Pemilu 1982: Penyerbuan Kampung Bojong

Kamis Malam Jumat, 6 Mei 1982.
Pemilu baru saja usai dua hari lalu, tepatnya tanggal 4 Mei 1982. Saat itu, penduduk Bojong mengalahkan dengan telak partai penguasa yang berlambang beringin. Sebagai kampung santri, tak pelak mereka pun memilih partai yang bernafaskan Islam. Hal inilah yang membuat kampung Bojong menjadi sasaran teror dari pihak partai penguasa yang menjadi pecundang.

Selepas Isya, beberapa orang asing berkeliaran di kampung Bojong. Orang-orang itu lantas memasang pagar betis di jalan, ujung batas masuk kampung. Drum-drum di pasang di tengah jalan. Tak ada yang boleh melintas. Beberapa orang berpakaian loreng berjaga-jaga dengan senjata lengkap di tangan.

Bacaan Lainnya

Malam itu begitu mencekam. Masyarakat Bojong sudah mencium ada sesuatu yang tak beres. Kampung mereka seperti hendak dikepung. Para tokoh pemuda lantas berkumpul dan memutuskan untuk menjaga kampung mereka. Sebagai salah satu bentuk pertahanan, ditaburkan butiran kacang hijau di sekeliling kampung. Tentu saja kacang hijau bukanlah kacang hijau biasa, tapi sudah diberi doa tertentu oleh seorang kyai dari Cirebon.

Tanda-tanda ketidakberesan semakin jelas saat ada berita bahwa desa tetangga, Rajasinga, sudah diserang. Pondok Pesantren Miftahul Ulum yang dipimpin Kyai Abdurrahman diserbu para penyerang. Penduduk Bojong pun semakin yakin bahwa kampung mereka juga hanya menunggu waktu untuk diserang.

Dari arah selatan, segerombolan orang mulai bergerak menuju kampung Bojong di tengah malam buta. Mereka terdiri dari aparat militer, aparat desa, para preman (baik dari dalam maupun luar desa) yang direkrut sebuah organisasi pemuda, dan pengurus partai penguasa saat itu. Sebagian mereka menggunakan cadar untuk menutupi wajah mereka. Hanya bagian mata yang tampak terbuka. Dengan senjata lengkap, senjata laras panjang, pedang, dan golok, mereka telah siap menebarkan teror di kampung Bojong yang mungil itu.

Namun para pemuda Bojong sudah siap siaga menghadapi serangan. Begitu para gerombolan itu memasuki kampung Bojong, kentongan tanda bahaya pun berbunyi bertalu-talu memecah kesunyian malam. Bunyi kentongan itu membuat para pemuda Bojong menuju pinggir kampung. Sembari memekikkan “Allahu Akbar”, dengan gagah berani mereka menyambut kedatangan gerombolan penyebar teror itu.

Para penyerang lantas menembakkan berondongan senjata api ke arah para pemuda Bojong itu. Namun aneh bin ajaib, senjata api tak mengeluarkan bunyi letusan. Meski begitu banyak peluru dimuntahkan, dan selongsongnya bertebaran di tanah, tak ada satu pun pemuda Bojong yang tertembus peluru. Tak ada juga yang terkena sabetan golok. Para pemuda itu tetap berdiri tegak melindungi kampung mereka.

Belum sempat terjadi kontak fisik antara kedua kelompok itu, tak dinyana kelompok penyerang tiba-tiba berbalik arah. Mereka lari terbirit-birit menyelamatkan diri masing-masing. Para penyerang itu seolah melihat ratusan orang yang telah siap tempur di hadapan mereka. Tentu saja mereka tak akan mampu mengalahkan. Apalagi senjata api mereka tak berhasil melukai satu pun pemuda Bojong. Padahal yang mereka hadapi hanyalah sekelompok pemuda yang berjumlah sekitar 25 orang. Konon, biji kacang hijau yang telah ditaburkan itulah yang seakan menjelma ratusan pasukan yang siap melindungi kampung Bojong.

Akhirnya, sebagian penyerang berlarian ke pinggir kali di ujung desa. Beberapa orang penyerang yang sempat dikejar, akhirnya tertangkap dan dilemparkan ke arah pepohonan berduri di pinggir kali. Seorang pelaku penyerang yang tertangkap, nyaris saja dihabisi jika tidak berteriak, “Saya Kuwu! Jangan bunuh. Saya hanya mengamankan.” Di daerah Indramayu, kepala desa memang disebut kuwu.

