Malam itu, seusai maghrib, aku pergi ke rumah seorang petugas Pembantu Penghulu dari salah satu desa di kecamatan tempat aku bertugas sebagai Penghulu. Saat itu, ada pasangan penganten yang hendak kunikahkan. Sebelumnya, di kantor, tak ada yang aneh dengan berkas persyaratan administrasi dari sang penganten.
Sesampai di sana, aku pun masuk ke rumah sang lebe–istilah untuk petugas pembantu penghulu dari desa yang biasa digunakan di Indramayu. Ternyata sang penganten belum juga datang. Yang ada hanya 2 orang lelaki dan 1 orang perempuan dewasa. Saat kutanyakan kepada si lebe, katanya mereka adalah anggota keluarga penganten perempuan.
Sekitar 10 menit kemudian, datanglah sang penganten. Betapa terkejutnya aku. Ternyata sang penganten adalah sepasang ABG yang masih sangat muda belia! Namun aku masih menyimpan tanda tanya di dalam hati.
Sesaat kemudian, datang seorang lelaki keturunan Tionghoa yang berusia kutaksir sekitar 50 tahun. Belum sempat masuk dan duduk di dalam rumah, tiba-tiba ia berseru keras sembari menuding ke arah seorang laki-laki yang duduk di dalam rumah, “Keluar kamu! Saya nggak mau ngelihat muka kamu! Keluar!”
“Ya, sudah-sudah,” jawab Lebe menengahi. “Kamu keluar aja. Biar nggak ribut. Ayo silahkan keluar,” kata Lebe ke arah si lelaki yang duduk di samping Lebe.
Sesaat kemudian, lelaki yang dituding-tuding dan disuruh keluar itu pun keluar rumah. Kedua temannya, seorang lelaki dan seorang perempuan, juga ikut keluar.
Setelah lelaki itu keluar dan pergi, si Tionghoa itu pun masuk ke rumah lebe sembari menggerutu, “Wong saya yang jadi Bapaknya, kok lelaki keparat ada di sini! Saya yang jadi walinya! Bukan dia!”
“Sabar, Pak. Silahkan duduk,” ujar si lebe kepada sang tamu yang masih menampakkan raut marah itu.
“Ada apa, sih? Kok, dia marah-marah,” tanyaku dengan berbisik kepada si Lebe yang duduk di sampingku.
“Nanti aja ceritanya,” bisik si lebe di dekat kupingku.
Usai berbasa-basi sebentar, aku pun mulai melaksanakan tugas pemeriksaan persyaratan pernikahan. Ternyata si Tionghoa itu adalah wali dari penganten perempuan.
“Bapak beragama Islam?” tanyaku meyakinkan diri.
“Ya, saya muslim.”
“Maaf, ya, Pak. Saya memang harus bertanya. Wali nikah dalam Islam harus beragama Islam. Kalau tidak beragama Islam, nanti harus dinikahkan oleh wali hakim,” kataku menjelaskan agar lelaki Tionghoa yang barusan marah-marah itu tidak tersinggung.
Selanjutnya saya menatap kedua pasang penganten yang berada tepat di depanku. Sejurus kemudian, saya menatap si lebe seraya berkata, “Gimana sih, Wak? Kok, masih muda banget?” tanyaku dengan mengeryitkan dahi.
“Nggak pa-pa. Kan di model persyaratan desa, sudah memenuhi syarat. Tenang saja! Tanggung saya. Aman!” jawab si lebe meyakinkan diriku.
Aku tidak percaya begitu saja, meski di surat persyaratan dari desa, tertera si calon berumur 20 tahun dan si istri berumur 18 tahun.
“Neng, kamu umurnya berapa tahun?” tanyaku tegas kepada si calon penganten wanita yang berkulit putih bersih itu.
Gadis ABG itu pun celingukan mendengar pertanyaanku. Ia menatap ke arah sang lebe.
