Pagi yang cerah saat aku mempersiapkan diri berangkat ke kantor. Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ah, nomornya tak kukenal. Segurat ragu sempat melintas di hatiku untuk mengangkatnya. Tapi akhirnya kuangkat juga dan kuucapkan salam. Suara di ujung telepon sana lantas menjawab salamku. Ah, aku seperti mengenal suaranya.
“Mas, ini aku. Ina!” seru suara itu.
“Wah, yang bener?! Ina Magelang?!”
“Iya..iya!”
“Lama sekali nggak ada beritanya…”
Dan kami pun terlibat perbincangan yang seru. Layaknya perjumpaan dua orang sahabat yang bertahun-tahun dipisahkan oleh jarak dan waktu. Ia pun menceritakan kalau baru saja menelepon ibuku di kampung halaman sana. Nun jauh di ujung selatan Kalimantan. Ia menanyakan nomor handphoneku.
Usai aku berbincang dengan Ina, handphone kembali berdering. Ibuku yang curiga langsung memberondongku dengan pertanyaan tentang identitas Ina. Tak biasanya seorang perempuan menelepon ibuku dan menanyakan diriku kecuali istriku.
Aku pun menjelaskan apa adanya. Ina adalah seorang teman, bukan kekasih gelapku. Hmm… Ia adalah anak pemilik rumah tempat aku tinggal saat melakukan KKN dulu. Perempuan cantik berkulit putih bersih. Parasnya mirip sekali dengan Rossa, sang penyanyi. (Istriku selalu tidak setuju kalau Ina dikatakan mirip Rossa. Ha…ha…).
Saat itu, setiap pagi Senin, ia berangkat ke Yogyakarta untuk kuliah D3 Kesehatan Lingkungan di sebuah akademi. Dengan jilbabnya yang terbalut rapi, ia pun melintas di depan kami, cowok-cowok mahasiswa KKN, yang berdecak kagum melihatnya. Seminggu ke depan, Ina tinggal di kosnya di Yogyakarta. Sabtu sore, sepulang dari kampus, ia pun kembali ke kampungnya di Magelang.
Liburan Minggu di kampung, penampilan Ina berubah bak artis sinetron yang tersesat di kampung. Ia kenakan kaos you can see ketat yang membalut tubuhnya yang padat berisi. Rambutnya yang panjang sebahu dan sedikit bergelombang, tergerai indah. Terkadang rambut itu dikepang satu dengan manis. Tak kusangka, di desa terpencil itu, ada juga cewek trendi berpenampilan masa kini layaknya cewek-cewek ABG di kota besar.
Semua mata teman lelaki di kelompok KKN-ku pasti melotot jika melihat penampilan Ina. Ada semacam kompetisi di antara kami untuk memperebutkan si kembang desa itu. Namun yang mengutarakan ketertarikan secara terbuka hanya dua orang, aku dan Zam. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ina tak menjatuhkan pilihan kepada siapa pun di antara teman KKN-ku, termasuk aku. Huh…!
Kini perempuan yang pernah menyemai benih luka di taman hatiku itu, kembali hadir. Membuat istriku tersenyum masam bila tahu aku menjawab SMS-nya. Ina menumpah segala resahnya tentang sang suami yang sering menyakitinya, fisik dan psikis.
“Salahmu sendiri nggak mau sama aku,” candaku suatu ketika lewat telepon.
“Ah, sudahlah, Mas. Itu sudah masa lalu,” jawabnya dengan suara datar.
Kini aku betul-betul bermaksud membantu seorang sahabat yang rumah tangganya sedang dihantam badai. Sungguh tak mudah memberikan saran yang bijaksana pada seorang perempuan yang bertahun-tahun disakiti oleh sang suami. Dibentak; dipukul; ditendang; diseret ke luar rumah di tengah malam bak binatang; diancam dengan pistol; ditinggalkan berbulan-bulan tanpa nafkah, adalah hal-hal yang pernah ia alami. Berulang-ulang.
