Provokasi

Seorang teman memprovokasi diriku agar berani memprotes tindakan atasanku yang “menguasai” uang sumbangan rutin untuk operasional kantor. Sebagai orang sering mewakili atasannya, temanku itu memang sudah mengetahui adanya pencairan uang sumbangan operasional untuk setiap kantor di tiap kecamatan. Ia sendiri sudah mencairkan sumbangan untuk kantornya.

“Jangan mau dibohongi terus-terusan! Uang itu bukan milik atasanmu! Jangan hanya dikuasai sendiri aja. Itu uang untuk kita semua. Kepentingan kantor! Itu sudah zalim namanya! Harus berani dilawan! Uangnya jangan hanya dimakan si bos aja. Tapi juga dibagi-bagi kepada bawahan. Kan lumayan untuk Lebaran!” Demikian salah satu kalimat provokatif yang dilontarkan sang teman padaku lewat telepon kemarin sore.

Bacaan Lainnya

Aku hanya mengiyakan dan terkadang ikut mengungkapkan kalimat persetujuan. Emosiku sempat terbakarnya juga dengan provokasi tersebut. Wah, gila juga. Demikian yang kupikirkan. Namun ada juga kalimat yang membuatku masygul: “…Uangnya jangan hanya dimakan si bos aja. Tapi juga dibagi-bagi kepada bawahan. Kan lumayan untuk Lebaran!”

Esok paginya, aku pun nekat menghadap atasan dan menanyakan langsung perihal sumbangan itu. Ternyata penjelasan sang bos di luar bayanganku. Uang itu digunakan untuk menutupi hutang kantor kepada toko teralis. Beberapa bulan lalu kantor kami memang mengadakan renovasi total, termasuk membangun pagar dengan teralis besi. Banyak uang yang harus dikeluarkan. Hutang kantor pun masih banyak yang belum dilunasi.

Hm… aku ternyata terlalu berburu sangka. Tapi, mungkin saja si bos itu terbohong. Sudut hatiku yang lain masih saja protes. Ah, sudahlah, aku berbaik sangka saja. Apalagi sekarang bulan Ramadhan.

Aku justeru tertarik dengan sikap provokatif sang teman yang meneleponku kemarin sore. Ia memang dikenal sebagai seorang yang aktif, vokal, dan berani. Sebelum diangkat sebagai PNS, ia adalah seorang tokoh demonstran yang sering berhadapan dengan para pejabat, baik di daerah maupun di pusat. Saat memprotes suatu kebijakan yang dianggap menyeleweng, dan melakukan audiensi dengan para pejabat yang terkait, sering ia menjadi juru bicara yang berbicara blak-blakan.

Kini sang mantan aktivis mahasiswa dan tokoh demonstran itu sudah menjadi PNS dan berada di lingkungan birokrasi yang dulu sering ia kritik habis-habisan. Ia berada dalam lingkaran “basah” yang membuatnya dirinya lupa tentang arti rezeki yang berkah dan bersih. Jabatan memang bisa membuat orang terlena sehingga berani menghalalkan segala cara.

Dari kasus teman itu, saya pun tercenung. Ternyata orang yang memprotes sebuah penyelewengan dan berbicara lantang di depan publik, belum tentu ia betul-betul ikhlas untuk berjuang menegakkan kebenaran dan menentang kejahatan. Boleh jadi ia memprotes, karena ia iri tidak ikut menikmati keuntungan dari penyelewengan tersebut. Mereka memprotes korupsi, bukan karena korupsi itu tindakan zalim yang harus diberantas, tapi karena ia tidak ikut menikmati hasil korupsi itu.

Dalam dunia hukum, ada istilah whistleblower (peniup peluit) untuk orang yang berani membongkar kasus kejahatan yang terjadi di lingkungannya, meskipun dengan resiko keselamatan diri dan jabatannya. Tetapi tak selalu sang peniup peluit itu betul-betul membongkar karena keyakinannya untuk menegakkan kebenaran dan melawan kejahatan. Tapi sangat mungkin, ia membongkar kejahatan itu karena ia tidak dilibatkan untuk menikmati hasil kejahatan yang terjadi di lingkungannya.

Dengan kata lain, orang yang terlihat baik-baik paling tidak ada tiga kemungkinan. Pertama, ia bersikap baik-baik karena memang ia meyakini bahwa hidupnya harus dijalani dengan baik-baik sesuai aturan dan norma hukum. Kedua, orang yang terpaksa bersikap baik-baik karena takut untuk berbuat jahat dan khawatir dengan ancaman hukuman. Ketiga, orang yang terpaksa bersikap baik-baik karena tidak ada kesempatan untuk berbuat buruk. Saat ada kesempatan dan kewenangan untuk berbuat jahat, ia justru bisa lebih jahat daripada dugaan orang selama ini. Dalam bahasa Bang Napi, kejahatan tidak hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena adanya kesempatan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

15 Komentar

  1. Jadi hakekatnya kita adalah calon koruptor yg belum mempunyai kesempatan. Begitu pak rasyid ?

    Sebagian orang memang seperti itu. Kita memohon perlindungan kepada-Nya dari godaan korupsi yang terkutuk. Ada kesempatan maupun tidak, mudahan kita semua tidak tergoda untuk melakukan hal itu.

  2. wah kalau bgtu betapa beruntungnya orang nomor 3. Sekalipun niat nya ada untuk melakukan ituh, tapi dia disayang oleh NYA …

    Memang, rasa takut dan malu untuk berbuat jahat adalah bentuk kasih sayang dari-Nya. Tapi yang lebih indah, jika kita ditanamkan kesadaran, bukan rasa takut untuk berbuat jahat.

  3. orang yang suka menyelewengkan sesuatu pasti mafhum dan hijau matanya ketika mengetahui sesuatu yang bisa diselewengkan… kekekeke

    Betul, Mas Antok. Mereka seperti juga biasanya cerdik melihat celah dan peluang untuk penyelewengan dan bagaimana cara untuk menyelamatkan diri. Mudahan kita tidak seperti itu.

  4. Itu adalah provokasi positif karena untuk menegakan kebenaran dan melawan kebatilan

    Provokasi itu positif jika tujuannya memang untuk menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan. Tapi, provokasi itu jadi negatif jika dilakukan karena merasa tidak dilibatkan dalam menikmati keuntungan dari penyelewengan tersebut.

  5. sepertinya tipe ketiga sangat banyak kita temukan di kalangan aktivis. lihat saja para pejabat sekarang yang dulunya ternyata aktivis dan vokal, sekarang malah terlihat sangat menikmati kekuasaannya tersebut dan menjadi semakin semena-mena…

    semoga kita terhindar dari situasi tersebut ya mas rashid… 😀

    Tipe ketiga itu tampaknya memang yang paling banyak, Uda. Bahkan boleh jadi mereka adalah teman-teman di sekeliling kita.

    Amin, semoga kita betul-betul terhindar dari hal demikian.

  6. waaaakaaakakakakak inilah lucunya jaman ini.. segala sesuatu terbuka menjadi ramai saat ada yang tidak puas tidak kebagian

    Memang, Kang Boed. Kasus korupsi sering terbongkar karena adanya pembagian hasil “jarahan” yang tidak addil.

  7. “Kita ini bukan orang yang paling benar tapi orang yang baru belajar untuk menjadi benar”

    Betul sekali, Mas Achmed. Sebagaimana nama blog ini, Belajar Memaknai Hidup, saya pun hanya berusaha untuk terus belajar untuk menjadi baik dan benar. Belajar memaknai segala peristiwa yang terjadi di sekeliling saya. Sama sekali tidak berpretensi untuk merasa paling benar. Kebenaran hakiki hanya pada-Nya.

    Wis daftar wisuda durung, Cung?

  8. apa kabar, sahabat?
    mudah-mudahan penjelasan si bos jujur adanya. sangat disayangkan bila pengeluaran tidak disosialisasikan dengan transparan sehingga mengundang prasangka.

    agaknya klasifikasi orang baik itu pas juga dengan kondisi sekarang, mas. banyak di antara para whistle blower yang tumpat pipa peluitnya saat sudah ketiban hasil curang yang sejatinya diprotesnya. ibarat kata ibu saya, hukum itu ibarat memegang bara api, saat giliran memegang, bara api dilepaskan, tak tahan dengan panasnya.

    Kabar saya baik, sahabat.

    Saya juga berharap, penjelasan sang bos benar adanya. Saya tahu sendiri, kantor memang banyak hutang. Memang salah satu penyakitnya, ia tidak transparan, sehingga menimbulkan prasangka.

    Kadang-kadang, kita tidak menyadari, teman sekantor, akrab, terlihat baik, justru seperti macan yang sedang menanti mangsa. Saat mangsa itu lewat di hadapan, dengan beringas ia menyantapnya.

  9. Memang di mana pun kita selalu ada sisi negatif dan positif, yin dan yang, angel dan evil. Termasuk di dalam diri kita sendiri. Sekarang tergantung kita sendiri yang mengaturnya mau keluar yang jelek 👿 ato yang baik :angel: .

    Mas Sugeng, hidup memang perjuangan tanpa henti dalam memilih antara kebaikan dan keburukan.

  10. Keren Mas.
    Makanya seringkali kita harus berpikir dulu sebelum bertindak. Jangan cuma jarkoni, sudah gembor sana sini tentang suatu hal yang dirinya sendiri ga bisa melakukan apa yang dia katakan. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.

    Hm… ada istilah baru nih. Jarkoni. Apaan tuh?

    Ya, semoga kita termasuk di dalamnya.

  11. Fenomena yang ‘ketiga’ banyak kita lihat dan mungkin terbanyak dibanding dua kriteria lainnya. Dan seringnya orang yang masuk dalam kriteria satu dan kedua justru enggan untuk masuk dan menceburkan diri dalam lingkungan basah seperti itu. Mereka cenderung untuk menghindar di awal agar tidak tergoda nantinya. Sehingga bisa kita lihat bagaimana jadinya sektor pemerintahan dan para pejabat yang mungkin sedikit dihuni oleh orang-orang dalam kategori satu dan dua.