“Jawab yang jujur! Nggak usah takut sama Lebe!” sergahku kemudian.
“15 tahun,” jawab si gadis pelan sembari cengengesan.
“Waduh!” jawabku seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Lha, kamu umurnya berapa?” tanyaku kepada si penganten lelaki.
“18 tahun,” jawab si cowok yang mengenakan celana blue jeans belel. Mungkin buatan Cibaduyut.
“Lha! Ini. Kamu berdua masih di bawah umur. Belum boleh menikah!” jelasku dengan menarik nafas dalam-dalam. “Jadi Bapak-bapak,” kataku ke arah kedua orang tua penganten, “anak-anak Bapak ini masih belum cukup umur. Sesuai UU Perkawinan No 1 Tahun 74, umur minimal perempuan agar boleh menikah adalah 16 tahun. Sedangkan untuk laki-laki, 19 tahun. Jadi, nanti saja menikahnya.”
“Wah, dinikahkan saja Pak,” kata si orang tua memelas.
“Gimana mau menikah, kalau keduanya masih belum cukup umur?! Bisa-bisa saya nanti disalahkan sebagai petugas,” kataku bertahan.
“Keduanya sudah saling mencintai, Pak. Sudah berduaan aja tuh,” desak si orang tua dari penganten laki-laki.
“Meskipun demikian, solusinya kan nggak harus menikah dulu. Pernikahan bisa ditunda dulu. Biar si anak sekolah dulu,” jawabku tegas.
“Mereka sudah nggak sekolah lagi, Pak.”
“Masya Allah! Yang bener?!|”
“Iya, Pak. Ini anak saya, putus sekolah SMP kelas 2,” terang orang tua dari penganten perempuan.
“Kamu sekolahnya sampai mana?” tanyaku pada si penganten laki-laki.
“SMP sampai kelas satu,” jawab si laki-laki dengan tertunduk malu.
“Ya, ampun! Kenapa nggak diselesaikan sekolahnya?”
“Nggak ada biaya, Pak!” jawab orang tua.
“Jangan cari alasan biaya. Wong sekarang, sekolah SD-SMP sudah digratiskan sama Pemda. Nggak ada lagi alasan biaya,” jelasku dengan sengit.
“Nggak tahu, Pak. Anaknya nggak masuk-masuk sekolah. Padahal sudah saya suruh-suruh lho, Pak,” terang orang tua penganten perempuan.
“Jadi, sekarang nggak boleh menikah, ya. Masih terlalu muda. Belum cukup umur,” jelasku lagi kepada calon penganten. “Emang kalian sudah saling mencintai?”
“Iya, Pak,” kata si penganten perempuan dan lelaki.
“Kamu sudah bekerja belum?” tanyaku kepada si calon penganten laki-laki.
“Belum.”
“Nah, tuh kan. Kerja aja belum, gimana mau memberi nafkah istri!”
Si penganten lelaki terdiam. Tertunduk malu.
“Kamu siap bekerja?” tanyaku lagi kepada si lelaki.
“Siap, Pak”
“Kerja apa?”
“Kerja apa aja.”
“Ya, sudahlah. Saya pulang aja. Ini belum bisa dinikahkan. Tidak memenuhi syarat.” seruku sembari memasukkan berkas ke dalam tas. Di tengah perjalanan, aku berpikir keras bagaimana menyadarkan masyarakat betapa pentingnya usia dewasa dalam menikah.
