Perempuan dengan BMW

Aku masih teringat jelas, saat beberapa tahun silam, perempuan itu masih bocah. Saat itu aku baru lulus dari kuliah S1 dan mengajar honor di madrasah di kampungku. Perempuan itu mengaji di pesantren tempat aku biasa mengajar. Ia masih imut-imut dengan tingkah laku yang menggemaskan layaknya anak kecil. Namun ia memang agak berbeda dengan anak-anak lain yang sebayanya. Ia tampak paling cantik dengan kulit putih bersih dan penampilan yang rapi.

Sebut saja namanya Santi. Sebenarnya, ia masih memiliki garis keturunan dengan pengasuh pesantren tempat aku biasa dulu mengajar. Namun, ia jadi korban orang tua yang broken home. Ayahnya seorang polisi yang doyan main perempuan. Tak ayal, sang ayah akhirnya “dibuang” ke Aceh untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebelum terjadi perdamaian Helsinki. Sepulang dari Aceh, sang ayah pun menikah lagi dengan seorang perempuan yang jauh lebih muda dari ibunya. Tidak sudi dipoligami, ibunya pun lantas meminta cerai.

Bacaan Lainnya

Ibunya sendiri memang perempuan dengan masa lalu yang tak kalah suram. Sebelum dinikahi oleh sang polisi, ia dikenal sebagai perempuan yang terbiasa menerima “order”. Ia malang melintang di dunia malam Jakarta. Ia memang memiliki modal untuk bekerja di bidang itu. Meski sekarang gemuk, dulu ia memiliki tubuh yang proporsional dan wajah yang menarik.

Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Santi tumbuh menjadi seorang gadis remaja yang cantik dan memiliki pergaulan bebas. Saat masih SMP, ia sudah bergonti-ganti pacar. Menginjak SMA kelas 2, ia pun hamil di luar nikah. Entah berapa banyak lelaki yang sempat menikmati tubuhnya. Yang jelas, ia akhirnya ia dinikahi oleh seorang pemuda keturunan Tionghoa di kampungku.

Setelah menikah dan melahirkan anak, Santi dihadapkan dengan kenyataan pahit keluarganya. Suaminya hanyalah seorang pemuda pengangguran yang masih suka keluyuran. Sementara Ibunya hidup sendiri dengan pikiran yang agak terganggu, seusai bercerai dengan sang ayah. Tanpa pekerjaan dan tanpa penghasilan. Tak ada lagi rumah tempat untuk bernaung. Rumah tingkat dua yang dulu ditempati kini sudah terjual setelah sang ibu bercerai dengan sang ayah. Adik Santi yang perempuan dan masih berusia SD lantas ikut sang ayah yang menikahi lagi dengan perempuan lain.

Dalam kondisi tanpa tempat tinggal, untung saja ada keluarga Santi yang bersedia menampung mereka. Namun kepedihan itu belum berakhir. Santi harus memutar otak untuk menghidup anak, ibu, dan suaminya sekaligus. Bagaimanapun, ia harus membelikan susu untuk anaknya. Di sisi lain, ia juga tidak mungkin bisa membeli baju-baju bagus seperti biasa jika tidak memiliki uang.

Di ujung kepedihan itulah, muncul ide gila dari sang suami. Oleh sang suami, Santi pun dicarikan para pelanggan lokal. Saat begadang dan kehabisan rokok, aku biasa keluar rumah dan mencari warung untuk membeli rokok dan kopi. Saat itulah, aku beberapa kali melihat Santi dijemput oleh seorang laki-laki, lantas menghilang di tengah keheningan malang. Seperti menghilangnya pelajaran-pelajaran yang ia terima semasa kecil saat dulu masih mengaji di madrasah pesantren.

Hanya sempat beberapa bulan menikmati pernikahan, Santi akhirnya bercerai dengan sang suami. Tentu saja, ia tidak sudi terus-terusan hidup bersama dengan seorang laki-laki yang hanya ingin enaknya saja. Santi yang membanting tulang, merelakan tubuhnya dinikmati orang lain, sementara suami tinggal meminta uang saja kepadanya.

