Seorang lelaki baru saja menikahi putri seorang ulama terkenal yang berpoligami.
“Nak, saya berpesan padamu,” kata si ulama yang kaya raya itu, “perlakukan istrimu dengan baik. Jangan kau menduakannya dengan berpoligami karena akan menyakiti istrimu.”
“Lho, bapak sendiri kan berpoligami?! Berarti bapak juga menyakiti ibu, istri tua bapak,” protes sang menantu.
“Betul, anakku. Tapi bapak telah menyadari sakitnya poligami adalah justru obat dari sakit yang jauh lebih besar, yaitu ego kepemilikan.”
“Ego kepemilikan bagaimana maksud bapak?
“Hampir semua wanita tidak rela suaminya menikah lagi. Ada rasa memiliki yang kuat dalam diri wanita terhadap suaminya. Seolah suaminya adalah miliknya sendiri. Padahal tak ada apapun yang bisa kita miliki di dunia ini, termasuk suami, istri, anak, harta, jabatan, popularitas, dan lain-lain.”
“Memang tidak boleh ada rasa memiliki dalam diri kita? Repot dong kalau kita tidak memiliki. Nanti bisa-bisa suami atau istri kita berselingkuh dibiarin aja.”
“Hmm. Anakku, kita semua bukan pemilik. Kita semua hanyalah orang yang diberi titipan oleh Sang Pemilik sejati, Tuhan Pencipta jagat raya. Kita diberi amanat untuk menjaga dan merawat dengan sebaik-baiknya semua yang dititipkan kepada kita, baik berupa istri, suami, anak, harta, jabatan, ketenaran, dan lain-lain. Pada saatnya, rela atau tidak rela, semua itu akan diambil kembali oleh $ang Pemiliknya.”
“Maaf, bapak, mohon tidak tersinggung. Apa bukan karena ingin mengikuti hawa nafsu saja orang berpoligami? Pengen cari yang muda dan cantik?”
“Ha..ha.. Bapak sudah sering dituduh begitu. Cantik dan muda hanyalah salah satu pintu untuk memasuki tujuan yang lebih agung. Pintu itu sah adanya dan orang boleh memasukinya. Namun sekali lagi, ia tetaplah pintu, bukan isi rumah sesungguhnya.”
“Ngomong-ngomong, kenapa Bapak meminta saya tidak berpoligami jika memang tujuan poligami seperti itu?”
“Karena Bapak tahu, putri Bapak belum mampu melepas selubung ego kepemilikan dari hatinya. Dan kau pun belum cukup kuat untuk memikul tanggung jawab yang besar dan bersikap adil jika berpoligami.”
“Lantas ibu sendiri bagaimana? Ibu kan juga mungkin sakit hati dipoligami oleh Bapak. Apa ibu sudah bisa membuang ego kepemilikannya?”
“Ibu sudah mengetahui betapa penting membuang ego kepemilikan di dalam hati. Sekarang ibu sedang menjalani langsung hal itu. Tentu tidak selamanya mulus. Masih ada hal-hal manusiawi yang terjadi. Istri-istri Nabi sendiri masih suka cemburu.”
“Jadi, saya boleh poligami tidak, Pak?”
“Belum saatnya, anakku. Poligami bukan datang dari keinginan pribadi yang diniatkan dari awal. Tapi lebih merupakan tuntutan keadaan. Ada misi sosial yang juga diemban. Sudahlah. Belajarlah lebih dulu.”