“Mas, Uda kawin lagi,” kata Ina suatu ketika lewat SMS.
“Dari mana kamu tahu?” jawabku.
“Banyak teman-temanku di Padang yang ngasih tahu. Uda sendiri cerita.”
Aku tercekat saat membaca berbagai SMS-nya yang begitu mengharu biru. Terus-terang, aku sendiri bingung bagaimana memberikan saran. Menyarankannya untuk bercerai adalah juga kurang fair. Aku tidak pernah tahu cerita versi suaminya. Namun jika cerita Ina itu benar, menyarankannya untuk mempertahankan pernikahan adalah tindakan yang juga tidak arif. Sama saja membiarkannya terperangkap dalam lorong gelap yang tak berujung.
Dalam satu tahun ini, Ina sering menghubungiku dan menumpahkan segala persoalan rumah tangganya. Di awal-awal komunikasi kami, tentu saja aku menyarankannya untuk memperbaiki hubungannya dengan sang suami. Tidak perlu mencari-cari kesalahan sang suami. Karena memang tidak ada manusia yang sempurna dalam hidup ini.
Namun belakangan ini, Ina semakin membuka belang siapa suaminya. Dan satu hal yang membuatku berpikir ulang untuk menyarankannya memperbaiki rumah tangga, adalah bahwa suaminya, Uda, itu menikah lagi dengan seorang perempuan yang masih menjadi suami orang lain.
Dengan tiga anak yang masih kecil-kecil, bahkan anak yang terakhir, masih bayi belum genap setengah tahun, sungguh merupakan beban hidup yang berat bagi Ina. Apalagi ia dilarang keras oleh suaminya untuk bekerja. Aneh juga, kukira. Dulu pernah aku membantu mencarikan pekerjaan jadi tata usaha di kantor temanku. Tapi, apa lacur? Sang suami meneleponku dan temanku itu, meminta agar menolak lamaran pekerjaan Ina.
Mungkin tidak menjadi persoalan, jika larangan tidak bekerja itu karena sang suami mampu mencukup nafkah keluarga. Tapi apa yang terjadi? Ina ditinggalkan begitu saja di rumah tuanya tanpa nafkah. Kalaupun ada kiriman uang, entah berapa bulan sekali. Itu pun sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sejak awal saya sudah menyarankan agar mereka berdua tidak hidup terpisah. Ina di Magelang sedangkan sang suami di Banjarmasin dan sekarang di Padang. Meskipun kekurangan, namun hidup bersama itu lebih baik daripada berjauhan. Hidup berumah tangga mestinya memang harus menjalani bersama susah dan senang. Tidak hanya senangnya saja. Ketika terjadi kesusahan, bisa ditanggung bersama oleh suami istri bila hidup bersama, sehingga beban masalah terasa lebih ringan.
Sayang sekali, saran itu tak jua digubris oleh Uda.
“Saya tidak tahu harus bekerja apa jika tinggal di Magelang,” demikian alasan Uda seperti yang ia sampaikan padaku.
Padahal si Uda suami Ina itu bukanlah orang yang berpendidikan rendah. Ia lulusan S2 Studi Ilmu Lingkungan dari sebuah universitas negeri ternama di Yogyakarta. Ia juga sudah berpengalaman dalam pekerjaan analisa dampak lingkungan (amdal) untuk pembangunan berbagai pabrik di beberapa daerah di Indonesia. Tak heran, ia pun berkali-kali pindah di berbagai daerah di Indonesia.
Ina sendiri juga bukanlah perempuan biasa yang berpendidikan rendah. Ia juga lulusan S1 Ekonomi dari sebuah universitas terkenal di Magelang. Ia pun berpengalaman bekerja sebagai tenaga honor di Pemkab Magelang. Tapi, begitulah. Jalan hidup seseorang sering penuh liku dan terjal.