Seusai bercerai dengan suami, Santi semakin bebas menentukan hidupnya sendiri. Ia berpikir keras untuk menghidupi ibu dan anaknya. Apalagi ia juga belum memiliki rumah. Penghasilan selama ini tampaknya masih belum cukup untuk menghidupi seluruh kebutuhan hidupnya itu. Akhirnya, ia pun berangkat ke Jakarta untuk mencari pangsa pasar yang lebih luas dan berkelas. Dengan modal penampilan yang meyakinkan dan usia masih ABG, tak pelak Santi pun memiliki banderol yang tinggi.

Belum sampai setahun bekerja di Jakarta, Santi pulang kampung saat musim mudik Lebaran tiba. Kemarin aku sekilas melihat kembali perempuan itu. Kali ini aku betul-betul terpana. Ia menyetir sendiri sebuah mobil sedan BMW. Meski bukan tipe terbaru, tapi mobil itu masih mulus dan tampak mewah sekali. Apalagi untuk ukuran di kampungku. Mungkin tidak lama lagi, ia sudah bisa membangun rumah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

18 Komentar

  1. Membaca artikel perempuan dengan BMW, sy jd terharu. jujur, sy kasihan melihat santi, hidupnya begitu tragis. Seharusnya, orangtuanya yg memiliki tanggungjawab penuh, hingga santi menjadi dewasa dalam menjalani dan menyikapi persoalan hidup. namun sayang, orangtuanya yang seharusnya menjadi figur untuk santi, tak dapat melakoni perannya sbg orang tua. Santi, mungkin hanya satu di antara jutaan anak yang tak dapat menikmati indahnya sebuah keluarga yang utuh., padahal jelas-jelas anak itu adalah amanah dan akan dimintai pertanggungjawabannya dari Sang pencipta…

    Hitam putih jalan hidup yang dipilih seorang anak, memang seringkali disebabkan oleh kondisi orang tuanya. Semoga Santi bisa kembali jalan yang lurus.

  2. BMW menjadi modal yang teramat berharga di jaman sekarang ini. Termasuk bagi para perempuan yang mencari nafkah dari jalan yang gelap.

    Tahu gak mas, perempuan penjaja cinta di daerah ku pun mesti punya modal BMW alias “Bokong Montok Wujudnya” demikian masyarakat menamainya.

    He…he… bisa aja. Singkatannya menarik.

  3. Sedih rasanya….tak adakah ketrampilan lain yang dimiliki Santi? Karena betapapun sulitnya hidup, jika mau berusaha masih banyak hal lain yang bisa dikerjakan..saya pernah menulis tentang mbak T, yang menunggu rumah alm ayah ibu.
    Dengan jualan usus goreng, dia bisa mempekerjakan dua tenaga kerja dan beli rumah, persis di depan rumahku. Tapi memang harus mau kerja keras.

    Betul, Bu. Saya juga ikut sedih. Apalagi saya tahu betul bagaimana kondisi keluarganya. Kalau digali, pasti Santi memiliki keterampilan yang bisa ia gunakan untuk mencari nafkah yang halal.

  4. Membaca tulisan ini langsung sedih. Memang banyak sekali masyarakat yang tidak berpikir panjang, pengennya serba cepat dan instan untuk mendapatkan harta. Padahal kalau berusaha dan ditekuni juga bisa mendapatkan BMW tersebut tanpa harus mengorbankan harga diri.

    Sama, Pak Mandor. Saya menulis tulisan ini dengan perasaan yang bercampur aduk, antara sedih dan kecewa.

  5. Aku setuju dengan Pak mandor. Banyak orang tak sabar dan tergiur oleh nikmat yang ditawarkan dunia, padahal nikmat di dunia ini hanyalah sementara. Banyak orang yang ingin secara instan menjadi kaya dan terpandang, tanpa memikirkan akibatnya di belakang nanti. Mungkin secara sosial dia kaya, tetapi secara harga dan kehormatan diri dia miskin. Ah..semoga kita tidak termasuk orang-orang seperti itu.