Sangat Bagus,sangat menyentuh
Maaf ralat mas Rosyd, menurut saya kata “kunikahkan” dalam paragraf ke satu kurang tepat, karena sejatinya tugas sampeyan yang pokok pada cerita di atas adalah bukan yang menikahkan, tetapi mengawasi dan mencatat pernikahan ansich, kecuali kalo sampeyan diberi kuasa untuk menikahkan oleh wali yang tionghoa tersebut, baru tepat menggunakan kata “kunikahkan”. Tolong juga pasal 7 (kalo tidak salah) yang menyatakan minimal usia pernikahan dalam UU No 1 tahun 1974 ditelaah lebih jauh lagi, karena dalam ayat (2) pasal tersebut, dispensai nikah di bawah umur bisa dimintakan kepada Pengadilan agama atau kepada pejabat yang ditunjuk oleh para orang tua catin yang di bawah umur tersebut, so siapa petugas yang ditunjuk tersebut masih merupakan tanda-tanya besar bagi saya, bukan berarti saya mendukung syekh Puji lho…hehehe…Salam
kebetulan tiga minggu yang lalu saya menyempatkan silaturahim ke kediamannya orang yang mengaku bernama syekh Puji, ada kesan ekslusifis dan arogan yang saya rasakan dari sosok yang gemar mengkoleksi mobil mewah tersebut, walaupun sebenarnya saya hanya sempat berbincang dengan satpam perempuannya saja. Selain terkesan eksklusif dan arogan, ada fenomena yang menggelikan dari syech Puji ini, ternyata dia punya jurus yang jitu dalam mencari koleksi calon isterinya, sungguh menggelikan bagi saya karena ternyata dia mempunyai dua koloni pesantren. Satu koloni pesantren khusus untuk puteri dan satu koloni lagi pesantern khusus untuk putera. Untuk koloni Pesantren puteri dia tempatkan tidak jauh dari garasi mobilnya yang terbuat dari kaca, yaitu di sebelah kanan dari rumahnya yang berjarak sekitar 50 meter saja, sementara untuk pesantren putera dia tempatkan sekitar 500 meter dibelakang rumahnya. Dalam benak saya muncul naluri kelelakian saya, oh saya tahu maksud syekh Puji melakukan semua ini dan saya pun tersenyum dengan sejuta makna. Setelah saya berkunjung ke kediaman syech Puji saya menyempatkan berdiskusi dengan PUDEK I Fak. Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus mendiskusikan fenomena syekh Puji dari prespektif hukum Islam, dan akhirnya saya berkesimpulan bahwa sesungguhnya yang dilakukan syekh Puji tidak lebih dari “k——lisme yang dikemas dengan agama”,hehehe…., salam.
Tapi disisi lain sesungguhnya syekh puji berhati mulia dan dermawan, karena kurang lebih 300-an santriwan dan santriwatinya hanya dipungut biaya Rp. 3000,- perbulan untuk dana kebersihan, sementara dia telah bersusah payah mendatangkan para ustadz dan hafidz dari berbagai penjuru kota di Jawa Tengah untuk mendidik para santrinya, tentunya dengan biaya yang tidak sedikit. salam.
Makasih sudah berkunjung dan beri komentar. Oh, ya, kata “kunikahkan” lebih merupakan makna praktis yang biasa dipahami masyarakat umumnya. Sebenarnya, saya–dan juga antum–hanyalah petugas pencatat nikah, bukan untuk menikahkan. Saya juga menyadarinya.
Tentang usia di bawah umur, memang tetap dibolehkan menikah jika ada izin pengadilan. Tapi selama ini, saya tidak pernah menemukan kasus pernikahan di bawah umur yang minta izin pengadilan. Yang sering terjadi adalah praktek patgulipat menambah usia dalam berkas persyaratan dari desa.
Pada cerita di atas, sebenarnya ada dialog saat saya menjelaskan kepada penganten dan orang tua mereka perihal izin pengadilan. Sayang dialog itu lupa saya masukkan dalam cerita tersebut.
Tentang Syekh Puji, saya sependapat dengan antum. Arogan dan ekslusif. Tampak sekali dari sikapnya saat diliput media. Wah, ada kata yang terlalu vulgar nih.
habis saya mau bilang apa yah mas…? soalnya susah mencari padanan kata untuk istilah yang “vulgar” tadi, tolong dunk carikan istilah yang lain….tk
Percayakah Anda, bahwa saya pernah menyaksikan darah perawan seorang gadis Mesir di malam pengantinnya? Percayakah Anda, bahwa darah itu masih segar, dan saya saksikan hanya beberapa menit setelah ia menetes dari ‘sumbernya’? Satu lagi, percayakah Anda, bahwa ternyata darah keperawanan seorang gadis Mesir itu dicipratkan ke sehelai kain putih, lalu dipamerkan keliling khayalak ramai di malam pesta perkawinan dengan penuh kebanggaan?
Barangkali, pembaca takkan percaya jika belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Saya juga baru yakin dengan haqul yakin, bukan lagi ‘ilmal yaqin, setelah sebuah pesta perkawinan yang berlangsung di lapangan halaman depan apartemenku berakhir, kemaren lalu.
Pola hidup sederhana, rupanya diterapkan oleh orang Mesir dalam hampir semua sisi kehidupan. Termasuk dalam pesta perkawinan. Sering saya menyaksikan malam pesta mereka, hanya digelar di sebuah halaman sempit, dihiasi lampu warna-warni, puluhan kursi yang berhadapan, dan tanpa hidangan makanan. Pengantin duduk di kursi dalam posisi agak tinggi, sementara, sehelai tirai beraneka warna menjadi hiasan latar di bagian belakangnya. Tentu saja, persiapannya pun amat singkat, hanya beberapa menit sebelum acara dimulai, serta tidak melibatkan orang banyak.
Ada satu hal yang selalu menjadi ciri khas. Yakni iringan musik Arab dengan sound system besar, suaranya amat memekakkan telinga. Biar pesta tanpa makan parasmanan, atau sekedar minuman ringan, dalam hal musik dan sound system, mereka tak kalah dari acara pesta Agustusan di tanah air. Lagu-lagu popular Arab berirama remix alias disco yan menggema ke seluruh penjuru kampung, akan menjadi isyarat adanya pesta kawinan.
Selama musim panas tahun ini, setidaknya seminggu sekali, saya menyaksikan pesta semacam itu, di lapangan depan apartemenku. Begitu juga pada malam kemaren itu. Bersama kawan serumah, saya nongkrong di jendela kamar yang sengaja dibuka lebar. Usai shalat Isya, beberapa orang panitia nampak membereskan kursi, memasang lampu, serta sound system. Tak sampai setengah jam kemudian, irama lagu Arab terdengar menggelegar. Orang-orang mulai berkumpul, pengantin pun segera tiba. Tidak ada acara resmi, meski sekedar sambutan pihak keluarga atau lantunan ayat Al Quran. Tetapi, acara dimulai dengan irama shalawat dan bacaan Asmaul Husna, itupun dari tape recorder.
Saat lagu Asmaul Husna berkumandang, suasana berubah tenang, dan semua orang terdiam. Khusyu. Kemudian, acara dilanjutkan dengan akad nikah. Kedua mempelai, wali, saksi dan penghulu, nampak duduk berhadapan. Di belakangnya, puluhan orang berjejal berdiri.
Akad nikah juga tidak lama, tanpa acara lain semisal bacaan ta’lik talak, ceramah khutbah nikah dari penghulu, atau makan bersama, lalu pengantin rebutan bakakak (ayam bakar), sebagaimana dalam tradisi Sunda. Usai akad, musik kembali menyalak, semua orang, tua muda, pria-wanita, tiba-tiba melantai, berjoged ria. Suara zagrudah (lengkingan khas wanita Arab, dengan permainan lidah, diakhiri dengan jeritan kecil, biasa dibunyikan sebagai tanda suka-ria), bersahutan dari sana-sini.
Nah, acara inilah yang selalu jadi pusat perhatian saya, juga kawan-kawan lain. Goyangan pinggul nan erotis para gadis Mesir yang bahenol itu, seolah menjadi acara inti yang selalu dinanti. Saya sering kagum pada mereka, orang-orang Mesir itu. Hampir semua yang hadir, berdiri, bergoyang. Atau setidaknya ikut bertepuk tangan, sembari meliuk-liukkan badan dan kaki. Tarian erotik seorang wanita depan keramaian pesta, bukanlah sesuatu yang dianggap aib, atau sesuatu yang memalukan. Sebaliknya, ia adalah symbol budaya yang dilembagakan, dan tentu saja amat dibanggakan.
Dalam pesta itu, sekelompok anak muda berdiri berpegangan, membentuk lingkaran besar, sementara di tengah-tengah, sang gadis penari, asyik bergoyang. Pengantin juga biasanya digusur untuk ikut menari bersama dalam lingkaran itu. Nah, dalam pesta-pesta seperti inilah, tari perut khas Mesir, yang dimainkan oleh seorang wanita cantik berpakaian minim bin ketat, dengan bagian perut terbuka, biasanya digelar.
Menjelang tengah malam, pengantin mulai masuk rumah. Acara musik suka ria, terus berlanjut. Saya dan kawan-kawan tak beranjak dari jendela kamar. Kebetulan, apartemen yang kami sewa, berada di lantai dasar, sehingga dalam jarak kurang 5 meter, kami bisa menyaksikan tarian-tarian itu. Hiburan gratis seperti ini khan lumayan juga, bisa menjadi penawar duka kala hati merana. Jendela-jendela apartemen tetangga malam itu, juga dipadati penghuninya, untuk sekedar nonton tari perut, atau tarian biasa para gadis manis.
Pembaca, di tengah hingar bingar irama musik, dalam keasyikan mereka berjoged ria, tiba-tiba sekelompok wanita menyeruak masuk ke dalam keramaian. Saya juga tersentak kaget. Mereka mengibar-ngibarkan dua helai kain putih seukuran handuk kecil kira-kira, ditengahnya terdapat bercak-bercak merah. Sekilas mirip bendera Jepang. Mereka berjalan mengitari kerumunan pesta. Sebagian nampak bersorak kegirangan. Lagi-lagi, irama zagrudah pun terdengar.
“Warna merah di kain itu, adalah darah perawannya”, kata seorang kawan serumah. Saya kaget. Dalam tradisi Mesir, tetesan darah perawan di malam pertama, adalah sesuatu yang dinanti dan harus ada. Uniknya, yang pertama kali menyaksikan tetesan darah itu keluar dari sumbernya, bukanlah sang suami, tetapi, salah seorang wanita dari keluarga gadis pengantin. Jadi, usai akad nikah, pengantin wanita masuk kamar, bersama seorang famili wanitanya, yang membawa beberapa helai kain putih. Entah bagaimana caranya, hehehehe.. pokoknya, darah perawan itu harus menetes ke kain itu. Lalu, dari dalam kamar, sang famili wanita, melemparkan kain itu ke luar lewat jendela kamar yang terbuka. Nah, di luar sana, sekelompok wanita lain telah menanti, untuk segera menyambut kain berhiaskan darah. Lalu, kain itu dibawa dan dipamerkan ke khayalak ramai di lapangan pesta tadi.
Masih dalam tradisi mereka, dengan darah itu, semua harus tahu bahwa pengantin itu memang benar-benar masih perawan ting-ting. Kain itu disambut dengan suka cita. Gema sorak sorai dan nyanyian, dari mulut orang-orang yang sedang bergoyang, seolah menunjukkan kebanggaan tertentu. Saat saya menyaksikan ungkapan bahagia mereka di pesta pada malam itu, sejenak saya termenung. Bukan hanya karena kagum pada orang Mesir yang begitu ketat dan vulgar dalam masalah kegadisan, atau karena shock memandangi kain yang mirip bendera Jepang itu. Yang ada di pikiranku kala itu adalah sebuah pertanyaan kecil, mana yang pertama kali dilakukan mempelai pria Mesir itu saat masuk kamar pengantin. Membersihkan tetesan darah yang keluar tadi lebih dahulu, atau malah memproduksi darah baru dengan caranya sendiri. Wallahu A’lam
Pinggiran Nil, Senin dinihari 22 September 2003
Kalau persoalan tari erotis, Indonesia jauh lebih variatif. Di Banyumas ada ronggeng, di Karawang ada jaipong, di Jawa Timur ada ludruk, di Indramayu ada dombret. Tapi, terus terang saya tidak bangga dengan tradisi seperti itu.
Mas. kalo zaman kolonial dulu emang yang namanya nikah itu ngak ada batas umur. makanya orang tua kita dulu ngak ditentuin usia pernikahannya. bahkan seperti di Indramayu sendiri, orang tua itu bangga kalo anaknya statusnya udah janda, karena akan menghasilkan uang, baik jadi TKW, atau jadi WTS. dan di kota Bandung sendiri, Indramayu sebagai pemasok terbesar di Saritem gitu lho… Bahkan ditambah lagi kendala, bahwa banyak para kyai yang tidak mau mengakui UU no. 1 th. 1974 terutama mengenai batas umur pernikahan, apalagi terhadap KHI. kalo ngak percaya tanya saja ke kyai-nya? makanya Mas sendiri harus betul-betul bisa menyadarkan masyarakat bekerjasama dengan pemerintah maupun orang yang berkecimpung didunia pendidikan, supaya sadar betul bagaimana bahayanya pernikahan dibawah umur, dan resiko yang akan timbul? itu tugasmu lhooo. Pa Ahmad Salabi berkomentar: Ari Mas Rosyid pingin duit teu? lamun aya nu kawin terima bae ulah ditolak, lumayan jang pulsa. he……
Memang tidak ada teks syara yang membatasi umur minimal menikah. Hal ini juga menunjukkan betapa Allah Maha Tahu dengan kondisi manusia sebagai ciptaan-Nya. Islam menyadari bahwa batas usia dewasa menyangkut banyak hal. Perkembangan peradaban sebuah masyarakat dan kondisi psikologis, berbeda satu sama lain. Saya bisa bayangkan, jika usia nikah sudah dibatasi sejak Nabi, misalnya 9 tahun, pasti sudah tidak relevan di zaman sekarang. Makanya negara Islam sendiri berbeda-beda batas minimal menikah dalam undang-undangnya.
Tentang wanita Indramayu, tidak semua wanita Indramayu bangga jadi janda. Bagi mereka yang terpelajar dan berpendidikan, kawin cerai tidaklah berlaku.
seingat saya, Rasul mengajarkan tahapan dalam mendidik anak, hingga pada fase umur 17 seorang anak harus mandiri dalam dampingan orang tua, penakluk spanyol misalnya, seorang panglima muslim yang berumur 17 th, sehingga disaat budaya kita membiasakan anak umur 17 tahun masih dalam dekapan orang tua, sibuk dengan kegembiraan umur 17 th yang semu tentu tidak bisa disingkronkan dengan pembolehan nikah secara fiqh diusia (dalam budaya kita) terlalu kecil.
Mas Arso Husein, makasih sudah mengunjungi blog saya. Mudahan kita terus bisa bersilaturahmi.
Sebagai seorang Penghulu/PPN seharusnya Bapak jangan membiarkan persoalannya menjadi ngambang, seharusnya Bapak mengeluarkan Surat penolakan nikah atau kalau mereka tetap ingin melangsungkan perkawinan karena dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan yang dilarang agama seperti zina misalnya, seharusnya Bapak menyarankan kepada mereka untuk meminta dispensasi nikah ke Pengadilan Agama, kalau Penmgadil;an Agama nanti mengeluarkan penetapan dispensasi nikah tidak ada alasan bagi Bapak untuk tidak menikahkan mereka. coba Bapak pelajari lebih lanjut undang undang perkawinan