Walhasil, penyerangan itu gagal total. Gerombolan penyerang sudah pergi kocar-kacir melarikan diri masing-masing. Namun para pemuda Bojong masih belum merasa aman. Mereka tetap berjaga-jaga di sekeliling kampung. Beberapa saat kemudian, datanglah Komandan Koramil setempat menemui para pemuda Bojong dan mengumpulkan di mesjid setempat.

“Saudara-saudara, silakan pulang ke rumah masing-masing. Keadaan sudah aman. Nggak ada apa-apa,” seru sang komandan tegas, tak ubahnya pahlawan kesiangan. Belakangan baru diketahui, sang komandan ternyata sedang mengidentifikasi siapa saja pemuda Bojong yang ikut melakukan perlawanan. Jika celana mereka kotor berlumur lumpur, berarti ikut melakukan perlawanan.

Mendengar penegasan dari sang komandan, para pemuda pun pulang ke rumah masing-masing. Meski ada sekelabat rasa was-was menggelayut hati mereka. Apalagi mereka tahu betul, para penyerang itu pasti sudah berkoordinasi dengan Koramil setempat.

Sementara para penyerang yang berhasil menyelamatkan diri lantas melaporkan kekalahan mereka kepada pimpinan. Tidak terima dengan kekalahan itu, mereka pun menyusun strategi baru. Mereka akan kembali ke Bojong menjelang fajar.

Saat menjelang fajar tiba, datanglah ke Kampung Bojong sekelompok orang berpakaian loreng dan bersenjata laras api panjang tiba dengan truk militer. Beberapa orang disebar ke beberapa rumah tokoh pemuda. Satu persatu rumah mereka didatangi. Dengan memanfaatkan seorang pemuda setempat, mereka pun mengetok pintu. Saat ditanya siapa, si pemuda pun menjawab namanya. Tanpa curiga, pintu dibuka oleh sang tuan rumah. Saat pintu terbuka dan si pemuda muncul, sepucuk senjata sudah mengarah tepat di kepalanya.

Tanpa perlawanan, enam orang tokoh pemuda berhasil dicokok. Lima orang digelandang ke markas Koramil setempat, sedangkan seorang yang bernama Syamsuri dibawa ke Mapolsek setempat. Hanya satu tokoh pemuda yang tak berhasil dicokok, yaitu Ustaz Rojikun. Entah bagaimana, petugas yang hendak menangkapnya tak juga menemukan rumah sang ustaz. Padahal, di kampung Bojong yang kecil, semua orang juga tahu di mana letak rumah Ustaz Rojikun. Di samping itu, para petugas tersebut juga sudah membawa seorang pemuda setempat sebagai penunjuk jalan.

Saat subuh tiba, lima orang pemuda yang dibawa ke Koramil sudah mengalami berbagai penyiksaan. Ditendang, dipukul, dihantam dengan kayu dan popor senjata. Sekujur tubuh mereka biru lebam penuh luka. Wajah sudah tak kelihatan wajah manusia. Bengkak dan luka memenuhi wajah. Mata sudah tak bisa melek karena tertutup oleh kelopak mata yang bengkak. Salah seorang korban yang lain, Dapikin, dipukul kepalanya dengan gagang pistol. Tak urung, kepalanya pun bocor. Darah mengucur deras. Untung saja, luka itu tidak menyebabkannya gegar otak. Hingga kini bekas luka itu menjadi kenangan pahit buat Dapikin.

Seorang korban, Kasbu, ditendang tepat di mulutnya. Lima gigi depannya rontok. Betapa tidak, ujung sepatu militer memang mengandung baja yang sangat kuat untuk merontokkan gigi orang. Hingga kini, Kasbu harus merelakan dirinya ompong seumur hidup. Dan yang paling mengerikan bagi Kasbu adalah saat rambutnya ditarik oleh dua orang oknum tentara yang naik di atas kursi. Kasbu pun dibiarkan tergantung dengan hanya disangga rambutnya. Bergerak sedikit, rambutnya bisa rontok dan ia terjungkal ke lantai. Dengan menahan kesakitan yang tak terperi, Kasbu berusaha menahan gerak tubuhnya hingga akhirnya ia dilepaskan. Yang membuat para oknum aparat semakin geram adalah bahwa Kasbu tak juga mengaduh atau merintih memohon ampun. Namun yang jelas, sejak saat itu, penglihatan Kasbu pun menjadi berkurang.

