Penghulu: dari Masa ke Masa
Di era kerajaan-kerajaan Islam sebelum kemerdekaan, penghulu merupakan ulama yang diangkat oleh pihak kerajaan. Jabatan penghulu tersebut menjadi istimewa karena menjadi pemimpin agama sebagai mufti di lingkungan kerajaan untuk memberikan nasihat kepada pihak kerajaan. Di samping sebagai mufti, penghulu juga sebagai kadi (hakim) di peradilan agama seperti yang disebut dengan Peradilan Serambi di Kerajaan Mataram (hal. 41). Bahkan dalam sejarah perkembangan Islam di Jawa, di antara Walisanga, ada dua orang yang jadi penghulu, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga (hal. 43).
Sedangkan pada era kolonialisme Belanda, Pemerintah Hindia Belanda memasukkan jabatan penghulu ke dalam struktur pemerintahan. Dalam laporan Snouck Hurgronje, ada lima tugas penghulu, yaitu kadi (hakim), mufti, juru nikah, amil zakat, dan kepala masjid (hal. 50). Tugas sebagai kadi itu sejalan dengan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang membentuk Pengadilan Agama (Priesterraad) pada tahun 1882 (hal. 52). Peradilan tersebut berwenang untuk menangani persengketaan umat Islam di bidang pernikahan, kewarisan, wasiat, dan lain-lain (hal. 48).
Di era awal kemerdekaan, persoalan kepenghuluan menjadi salah satu alasan terbesar berdirinya Departemen Agama. Saat itu, umat Islam bersikap legawa untuk menerima kenyataan politik bahwa dasar negara bukan syariat Islam. Meski demikian, sebagai bagian dari bargaining politik, umat Islam mendapatkan konsesi politik untuk memiliki departemen khusus guna mengurus kepentingan umat Islam, seperti perkawinan, haji, zakat, dan lain-lain. Kegiatan perkawinan itulah yang menjadi wadah para penghulu untuk menegakkan penerapan hukum Islam setelah syariat Islam sebagai dasar negara tidak disepakati oleh para pendiri bangsa.
Tudingan Gratifikasi Penghulu
Di ujung tahun 2012, para penghulu digegerkan oleh pernyataan Inspektur Jenderal Kementerian Agama, M. Yasin. Mantan komisioner KPK itu menyebutkan bahwa ada pungutan liar di lingkungan KUA yang bisa mencapai 1,2 triliun setahun. Angka yang cukup fantastis itu muncul dengan asumsi bahwa jumlah pernikahan 2,5 juta dan rata-rata pungutan untuk setiap pernikahan adalah Rp. 500.000. Padahal saat itu, tarif nikah resmi hanyalah Rp. 30.000 per pernikahan (hal. 213).
Tudingan pungutan itu membuat para penghulu se-Indonesia seolah memakan buah simalakama. Bahkan pada Desember 2013, sempat terjadi peristiwa mogok para penghulu di Jawa Timur untuk menikahkan di luar kantor (merdeka.com). Pro dan kontra pun menyeruak di ruang publik. Akhirnya mata publik pun menjadi terbuka. Ternyata selama ini Pemerintah tidak sepenuhnya memperhatikan kegiatan penghulu di lapangan.
Tarif nikah Rp. 30.000 pada saat itu–berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004– sangat tidak masuk akal. Tak ada tunjangan transportasi dan tunjangan profesi saat mereka melaksanakan tugas di lapangan. Padahal jelas mereka menjalankan tugas negara sekaligus agama. Sementara profesi-profesi lain mendapatkan tunjangan dari Pemerintah. Kondisi inilah yang memicu timbulnya pungutan liar di tengah masyarakat.
Tudingan pungli itu membuat kalangan penghulu berada di ujung tanduk. Salah satu korbannya adalah seorang penghulu dari KUA Kediri bernama Romli. Pada Maret 2014, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, menjatuhkan vonis satu tahun penjara kepada Romli karena tindakan gratifikasi (jatim.antaranews.com).