Seperti penuturan Ina, ternyata kisah percintaannya sendiri cukup panjang dan berliku. Ia berkali-kali menjalin cinta dengan beberapa orang kali. Dari mulai lelaki mahasiswa pengangguran yang tidak jelas masa depannya, pemain bola profesional, hingga kemudian duda beranak dua yang kini jadi suaminya! Sungguh, aku tidak menyangka jika Ina memiliki pengalaman cinta yang begitu panjang.
Memang dilihat dari penampilannya, Ina bisa dengan mudah menaklukkan para lelaki. Di desanya, ia merupakan kembang desa yang menyedot perhatian banyak pria. Tentu saja, banyak pria sekampungnya yang rendah diri. Ia termasuk segelintir perempuan di kampungnya yang bisa melanjutkan kuliah. Selain itu, ia cantik pula. Akhirnya, banyak pria yang tertawan hatinya justru berasal dari luar kampungnya sendiri. Dan aku adalah termasuk lelaki pecundang itu! Ha…ha…
Suatu ketika, Ina juga pernah bercerita kalau suaminya pernah menikah dua kali dan memiliki dua orang anak. Di samping itu, sang suami juga masih sering dihubungi oleh istrinya yang terakhir. Mereka masih suka berkomunikasi dengan mengidentifikasi dirinya sebagai mama dan papa. Hal itu pula yang membuat Ina semakin meradang.
Kini, ketika sang suami diketahui telah menikah lagi dan menduakan dirinya, hati Ina semakin tercabik-cabik. Poligami yang selama ini ia takutkan akhirnya betul-betul menimpa dirinya. Namun, Ina juga tidak terlalu heran jika sang suami akhirnya berpoligami. Sang suami sendiri terlahir dari keluarga poligami. Ia adalah dari istri ketiga ayahnya di Padang sana.
“Poligami itu akan mendatangkan pahala dan bahagia jika dilakukan oleh orang yang mampu. Namun sebaliknya, poligami hanya akan mendatangkan dosa dan malapetaka jika dilakukan oleh orang yang tidak mampu,” begitu kataku dalam SMS saat Ina menanyakan pendapatku tentang poligami.
“Mampu gimana? Wong, memberi makan keluarganya sekarang aja susah payah!” sergah Ina dengan emosi dalam SMS-nya. “Adil? Bagaimana mau adil jika ia datang padaku tiga bulan sekali. Itu pun paling lama seminggu di tempatku. Sementara waktu yang lain, ia berada di istri mudanya!”
Ah, aku pun tambah pusing. Akhirnya, aku pun menyarankannya untuk melayangkan gugatan ke pengadilan. Namun masalahnya tidak semudah yang dibayangkan. Begitu tahu Ina hendak mengajukan gugatan cerai, si Uda pun bertingkah. Ia mengancam akan menyebarkan beberapa foto dan video hot Ina jika sang istri nekat menuntut cerai. Ia juga menuntut ganti rugi Rp 100 juta. Wow, tuntutan yang aneh! Mestinya, Ina yang menuntut rugi karena selama ini telah diperlakukan tidak semestinya.
Betapapun, Ina bergidik juga mendengar ancaman sang suami. Aku pun menyarankannya agar tetap mendekatkan diri kepada Sang Kuasa. Mengisi malam-malam yang panjang dengan tahajud dan zikir. Cobaan tak kan pernah Ia berikan kepada hamba-Nya melebihi kemampuan sang hamba itu sendiri. Ah, klise, memang. Aku sendiri masih sering mencuekkan-Nya. Tapi, bagaimanapun, aku harus mengatakan seperti itu.
“Nggak usah takut foto-foto itu disebarin. Toh, kamu kan bukan artis atau orang terkenal. Orang juga kan semua tahu. Dunia tidak akan runtuh hanya karena foto-foto itu tersebar.” Demikian suatu ketika saya membesarkan hati Ina.
