Menghadap kiblat adalah syarat sah shalat. Tak ada ulama yang berselisih pendapat dalam hal ini. Namun dalam realitasnya, menghadap kiblat bukanlah sesuatu yang sederhana. Apalagi bagi umat Islam yang jauh dari Ka’bah sehingga tidak bisa melihatnya secara langsung dengan mata telanjang. Persoalan bertambah pelik ketika orang yang kurang mengerti ilmu falak ikut berpendapat.
Hal itulah yang terjadi saat wcana perubahan arah kiblat marak berkembang di tengah umat Islam Indonesia beberapa tahun silam. Hal itu menyusul beberapa bencana gempa menggoncang berbagai daerah di Indonesia. Akibat wacana tersebut, MUI Pusat sempat mengeluarkan fatwa Nomor 3 Tahun 2010 yang menyebutkan arah kiblat untuk Indonesia adalah ke arah barat. Tak ayal fatwa itu dikritik oleh para ahli astronomi dan ahli falak. Karena memang arah barat untuk Indonesia bukanlah arah kiblat yang sebenarnya.
Adanya kritik itu akhirnya membuat MUI Pusat menganulir fatwanya dan mengeluarkan fatwa Nomor 5 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat untuk Indonesia adalah barat laut dan disesuaikan dengan letak tempat masing-masing. Meski demikian, tak urung masyarakat sempat dihebohkan dengan adanya isu perubahan arah kiblat tersebut.
Menurut Thomas Djamaludin, peneliti di Lapan, yang juga anggota Badan Hisab Rukyat Nasional, pergeseran lempeng bumi karena bencana gempa itu tidaklah sampai merubah arah kiblat. Dengan demikian, adanya mesjid-mesjid yang tidak tepat arahnya ke kiblat bukanlah karena bangunannya yang berubah atau bergeser karena gempa. Tapi hal itu terjadi karena memang sejak awal bangunan mesjid tidak tepat arahnya ke kiblat.
Sebagaimana pengalaman penulis dalam sosialisasi arah kiblat, masyarakat menanggapi persoalan arah kiblat dengan beragam. Pro dan kontra pun tak terhindari. Sebagian masyarakat berpandangan bahwa perubahan arah kiblat adalah strategi orang kafir Yahudi untuk memecah belah umat Islam. Adanya teknologi Google Earth yang bisa membuat simulasi arah kiblat dituding sebagai salah satu biang kerok perpecahan umat.
Tudingan tersebut sangat berlebihan. Hal itu karena persoalan kiblat sebenarnya adalah persoalan lama. Tanpa adanya Google Earth sekalipun, umat Islam memang diwajibkan untuk menghadap kiblat saat melakukan shalat. Saat diketahui arah sebuah mesjid tidak tepat ke arah kiblat, maka sudah selayaknya hal itu diluruskan. Upaya untuk meluruskan arah kiblat bahkan sudah dilakukan oleh para ulama Indonesia sejak dulu, seperti Imam Bonjol di Padang, Syekh Arsyad al-Banjari di Kalimantan Selatan, dan Syekh Ahmad Dahlan di Yogyakarta.
Tudingan lain yang juga cukup menyakitkan adalah bahwa upaya meluruskan arah kiblat adalah hasil dari teknologi orang kafir. Karena berasal dari orang kafir, orang Islam tidak perlu mengikuti dan mempercayai, apalagi untuk urusan ibadah seperti halnya arah kiblat ini. Padahal menentukan arah kiblat adalah bagian dari ilmu falak yang notabene sebagai salah khazanah ilmu pengetahuan Islam.
Al-Khawarizmi adalah salah satu tokoh ilmu falak yang menciptakan tabel logaritma yang kemudian kelak dipergunakan dalam ilmu trigonometri modern. Dengan trigonometri (segitiga bola) itulah, cara penghitungan arah kiblat dilakukan, termasuk yang digunakan dalam teknologi Google Earth.