Tak pelak, vonis itu semakin menggelisahkan para penghulu. Namun kegelisahan para penghulu akhirnya didengar oleh Pemerintah. Setelah melalui proses yang panjang dan alot, pada tanggal 27 Juni 2014, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014. Di era Presiden Joko Widodo, PP tersebut kemudian diubah dengan PP Nomor 19 Tahun 2015. PP tersebut merupakan landasan hukum bagi penghulu untuk menerima tunjangan transportasi dan profesi. Tunjangan itu menjadi salah satu komponen dalam tarif biaya nikah/rujuk yang ditetapkan Pemerintah, yaitu sebesar Rp. 600.000.
Setelah viralnya tudingan pungli dan kasus penghulu Romli tersebut, para penghulu lantas berupaya mendirikan organisasi profesi penghulu. Setelah melalui proses yang panjang sejak tahun 2014, akhirnya, organisasi ini berdiri secara resmi di Bogor pada tanggal 17 Juli 2019. Organisasi tersebut dibentuk untuk mengadvokasi dan memberikan bimbingan kepada teman-teman penghulu, terutama saat mereka melaksanakan tugas.
Penghulu: Kontestasi antara Dua Otoritas
Tema utama buku ini sebenarnya membahas tentang dilema penghulu saat memutuskan perkara di lapangan. Sang penghulu berada di antara dua pilihan sumber keputusan hukum. Kedua pilihan sumber itu adalah fikih yang selama ini mereka pahami dari berbagai kitab kuning, dan regulasi pemerintah yang terdiri dari Undang-undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah, Instruksi Presiden (dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam), Peraturan Menteri Agama, Surat Edaran Dirjen Bimas Islam, dan lain-lain. Ada semacam kontestasi antara fikih dan Kompilasi Hukum Islam ketika sang penghulu memutuskan suatu perkara.
Padahal Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 junto Nomor 16 tahun 2019, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), merupakan sumber resmi yang mengikat bagi penghulu dalam memutuskan perkara di lapangan. Para penghulu adalah para pelaksana undang-undang. Mereka terikat dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah (ulil amri).
Masalah-masalah yang sering menjadi pemicu timbulnya kontestasi itulah yang menjadi kajian khusus dalam buku ini. Nah, di antara masalah itu adalah masalah penentuan wali nikah, penghitungan masa iddah, kawin hamil, nikah sirri, perkawinan di bawah umur, itsbat nikah, riddah, dan poligami. Sang penulis meneliti pandangan para penghulu di wilayah Yogyakarta tentang-tentang hal tersebut.
Salah satu masalah yang sering menjadi ajang kontestasi adalah penentuan wali nikah (hal 115-132). Hal ini terkait kasus ketika sang ibu dari calon pengantin perempuan telah hamil terlebih dahulu saat menikah dengan sang ayah. Dengan kata lain, calon pengantin perempuan itu adalah anak hasil dari hubungan terlarang sebelum nikah.
Menghadapi kasus tersebut, terdapat tiga pandangan di kalangan penghulu, yaitu sebagai berikut:
Pertama, sebagian penghulu yang konsisten dengan pemahaman terhadap regulasi pemerintah, yaitu Kompilasi Hukum Islam, berpendapat bahwa wali nikahnya tetap sang ayah. Mereka mendalilkan pandangan itu pada Pasal KHI Pasal 9 poin (a) yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Pasal itu menunjukkan pemahaman hukum bahwa berapa pun usia kehamilan seorang perempuan di saat seorang lelaki menikahinya, maka lelaki itu berhak menjadi wali nikah terhadap anak perempuan yang lahir.
Kedua, sebagian penghulu yang ketat memahami teks-teks dalam kitab-kitab fikih, terutama fikih Syafi’iyyah, memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, anak yang lahir dari seorang perempuan yang telah hamil sebelum terjadi pernikahan, maka anak itu tidak memiliki hubungan nasab kepada lelaki yang menghamili perempuan tersebut. Dalam bahasa sarkastis, anak itu dianggap anak zina atau anak haram. Dus, anak itu hanya memiliki hubungan nasab kepada sang ibu, dan bukan kepada sang ayah.