Penyiksaan demi penyiksaan akhirnya berhenti sekitar jam 9 ketika kelima pemuda itu dikeluarkan dari Markas Koramil dan dibawa ke Mapolsek setempat. Mereka bergabung dengan Syamsuri yang sejak awal dibawa ke sana. Tidak seperti teman-temannya yang sebelumnya dibawa ke Markas Koramil, Syamsuri tidak mengalami penyiksaan selama di Mapolsek.

Sebelum dibawa ke Mapolsek, empat orang yang disiksa di Koramil dibawa Puskesmas setempat untuk diobati. Sementara satu orang lain, Kasbu, yang dianggap pentolan pemuda, tidak diobati oleh pihak Puskesmas. Meski wajahnya biru lebam penuh darah dan matanya tidak bisa melek, oleh pihak Koramil ia dianggap tidak perlu diobati. Saking banyaknya darah, baju para korban itu kering dan keras oleh darah.

Setelah dibawa ke Mapolsek, kelima orang pemuda itu dan Syamsuri akhirnya dilepaskan sekitar jam enam sore. Keluarnya kelima pemuda Bojong dari Mapolsek juga tak lepas dari hasil negosiasi Zainudin, seorang tokoh pemuda yang juga pengurus partai berlambang Kabah saat itu. Keenam pemuda itu kembali menghirup udara bebas. Sementara Kasbu yang mengalami penyiksaan paling parah akhirnya dibawa ke RS Gunung Djati Cirebon guna menjalani pengobatan semestinya.

Meski para pemuda Bojong itu mengalami siksaan atas pilihan politik mereka, namun mereka telah mencatatkan sejarah kecil tentang perlawanan terhadap penguasa yang lalim. Kampung Bojong merupakan bukti betapa jika Sang Pencipta menghendaki, kekuasaan besar para musuh bisa dikalahkan oleh sekelompok kecil yang betul-betul membela kebenaran. Atas izin-Nya pula, banyak hal di luar rasio yang bisa menyelamatkan orang-orang yang sedang tertindas.

***

Tragedi Bojong merupakan salah satu potret buram sejarah pemilu di negeri ini. Betapa kejamnya penguasa yang sudah gila kekuasaan. Padahal para pemuda kampung Bojong itu hanyalah rakyat biasa. Tak ada yang menjadi pengurus atau aktivis partai yang berseberangan dengan partai pemerintah saat itu. Mereka hanyalah rakyat biasa yang memiliki pilihan berbeda dengan yang dikehendaki penguasa. Namun rakyat biasa itulah yang sering jadi sasaran teror. Para pengurus partai yang relatif terpelajar dan melek hukum, memang jarang diusik penguasa saat itu.

Peristiwa penyerangan di Malam Jumat yang terjadi di Bojong merupakan rangkaian teror yang tampaknya telah disusun rapi. Basis-basis kemenangan partai berlambang Ka’bah menjadi target penyerangan. Kalangan santri menjadi orang yang senantiasa dicurigai oleh pihak penguasa. Di malam yang sama, Ustaz Sumar ditembak hingga akhirnya menemui Sang Khaliq. Pesantren Miftahul Ulum di Desa Rajasinga juga diserang. Untung saja, Kyai Abdurrahman, Ustaz Ayip, dan Kyai Amsor berhasil menyelamatkan diri di tengah berondongan senjata.

Konon, rezim yang berkuasa saat itu memang mengidolakan Nicollo Machiavelli, seorang cendekiawan politik dari Italia. Sebagaimana diketahui, teori politik Machiavelli memang menghalalkan segala cara untuk melanggengkan sebuah kekuasaan. Salah satu teori Machiavelli mengajarkan bahwa jika kekuasaan harus dilanggengkan dengan cara menebarkan ketakutan ke tengah rakyat, maka itulah pilihan yang harus diambil sang penguasa. From this arises the question whether it is better to be loved rather than feared, or feared rather than loved. It might perhaps be answered that we should wish to be both: but since love and fear can hardly exist together, if we must choose between them, it is far safer to be feared than loved. Sungguh, sebuah teori yang sangat tidak patut untuk ditiru oleh para penguasa yang masih memiliki hati nurani!



Pos terkait

Tinggalkan Balasan

13 Komentar

  1. ini fiksi atau fakta pak? fakta yang ditulis fiksi? atau fiksi yang serupa fakta?

    memang, pemilu-pemilu terdahulu penuh cerita….

    salam blogger,

    masmpep.wordpress.com

    Tulisan ini memang fakta yang ditulis dengan gaya feature. Saya menuliskannya setelah melakukan wawancara dengan pelaku dan saksi sejarah.
    Salam blogger pula. Insya Allah, nanti saya tengok blog Mas Febrie.