Ketika kutanyakan bagaimana foto-foto itu bisa terjadi, “Kata, Uda, sih itu untuk kenang-kenangan. Obat kalau dia rindu sama aku,” demikian jawab Ina lewat telepon. Kini Ina hanya bisa menyesali kenaifannya karena begitu saja mau dipotret dalam keadaan “tidak sopan” oleh sang suami yang kurang ajar.
Apa hikmah yang bisa kupetik dari kasus Ina? Banyak tentunya. Tanpa bermaksud merendahkan Ina, saya juga semakin yakin bahwa Tuhan tidak pernah salah saat mengatakan: Wanita-wanita yang buruk adalah untuk laki-laki yang buruk, dan laki-laki yang buruk adalah buat wanita-wanita yang buruk (pula). Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
Aku jadi teringat tulisan Ade, seorang teman blogger nan cantik. “Tuhan tidak pernah salah memilihkan jodoh. Perempuan baik-baik untuk lelaki baik-baik. Janji-Nya selalu tepat. Tidak pernah tertukar.” Ya, begitulah tampaknya yang bisa kulihat dari kasus Ina ini. Kini aku semakin menyadari, sungguh Tuhan Maha Bijaksana, ketika Ia menyelamatkan diriku dari perangkap pesona Ina saat itu
Firman Tuhan di atas juga diafirmasi oleh teori sosial Gemeinschaft yang dirumuskan oleh Ferdinand Tonnies. Di dalam setiap individu, terdapat keinginan untuk memiliki hubungan atau relasi yang didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan dengan orang lain. Seorang artis akan mudah bergaul dengan sesama artis. Seorang penjahat akan mudah berkumpul dengan sesama penjahat.
Ada saja jalan yang diatur Tuhan sehingga membuat seorang perempuan “nakal” duduk di pelaminan bersama seorang lelaki hidung belang. Ada saja cara Tuhan untuk menjauhkan seorang lelaki baik-baik agar tidak duduk di majelis akad nikah dengan seorang perempuan genit yang suka mengobral kehormatan dirinya. Ya, betapapun dahsyatnya pesona si perempuan. Betapapun, minyak tak kan pernah bersatu dengan air.
Satu lagi yang bisa kuambil pelajaran. Hati-hati memilih jodoh. Jangan tertipu oleh penampilan luar yang mempesona. Meneliti latar belakang calon pasangan adalah mutlak dilakukan. Sebab sekali kita salah pilih, kita akan dirundung derita berkepanjangan. Memang tidak ada orang yang sempurna dalam hidup ini. Kekurangan yang manusiawi tentu bisa ditolerir demi keutuhan rumah tangga. Tapi kekurangan yang menjurus pada hal-hal fundamental yang merusak sendi-sendi dalam rumah tangga, tentu hal itu tidak bisa ditolerir. Bukankah rumah tangga dibangun untuk membangun kebahagiaan, bukan penderitaan berkepanjangan karena salah satu pihak tidak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik?
Terakhir, aku tidak bermaksud mengklaim diri sebagai lelaki baik-baik. Sungguh, aku tetap lelaki penuh kekurangan dan bergelimang dosa. Aku hanya berusaha untuk menjadi orang baik-baik, meskipun dengan tertatih-tatih. Tulisan ini juga merupakan ungkapan syukurku telah dipilihkan oleh-Nya seorang perempuan yang tak suka mengobral auratnya. Perempuan yang sabar menerima berbagai kekurangan dan kegilaanku. Ya, meski tidak secantik Luna Maya atau Dewi Sandra, paling tidak ia telah menjadi perempuan tercantik di hatiku dan hati kedua anakku. Perempuan yang, insya Allah, akan menjadi satu-satunya ibu dari anak-anakku.
Nobody’s perfect, pa kacil ai…
Tulisan pian itu sungguh sangat inspiratif, semoga para blogger ‘bibinian’ yang membacanya jadi terbuka pikirannya. Sesuatu yang kira baik itu belum tentu baik dalam pandangan qJJl. Ba ilang pang ke pondok maya ulun, trims
@Imi Surya Putera
Betul, nobody’s perfect. Karena itulah, kita seyogianya belajar mendekati kesempurnaan yang hanya milik-Nya. Ayu ai kaina insya Allah, bailang.
Cie-cie CLBK nih…………………………
Awas Ibu itu gampang cemburuan, tapi jangan khawatir Ibu Kalau Cemburu Berarti masih sayang dan cinta.
@ Dedi Suparman
Nggak kok, Ded, bukan CLBK. Sekedar membantu teman, dan mengambil pelajaran. Termasuk pelajaran untuk kamu. Cemburu Ibu juga masih wajar, kok. Dia bukan tipe perempuan pencemburu buta.
yah begitulah kehidupan ………………………..
dedisuparman.wordpress.com
Tersanjung nih, tulisan saya di link kesini …. makasih ya mas 🙂
@ Rindu
Saya juga tersanjung mendapat tamu seorang blogger yang memiliki banyak penggemar seperti antum. Makasih sudah berkenan mampir. Mudahan kita terus bisa bersilaturahmi.
selalu ada dua sisi atau lebih dari manusia, mas. tidak pernah ada satu sisi saja. justru di situlah keindahannya.
@ Iklan Politik
Betul sekali. Selalu ada sisi baik dan sisi buruk dalam diri manusia. Bahkan alam semesta juga diciptakan berpasang-pasangan. Orang “baik-baik” bukan berarti seluruhnya baik dan sempurna. Orang “jahat” bukan berarti seluruhnya jahat. Yang membedakan adalah seberapa jauh seseorang berusaha untuk menjadi baik dan menaanti aturan atau norma yang ada.
wah, asyik bener, mas rache. jadi tempat curhat “mantan kekasih”, kekeke … apalagi si doi sedang bermasalah dengan suaminya. tapi hati2, mas. konon perempuan yang sedang bermasalah dalam soal rumah tangga, akan gampang jatuh hati pada teman2 lama yang pernah dekat di hatinya, wakakaka …..
@ Sawali Tuhusetya
Asyik sih asyik, cuma khawatir juga jatuh hati lagi seperti Bapak katakan. Pak Sawali pernah ngalami, ya?
wah kalau saya malah sampai kepingin dicurhatin ama “mantan kekasih” (minjem istilah Pak Guru Sawali), yang terjadi malah…… mereka ingin… hah mereka!!!!….. hihihi…. ya… mereka kalau ketemu ama saya pinginnya pada mengenang masa lalu… hallah….
trus kalau gitu… saya musti gimana bos…. bingung mode on… (kalau dalam hati sih… manggut-manggut…. hihihii)
@ Madhysta
Ya, nggak usah bingung. Jaga jarak aja kalee. Susah juga kalau terus-terusi dicurhatin sama “mantan kekasih”. Bisa-bisa dilabrak sama suami/istrinya. Repot ntar.
aku melu trenyuh.
muga-muga cepet rampung, melas temen nasipe .
salam
yayon-kerepalur
Ah, Rossa… Eh,
Ah, Ina…
dulu si DM pernah promosi tulisan ini, mas. tapi baru ini ketemu setelah ada tautannya di tulisan yang terbaru. ternyata DM benar, tulisan ini bagus karena begitu jujur mengungkapkan isi hati mas racheedus, walaupun tetap sarat hikmah.
salam buat mbakyu ya, mas? semoga langgeng dan nggak perlu cemburu lagi pada ina.
Hahahaha. Itu sih bisa-bisanya Marshmallow aja, Mas.
Nggak perlu ngirim bahan dapur segala. Cukup kirimi album terbaru Rossa saja. Wakakakkk!