Ketiga, sebagian penghulu memilih pandangan yang seolah mencoba mengambil jalan tengah. Bagi mereka, usia kehamilan sang ibu saat pernikahan menjadi dasar untuk menetapkan apakah si ayah berhak menjadi wali atau tidak. Jika anak perempuan tersebut terlahir setelah lebih dari 6 (enam) bulan dalam kandungan terhitung sejak akad nikah, maka sang ayah memiliki hubungan nasab yang sah kepada si anak perempuan.
Namun jika sebaliknya, anak itu lahir ketika kandungan ibunya kurang dari 6 (enam) bulan terhitung sejak akad nikah, maka hubungan nasab kepada ayahnya terputus. Dengan demikian, sang ayah tidak berhak menjadi wali, sehingga perwalian berpindah kepada wali hakim.
Itulah gambaran sekilas tentang kontestasi antara fikih dan Kompilasi Hukum Islam yang dihadapi oleh para penghulu. Fenomena kontestasi ini juga menunjukkan bahwa regulasi pemerintah belum sepenuhnya mengikat bagi para penghulu dalam mengambil keputusan.
Jika Anda ingin lebih detil untuk mengetahui tentang dalil dan argumentasi berbagai pandangan itu, silakan Anda langsung membaca buku ini. Sebagai seorang yang lama berkecimpung langsung di dunia kepenghuluan, Halili Rais relatif berhasil menampilkan potret besar tentang berbagai persoalan yang dihadapi oleh para penghulu.
Sistematika dan Gaya Bahasa Buku
Dari aspek sistematika, buku ini masih kental dengan format akademis. Hal ini karena buku ini memang berasal dari karya disertasi Halali Rais. Bagian-bagian yang sangat akademis seperti kajian pustaka, rumusan masalah, tujuan penelitian, sistematika pembahasan masih disertakan di dalam buku ini.
Padahal jika memang buku ini ditujukan untuk masyarakat luas, tidak hanya untuk terbatas untuk kalangan akademis, buku ini semestinya sudah menggunakan format buku ilmiah populer. Bagian-bagian yang sangat akademis seperti di atas tidak perlu ditampilkan di buku. Justru daftar indeks yang sangat penting mestinya perlu dibuat. Dengan demikian, buku menjadi lebih mudah diterima oleh khalayak.
Buku ini masih lemah dalam hal editing-nya. Pada beberapa bagian buku kita bisa menjumpai tema-tema yang berulang-ulang. Hal ini bisa membuat pembaca menjadi cepat bosan. Di sisi lain, paragraf dan kalimat juga terkadang cukup panjang, sehingga membuat lelah mata para pembaca. Alangkah baiknya, pihak editor bisa memotong atau membagi ke beberapa bagian paragraf yang terlalu panjang. Dalam konsep penulisan modern, paragraf yang cukup panjang melebihi 300 karakter akan semakin rendah tingkat keterbacaan (readability).
Dari aspek artistik, sampul buku ini menurut hemat kami, kurang eye cathcing, Tidak bisa langsung memikat pada pandangan pertama. Perpaduan warna kurang pas sehingga terkesan sangat kelam, karena terlalu dominan warna hitam. Di sisi lain, ilustrasi ijab kabulnya kurang mendapat pencahayaan. Selain itu, anak judul “Studi tentang…” juga tidak perlu ditampilkan agar kesan bahwa buku ini adalah karya akademis tidak langsung ditangkap oleh pembaca.
Penutup
‘Ala kulli hal, buku ini sangat cocok untuk para penghulu yang bertugas di KUA. Sebagai buku yang berasal dari karya akademis, buku ini cukup representatif dan informatif untuk menambah wawasan dan keilmuan bagi mereka. Dengan buku ini, para penghulu juga bisa semakin mencintai dan menghargai profesinya. Ternyata sejarah jabatan penghulu merupakan sejarah yang panjang dan menghiasi pula sejarah kemerdekaan negara ini.
PEMESANAN BUKU
Silakan hubungi langsung penulisnya dan sebutkan info pemesanan buku berasal dari blog ini.
Halili Rais di Nomor WA 08122940978