  2. Membaca tuntas tulisan ini membuatku menemukan satu periodik gambaran nyata wajah Indonesia masa lalu di zaman Indonesia modern. Sungguh mengibakan.

    Satu lagi rawian yang dengan berani sampeyan kisahkan, Mas. Kebenaran memang mesti dikabarkan. Meski betapa kelamnya fakta-fakta di dalamnya. Tentu bukan untuk menakuti-nakuti, lebih dari itu: kita bisa belajar banyak hal dalam bersikap serta memandang cara bernegara ke depan.

    Yang perlu kukoreksi dari tulisan ini adalah: Machiavelli bukan saja menjadi idola rezim tersebut. Melainkan sudah mereka jadikan: Tuhan!

    Machiavelli sudah mereka jadikan Tuhan? Wah, itu mah bukan ngoreksi, tapi ngompori! Wakkkakak. Huss.

  3. Sampai segitunya bang?
    Ya ampun…
    semoga seperti itu sudah tiada lagi di Negara tercinta.
    Salam kenal

    Ya, emang begitulah cerita yang saya dapatkan. Miris, memang. Semoga tidak terjadi lagi. Tapi, beberapa hari lalu, intimidasi masih sempat saya dengar, meski tidak berbentuk fisik.
    Salam kenal juga

  4. wah, tindakan represif, sampai kapan pun akan mendapatkan perlawanan, mas rache, karena cara2 purba semacam itu memang tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru.

    Tindakan represif memang merupakan cara yang biasa digunakan rezim otoriter untuk menundukkan rakyatnya. Mudahan rezim otoriter seperti itu tak pernah lagi berkuasa di negeri ini.

  5. masy skrg khan cenderung “sensitif”
    sehingga acapkali berbuat anarkhis…
    artinya…?
    “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”!!

    Betul, lae. Dan anarkhisme sudah diajarkan oleh penguasa zaman dulu, seperti kasus Bojong itu. Akhirnya, masyarakat pun melakukan hal yang sama.
    Makasih, atas kunjungan baliknya.

  6. ikut ngomporin, mas, soal machiavelli yang telah mereka jadikan tuhan. dan berarti kita saat itu memiliki pemimpin yang sesat. kebayang deh kenapa negara kita jadi bangsat selama puluhan tahun. kena kutuk rupanya.

    sejak mengikuti kisah kekejaman politik mulai tragedi ustadz sumar, saya semakin tahu partai mana yang mutlak dihindari saat pemilu nanti.

    Wuih, kok jadi malah ikut ngomporin. Tapi, saya tidak sedang menyuruh orang tidak memilih partai tertentu, lho.
    Masih ada rangkaian cerita yang ingin saya tulis. Mudahan saya tetap dilindungi oleh-Nya.

  7. Kisah serupa banyak terjadi di daerah-daerah yang berbasis PPP. Malam ketika kampanye atau pemilu ketika zaman Soeharto memang cukup mencekam. Di kampung saya yang berbasiskan partai ‘hijau’ dan dipimpin oleh seorang kyai gede pun setiap lima tahun sekali mengalami intimidasi seperti dalam cerita di atas.

    Para santri menjaga kediaman kyai, suasana hening, orang-orang jarang berani keluar rumah, sosok-sosok orang tak dikenal (intel) terlihat keluyuran di gang-gang kampung. Dan hal ini hampir terjadi setiap lima tahun sekali, terutama di era tahun 70-an akhir dan awal 80-an ketika Golkar khawatir akan kiprah PPP yang semakin disukai rakyat.

    Sungguh sebuah pengalaman politik yang kelam yang pernah terjadi di Republik ini. 🙂

    Betul, Mas Jafar. Banyak kejadian serupa terjadi di kantong-kantong PPP. Bahkan di Pemilu 1992 masih terjadi intimidasi. Tadi sore saya dapat ceritanya. Insya Allah, akan saya tuliskan juga.

  8. dahulu memang ketika masa kampanye bahkan dihari-hari biasa, diskriminasi partai sangat kental, semoga di masa depan udah nggak ada lagi ya mas….

    Ya, mudahan sejarah kelam itu tidak terulang lagi. Penguasa yang terlalu lama berkuasa memang akhirnya cenderung otoriter.

  9. ceritanya sangat mengerikan, tapi saya sudah mendengar cerita itu dari bp saya, dan bp saya salah satu santri miftahul ulum yang mempunyai senjata ketapel,dan pada waktu itu saya belum ada di alam dunia, mudah mudahan jangan sampai terjadi lagi
    peristiwa seperti itu.