    Semoga, Mas Budi, kita tidak termasuk orang-orang seperti itu.

  6. Tidak sedikit wanita yang kebetulan dikaruniai fisik menarik, tapi agama dan akhlak kurang kuat, dengan mudah terjerumus di jalan suram seperti Santi. Dan karena sudah terbiasa mendapatkan uang banyak dengan mudah, mereka tidak memiliki kemauan untuk beralih ke jalan lurus dengan cara bekerja keras.

    Oh ya, ada yang bilang, bmw adalah singkatan dari “bikin mabuk wanita”. Wah, kalau ini mah melecehkan … 🙁

    Betul, Bu. Dan yang sangat penting adalah peran keluarga dalam menanamkan nilai dan contoh perilaku. Jika memang orang tua tidak bisa memberikan contoh yang baik, anak pun dengan mudah terjerumus pula.

  7. coba santi kerja ditoko sy,,,,walaupun gajinya kecil,,,,tapi dia bisa memaknai hidup yg diberikan tuhan,,,

    Lha, ide bagus itu. Mungkin ada Santi-santi lain di sekitar tempat Anda yang bisa dipekerjakan di toko Anda.

  8. Wah 🙂

    Salam persohiblogan

    Lama tak bersua. Maaf karena kesibukan membuat saya sulit BW.
    Baru sempet nih, itu pun sekedar sapaan sembari lewat. 🙂

    Mohon Maaf Lahir & Bathin

    Iya, nih, lama kita nggak saling bersilaturahmi. Salam hangat.

  9. rejeki itu tergantung juga dari akhlak seseorang. Tuhan tak akan mempersulit rejeki hambanya yang taat, Hambanya yang berserah diri.

    Kalo seperti si santi yang akhirnya bisa menikmati kemewahan setelah menghadapi masa “sulit”, itu bukan kebanggaan. Karena berasal dari pekerjaan yang tak wajar.

    Komentarnya bagus banget, Bang Zul. Tengkyu.

  10. Saya pernah baca sebuah tulisan di salah satu website yang membahas tasawuf, tepatnya di rubrik sketsa sufi. Artikel tersebut berjudul Pelacur yang bertasbih.

    Dalam artikel tersebut, seorang pelacur mengungkapkan kalau dirinya melacur agar bisa membiayai anak2nya sekolah. Anaknya yang pertama sekolah tahfidz qur’an dengan harapan nantinya dapat menjadi seorang yang shaleh dan mendoakan dia.

    Walaupun cuma sketsa, tapi makna yang ingin disampaikan oleh penulis kelihatannya adalah bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Pemurah, sehingga seyogyanya kita tidak terlebih dahulu memvonis ‘jelek’ terhadap seseorang yang menurut masyarakat jelek. Mungkin saja Allah akan mengampuni dosa melacurnya lantaran ada sebuah amalan yang mampu membukakan pintu rahmat Allah kepadanya. Wallahu a’lam.

    Saya juga sudah baca tulisan tentang Pelacur yang Bertasbih. Memang sangat menyentuh. Dan hanya Allah yang Maha Memberi Hidayah. Saya juga berharap, suatu saat kelak Santi kembali ke jalan-Nya.

  11. Jadi gimana nih dengan cerita di atas? Kita mau bilang Santi sukses dan tidak apa2 ? Atau Santi yang sukses tapi kenapa2.

    Tinggal di balik saja sekarang, kalau runtut kisah hidup seorang Santi menimpa anda – walau tak sama persis – anda akan memilih tetap terpuruk tapi soleh… atau menjalani seperti Santi?

    Ini tak lepas dari situasi sekitar yang mendukung seorang Santi seperti itu. Kita hanya bisa melihat dia seperti sebuah sinetron dan tiba2 ketika kita menengok pada diri sendiri?? Walah…… iya yah….. ternyata aku juga banyak ‘bopengnya’ kaya Santi