Adapula tanggapan masyarakat yang menyatakan bahwa menghadap kiblat adalah persoalan hati dan keyakinan. Yang penting adalah bahwa seseorang itu yakin menghadap ke arah kiblat. Lagi pula Allah juga pasti Maha Tahu bahwa kita memang bermaksud untuk menghadap kiblat.
Pandangan ini adalah sesuatu yang salah kaprah. Menghadap kiblat adalah ketentuan syariat sebagai salah satu syarat sah shalat. Karena itu menghadap kiblat tidak cukup hanya dengan keyakinan di dalam hati. Lebih dari itu, hal ini menyangkut adalah persoalan kepatuhan seorang untuk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menghadap kiblat.
Dalam konteks itu, jika seseorang tidak mengerti cara dan ilmu untuk menentukan arah kiblat, adalah seyogianya ia mempercayai orang yang mengerti tentang hal tersebut. Di sisi lain, persoalan kiblat adalah persoalan syariat yang tidak boleh ditabrakkan dengan persoalan hakikat.
Syariat dan hakikat adalah sesuatu yang beriringan dan saling melengkapi. Menganggap masalah kiblat adalah masalah hati dan keyakinan, hal itu berarti menafikan syariat yang memerintah orang Islam untuk menentukan arah kiblat sesuai dengan ilmu pengetahuan yang berkembang.
Salah satu tantangan yang keras di lapangan adalah bahwa upaya untuk meluruskan kiblat merupakan sebuah upaya yang tidak menghargai jerih payah para alim ulama terdahulu yang sudah menentukan arah kiblat di mesjid-mesjid mereka. Termasuk dalam hal ini, mesjid-mesjid kuno yang dibangun oleh para wali. Padahal para ulama itu tentu menentukan arah kiblat tidak secara sembarangan. Mereka tentu memiliki ilmu tentang menentukan arah kiblat.
Pandangan demikian merupakan bentuk taklid buta yang tidak sehat bagi umat Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para ulama zaman dulu, orang-orang zaman sekarang sudah selayaknya untuk mengembangkan sikap terbuka terhadap kemajuan zaman dan teknologi.
Jika suatu pandangan oleh para ulama zaman dulu memang terbukti tidak tepat, mengapa kita harus terus bersikukuh dengan pandangan mereka? Di samping itu, mungkin saja teknologi dan alat yang dipergunakan pada saat itu memang tidak secanggih sekarang. Walhasil, arah kiblat yang dibuat pada mesjid-mesjid mereka menjadi kurang akurat.
Isu perubahan arah kiblat dituding sebagai bola panas yang hanya menimbulkan keresahan di tengah umat. Hal ini harus dihentikan karena menimbulkan kontraproduktif bagi umat. Umat Islam menjadi ragu-ragu dalam melaksanakan shalat mereka. Mereka menjadi was-was arah kiblat mereka tidak tepat, dan shalat mereka menjadi tidak sah. Padahal sudah sejak lama mereka melaksanakan shalat dengan arah kiblat yang dianggap melenceng.
Menanggapi hal tersebut, umat memang harus diberi pemahaman yang bijaksana. Orang-orang yang selama ini tidak mengetahui bahwa arah kiblat mereka tidak tepat, tentu tidaklah membuat shalat mereka selama ini menjadi tidak sah. Dalam hukum Islam, tidak ada sanksi bagi orang yang tidak tahu, termasuk sanksi bahwa shalat mereka menjadi tidak sah.
Jika setelah diberitahu tentang arah kiblat mereka yang tidak tepat, namun mereka tetap ngotot dengan arah kiblat yang tidak tepat itu, maka hal itu berarti mereka memang berani mengambil resiko ibadah mereka menjadi tidak sah. Padahal sebagaimana pandangan al-Mawardi dalam al-Hawi fi Fiqh asy-Syafi’i, adalah kewajiban bagi orang tidak mengerti untuk mengikuti orang yang mengerti dalam masalah kiblat ini.