil hidupnya terbatas. Dengan puasa, diharapkan lahir manusia-manusia yang berjiwa tangguh, yang tidak mudah menyerah dengan kondisi hidupnya yang sempit dan terbatas. Dalam kondisi lemah dan terbatas, seseorang tetap berhak untuk berbuat yang terbaik dalam hidupnya.

Sebagai contoh, dalam sejarah Islam, perang Badar terjadi di bulan Ramadhan. Hal itu bisa kita bayangkan, betapa sulitnya berperang dalam kondisi berpuasa. Tapi Nabi Muhammad dan para sahabatnya tetap gagah berani berjuang mempertaruhkan jiwa dan hartanya di medan perang, sehingga akhirnya mereka memenangkan peperangan dengan gemilang.

Orang-orang besar di dunia pastilah pribadi-pribadi yang memiliki jiwa besar. Mereka memiliki ide dan pemikiran yang besar dalam kehidupan mereka. Meski kondisi sekeliling mereka tidak mendukung, mereka tetap berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita dan impian mereka. Kebesaran jiwa inilah yang bisa diraih oleh orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh. Hidupnya tidak akan goyah hanya karena persoalan-persoalan kecil yang terjadi di sekelilingnya.

Baca juga Renungan Puasa

Agar sampai pada kesadaran demikian, tentu saja perlu latihan yang keras. Waktu sebulan berpuasa belum tentu bisa membuat seseorang berhasil menjadi pribadi yang tangguh. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana ia mengatur mindset-nya. Jika mindset-nya adalah senantiasa berpikir positif terhadap segala yang terjadi di sekelilingnya, maka potensi keberhasilannya menjadi semakin besar. Namun jika mindset-nya tidak pernah ia ubah, maka selamanya ia hanya menjadi pribadi yang lemah.

Pikiran dan jiwa seseorang bisa menaklukkan kondisi fisiknya. Jika pikiran dan jiwa seseorang dipenuhi oleh hal-hal positif, maka rasa lapar, dahaga, dan lemas menjadi tidak terasa, sehingga ia bisa melakukan hal-hal besar dan positif dalam hidupnya. Hal ini pula bisa diterapkan pada orang-orang yang sedang sakit. Orang yang menyadari betapa pentingnya merawat hati, jiwa, dan pikiran yang positif, sehingga ia tetap memiliki harapan yang besar untuk sembuh. Ia tidak memberi ruang dalam hatinya untuk berprasangka buruk kepada Sang Pencipta. Di antara prasangka buruk yang sering kali menghinggapi hati banyak orang, terutama bagi mereka yang sedang terbaring sakit, adalah bahwa Tuhan tidak adil pada dirinya; sakitnya adalah siksaan bagi dirinya; penyakit yang ia derita sulit atau tidak akan bisa disembuhkan; atau perasaan bahwa ia adalah orang yang paling menderita di dunia; bahwa orang-orang di sekelilingnya tidak ada yang peduli, dan lain-lain.

  1. Latihan mendekatkan diri kepada Allah

Di saat bulan Ramadhan, banyak momentum yang bisa digunakan oleh orang yang berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Hal itu karena bulan Ramadhan merupakan bulan istimewa yang banyak memiliki fasilitas dari Allah yang bisa digunakan oleh hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Di antara fasilitas itu adalah bahwa salat tarawih, tadarus Al-Qur’an, i’tikaf, bersedekah, dan lain-lain. Ketika orang yang berpuasa melakukan hal-hal tersebut, sesungguhnya ia sedang berupaya untuk mendekatkan dirinya kepada Sang Khaliq.

Kedekatan kepada Sang Khaliq itu akan menjelma menjadi perasaan tenteram, bahagia, rindu, dan cinta kepada-Nya jika dilakukan dengan penuh ketulusan. Namun kedekatan itu akan sulit terwujud tatkala ibadah-ibadah yang dilakukan masih dikotori oleh pamrih ingin pamer (riya), malu kepada orang lain, atau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan materi. Semakin orang mendekatkan diri kepada Tuhan, semakin ia menjauh dari anasir-anasir lain selain Tuhan. Hal itu sama saja seperti orang yang berangkat ke arah Utara, pada saat yang sama ia menjauh dari arah Selatan.

Dalam bahasa agama, pada akhirnya, kedekatan kepada Tuhan itu akan melahirkan ketakwaan. Itulah yang sebenarnya menjadi tujuan akhir berpuasa, yaitu menjadi pribadi yang bertakwa. Ketakwaan akan diperoleh orang berpuasa jika melaksanakannya dengan baik, sesuai dengan tuntunan agama. Jika puasa hanya terbatas pada menahan diri dari manusia makan, minum, dan hubungan seksual, maka puasa itu belum cukup untuk melahirkan kualitas takwa. Lebih dari itu, mengendalikan seluruh anggota badan dari segala perbuatan yang buruk adalah salah satu bentuk tingkatan puasa yang lebih tinggi. Pada puncaknya, tingkatan puasa yang paling tinggi adalah mengendalikan hati dan pikiran sehingga segala hal yang dirasakan, dipikirkan, dan dilakukan hanya bertujuan dan bersandar pada Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Wallahu a’lam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan