Perempuan Ditinggal Pergi Suami

Perempuan Ditinggal Pergi Suami

Perempuan Ditinggal Pergi SuamiPerempuan yang ditinggal pergi suami (zaujatul mafqud) dan diduga bahwa suaminya itu mati, maka perempuan itu tidak boleh menikah dengan lelaki lain. Tetapi, perempuan itu baru boleh menikah jika terjadi dua hal berikut:

  1. jelas terbukti dengan dua orang saksi yang adil bahwa sang suami sudah mati atau sang suami sudah menjatuhkan talak kepadanya;
  2. telah selesai menjalani masa iddah.

Hal itu karena lelaki yang tidak jelas kematiannya, ia tidak bisa diputuskan secara hukum bahwa ia telah mati sehingga bisa dilakukan pembagian warisan harta bendanya dan pemerdekaan budak miliknya. Dalam kondisi itu pula, tidak bisa diputuskan bahwa telah terjadi perceraian antara lelaki tersebut dengan istrinya.

Bacaan Lainnya

Tulisan ini merupakan terjemahan dari ulasan Syekh al-Islam Zakaria al-Anshari yang berjudul “Fashal Zaujah al-Mafqud” dalam Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh ath-Thalib, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), ed. Muhammad Tamir, cet. 1, juz 3, hal. 400-401

Di samping itu, pernikahan adalah sesuatu yang jelas diketahui secara meyakinkan. Karena itulah, pernikahan tidak bisa digugurkan kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan. Jika seorang hakim memutuskan untuk menikahkan perempuan tersebut dengan lelaki lain sebelum jelas terbukti kematian suaminya, maka keputusan hakim tersebut batal.

Hal itu karena keputusan tersebut bertentangan analogi hukum yang jelas (qiyas jali). Tidak boleh terjadi dua hal yang saling bertentangan. Di satu sisi, seorang lelaki yang meninggalkan pergi istrinya dianggap masih hidup, sehingga hartanya tidak bisa dilakukan pembagian waris dan masih dikuasai oleh sang istri. Tetapi di sisi lain, lelaki tersebut dianggap mati sehingga sang istri dihukumi seperti perempuan yang sudah ditalak dan boleh menikah dengan lelaki lain.

Terlanjur Menikah Lagi

Jika perempuan tersebut terlanjur dinikahkan dengan lelaki lain, maka berlakulah hukum talak, zhihar, dan ila dari suami yang selama ini telah meninggalkannya. Di samping itu, gugur pula seluruh kewajiban suami kepada perempuan tersebut yang selama ini menjadi tanggungannya. Konsekuensi hukum tersebut berlaku bagi si perempuan, baik sebelum maupun sesudah hakim memutuskan perceraian dirinya.

Baca juga Antara Poligami, Poliandri, dan Keadilan Tuhan

Karena pernikahan si perempuan dengan lelaki lain tersebut, maka gugurlah kewajiban sang suami yang meninggalkannya untuk memberikan nafkah. Hal itu karena sang perempuan dianggap telah melakukan perbuatan nusyuz (pengkhianatan). Meskipun pernikahannya dengan lelaki lain merupakan pernikahan yang batal (fasid).

Demikian pula, tetap gugur kewajiban sang suami yang meninggalkan, meskipun hakim sudah memutuskan untuk menceraikan keduanya, dan si perempuan menjalani masa iddah, lantas ia kembali ke rumah suaminya. Gugurnya hukum tersebut tetap berlaku hingga sang suami yang selama ini telah meninggalkannya betul-betul mengetahui bahwa sang istri telah kembali menaati dirinya. Hal itu karena perbuatan nusyuz langsung seketika menyebabkan gugurnya kewajiban sang suami. Namun menurut al-Bulqini, gugurnya kewajiban sang suami tersebut berlaku sampai habis masa nifas.

Jika peristiwa seperti itu terjadi, ada masa jeda bagi semua pihak. Tak ada hak untuk menuntut nafkah bagi sang istri terhadap “suami”-nya yang kedua. Hal itu karena tak ada ikatan pernikahan yang sah di antara keduanya. Tak ada pula hak untuk menarik kembali harta yang sudah terlanjur diberikan oleh “suami” kedua tersebut kepada si perempuan. Hal itu karena “suami” kedua dianggap sebagai orang yang menyumbang saja.

Namun seandainya “suami” kedua sebelumnya telah ditetapkan oleh hakim untuk memberi nafkah. Kemudian pernikahan dibatalkan oleh hakim. Dalam hal ini, “suami” kedua itu berhak untuk menarik kembali hartanya yang sudah diberikan kepada perempuan tersebut.

Suami Pertama Mati

Misalkan, ada seorang perempuan menikah dengan lelaki lain sebelum terbukti jelas bahwa suaminya sudah mati atau sudah pernah menceraikannya. Kemudian ternyata suaminya yang selama ini meninggalkannya itu telah mati jauh sebelum pernikahannya dengan lelaki lain tersebut. Bahkan pernikahan itu sudah lewat masa idah kematian.

Dalam kasus di atas, pernikahan tersebut adalah sah. Hal itu karena kenyataannya, memang tidak ada penghalang untuk terjadinya pernikahan tersebut. Kasus seperti ini bisa dianalogikan dengan seorang anak yang menjual harta ayahnya. Anak tersebut menyangka bahwa ayahnya masih hidup. Namun ternyata, ayahnya sudah mati.

Punya Anak dari Suami Kedua

Seandainya seorang perempuan yang ditinggal pergi suami telah menunggu selama 4 (empat) tahun. Kemudian perempuan itu menikah dengan lelaki dan melahirkan seorang anak. Suatu saat, suami yang telah pergi selama empat tahun itu datang. Ia pun tidak mengakui anak yang dilahirkan itu adalah anaknya.

Dalam kasus seperti itu, jika memang memungkinkan, status anak tersebut dihubungkan dengan suami yang kedua. Hal itu dianggap memungkinkan, karena rahim si perempuan tentulah sudah bersih dari suami pertama. Sebagaimana yang sudah disebutkan, perempuan itu sudah lama menunggu dan tidak berhubungan dengan suaminya yang pertama.

Begitu pula seandainya perempuan itu tidak menikah, lalu ia melahirkan anak setelah melewati waktu empat tahun sejak ia ditinggalkan oleh suaminya. Dalam hal ini, status anak tidak bisa dihubungkan dengan suami yang telah pergi tersebut.

Pengakuan Anak

Seandainya suami yang telah lama pergi itu datang, lantas ia mengakui bahwa anak yang dilahirkan adalah anaknya. Pengakuan tersebut jelas ditolak dan tidak perlu diuji oleh orang yang ahli. Namun pengakuan itu perlu diuji oleh seorang ahli jika sang suami mengaku bahwa ada kemungkinan ia melakukan persetubuhan dengan sang istri di masa kepergiannya.

Berbeda kasusnya jika sang suami mengakui sang anak. Ia berkata, “Dia anakku yang dilahirkan oleh istriku dan berasal dari benihku.” Pengakuan itu jelas tidak masuk akal, karena tidak mungkin benih sang suami bisa bertahan lama di dalam rahim selama kepergian dirinya.

Jika sang suami menolak anak tersebut, walaupun setelah terjadi pengakuan, dan penelitian oleh ahli, maka suami tersebut berhak menolak perempuan itu untuk menyusui sang anak selain susu yang ia tidak hidup kecuali dengannya, meskipun ada perempuan yang menyusui selain istrinya itu. Jika tidak, ia tidak boleh mencegah perempuan itu untuk menyusui sang anak.

Hak Nafkah

Jika perempuan itu menyusui sang anak di rumah sang suami yang pergi karena dipaksa oleh sang suami, dan ia tidak pernah keluar dari rumah, dan tidak pernah terjadi aib selama ia berada di rumah tersebut, maka tidaklah putus hak nafkah sang perempuan dari sang suami.

Jika perempuan itu keluar dari rumah milik sang suami untuk menyusui anak lain atau melakukan suatu aib, maka gugurlah hak nafkahnya dari sang suami. Jika ia keluar dari rumah atas seizin dari suaminya, seperti ia bepergian untuk suatu kebutuhan tertentu, maka tetap gugur hak nafkahnya.

Andaikan perempuan itu pergi keluar rumah atas seizin suaminya. Dalam hal ini, jika perempuan itu keluar rumah untuk menyusui bayi orang lain, maka gugurlah hak nafkahnya. Namun hak nafkahnya tidak gugur jika ia keluar rumah untuk berkunjung ke rumah ayahnya atau untuk menengok orang tua untuk suatu kebutuhan. Faktor yang harus diperhatikan adalah seberapa sering perempuan itu keluar rumah untuk menengok orang tuanya dalam satu hari satu malam. Sebaliknya, jika perempuan itu sering keluar rumah untuk menengok orang tuanya dalam satu hari malam, bisa jadi gugur hak nafkahnya.

Dua Kali Iddah

Ada seorang perempuan yang ditinggal suaminya menikah lagi dengan lelaki lain. Lantas suaminya yang kedua itu menggaulinya. Ternyata suami kedua itu mengetahui bahwa suami yang pertama masih hidup saat pernikahannya dengan perempuan tersebut. Tak lama kemudian setelah terjadi pernikahan dengan suami kedua itu, ternyata suami yang pertama meninggal.

Dalam kasus di atas, si perempuan wajib menjalani iddah wafat dari suami pertama yang meninggal itu. Tetapi iddah itu baru bisa dijalani oleh si perempuan setelah suami yang kedua juga meninggal dunia atau setelah ia dipisahkan dengan suami yang kedua. Pada saat itulah, perempuan tersebut menjalani iddah karena meninggalnya suami yang pertama. Kemudian ia menjalani lagi iddah cerai selama tiga kali suci atau iddah wafat selama 4 bulan bulan 10 hari dari suami yang kedua.

Jika suami kedua itu lebih dahulu meninggal atau lebih dahulu dipisahkan antara keduanya, maka perempuan itu harus menjalani iddah quru’. Jika perempuan telah selesai menjalani iddah tersebut, kemudian suami yang pertama meninggal, maka ia harus melanjutkan iddah wafat dari suami pertama.

Baca juga Salah Kaprah Akad Nikah

Jika suami yang pertama meninggal sebelum selesai masa iddah quru’, maka iddah quru’-nya terputus. Lantas, perempuan itu harus menjalani iddah wafat. Setelah habis iddah wafat, baru kemudian ia kembali melanjutkan sisa iddah quru’ yang sebelumnya terputus.

Jika suami pertama dan suami kedua meninggal bersamaan, atau tidak diketahui siapa yang lebih dahulu mati, maka perempuan itu menjalani iddah empat bulan sepuluh hari, kemudian ditambah dengan iddah tiga kali suci.

Jika tidak diketahui kapan kedua suaminya meninggal, sehingga lewat sekian lama, maka dianggap telah selesai kedua masa iddahnya.

Jika perempuan itu dalam keadaan hamil dari suami yang kedua, maka ia menjalani iddah sampai melahirkan, kemudian ia kembali menjalani iddah wafat dari suami pertama yang meninggal. Dalam hal ini, masa nifas tetap dihitung sebagai masa iddah, karena masa nifas bukanlah dianggap sebagai iddah dari suami yang kedua.

Cabang Masalah

Andai ada seorang perempuan diberi kabar oleh satu orang yang adil, baik seorang lelaki budak maupun seorang perempuan. Kabar itu berbunyi bahwa suaminya sudah meninggal. Dalam hal ini, si perempuan boleh menikah secara sirri. Hal itu karena berita tersebut hanya sebuah kabar belaka tanpa ada saksi.

Ada juga yang berpendapat bahwa jika memang orang yang memberi kabar telah dikenal luas bisa dipercayai, dan kita telah mengetahui hal tersebut, barulah kita boleh untuk menggunakan berita tersebut sebagai dasar secara formal. Pendapat demikian disampaikan oleh al-Adzra’i dari sebagian ulama. Tapi kemudian beliau sendiri berpendapat bahwa dalam masalah ini masih terdapat keraguan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan