Sepi di hatiku, meski jalan raya masih ramai di depan rumah. Seperti hari kemarin, malam ini aku harus menjalani hidup sebagai “duda” dengan dua orang anak yang masih kecil. Sungguh, bukanlah hal yang mudah menjalaninya. Serasa separuh hidupku hilang saat aku harus berpisah dengan sang istri, meski hanya untuk sementara. Beberapa tahun terakhir ini, aku memang sering hidup terpisah dengan istriku. Ada saja cara Sang Pencipta untuk menguji kesetiaanku terhadap ibu dari kedua anakku itu.
“Untuk mengetahui kekuatan seseorang dalam menjalani hidup, bukanlah dengan cara meringankan beban hidupnya, tapi justru dengan menambah beban hidupnya.” Demikian kata pamanku yang juga santri di Pengajian Padhang Bulan yang dikomandani Emha Ainun Nadjib. Kata-kata itu betul tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Oleh Sang Pemilik Hidup, aku sedang diuji seberapa besar kekuatanku dalam menjalani hidup ini.
Menjalani hidup ini berarti pula mencoba mengurai makna di balik berbagai peristiwa yang dialami sendiri maupun oleh orang lain. Kita hanya akan tersudut di pojok gelisah saat terus saja melontarkan protes dan keluhan terhadap nasib dan Tuhan. Protes dan keluhan tak akan membalikkan keadaan menjadi lebih baik. Justru yang terjadi seringkali sebaliknya: bertambah runyam.
Kini aku menjalani hari-hari sendiri tanpa istri. Mengasuh kedua anak yang masih kecil sembari tetap harus bekerja. Bagi sebagian lelaki, memandikan dan menyuapi makan anak adalah suatu hal yang sangat menyebalkan. Hal itu seolah mencabik-cabik kehormatan sebagai lelaki. Semakin menegaskan bagi sang lelaki adalah anggota yang baik dari ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Haks!
Sementara istriku sendiri sedang merawat ibu kandungnya yang sedang sakit. Ada jatah piket di antara keluarga untuk bergantian merawat sang ibu. Sebelum ayah mertua meninggal setahun silam, aku juga harus merelakan istriku merawat sang ayah berbulan-bulan. Tampaknya, aku juga harus mengalami sendiri betapa repotnya sendirian mengasuh dua orang anak kecil. Sebelumnya, selama dua tahun, aku memang hidup terpisah dengan istri karena harus mengais sesuap nasi di Jakarta.
Idealnya, pernikahan memang dijalani dengan kebersamaan. Suami dan istri tinggal serumah dan tidak hidup saling berpisahan. Dengan demikian, senang dan susah betul dihadapi bersama. Masalah demi masalah bisa dipecahkan bersama. Hal itu pula salah satu tujuan utama menikah, agar bisa hidup bersama. Hanya akan mengundang godaan jika pernikahan dijalani dengan hidup terpisah. Kedua belah, suami-istri, tidak bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Anak-anak pun kekurangan kasih orang tuanya.
Menikah berarti menjalani hidup bersama dengan pasangan masing-masing. Kebersamaan dalam arti hidup serumah merupakan tuntutan pernikahan yang mestinya dipenuhi. Pernikahan yang dijalani dengan hidup saling terpisah dengan pasangan adalah hal yang riskan. Banyak godaan akan bermunculan saat hidup saling berpisah. Di daerahku, ada istilah duda Arab, untuk merujuk kepada para suami yang ditinggal istri pergi jadi TKW di Timur Tengah. Saat menjadi duda Arab itulah, mereka pun berselingkuh ria, bahkan menikah lagi. Saat sang istri datang dengan segumpal rindu, betapa terkejutnya ketika ia mengetahui sang suami sudah menikah lagi, dan uang hasil kerja membanting tulang di negeri orang, telah ludes untuk wanita lain. Sungguh, ironis!
Karena itulah, kalaupun toh kita harus hidup terpisah dengan pasangan, keikhlasan harus dipatri dalam jiwa bahwa semua yang dilakukan demi pengabdian kepada-Nya, Sang Pemilik Hidup. Dia Yang Maha Pemurah pasti membalas perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus. Kebaikan yang dilakukan dengan cara baik dan tujuan baik pasti melahirkan kebaikan pula. Kebaikan itu melahirkan kebahagiaan di dalam jiwa. Itulah balasan dari-Nya yang menciptakan segala yang ada di alam semesta. Hanya saja kita sering menutup mata dan hati dari balasan yang Ia berikan kepada kita.
Mengasuh anak kecil yang belum bisa mandi dan makan sendiri, tentu sesuatu yang berat jika hati tidak ditata dengan baik. Mengasuh dan memelihara anak adalah kewajiban orang tua yang mesti dilakukan dengan ikhlas. Jika tak ikhlas, sungguh hal itu merupakan kewajiban yang menyebalkan dan menyita waktu, emosi, dan pikiran. Keikhlasan adalah mekanisme jiwa untuk menyelamatkan diri dari depresi di tengah berbagai masalah dan beban hidup yang datang silih berganti
Jadi, jalani saja hidup. Hadapi saja dengan senyum. Dunia tak akan runtuh hanya karena saat ini pasangan kita tidak berada di samping kita.
Weh, ada terkesan nada curhatan di tulisan ini, Mas? He-he-he.
Tidak-tidak. Tetap ada banyak hal yang dapat dipetik sebagai refleksi diri pada tulisan ini.
Aku rasa, memandikan dan menyuapi makan anak sembari tetap bekerja bukanlah sesuatu yang menyebalkan bagi seorang laki-laki, Mas. Sama sekali tidak mencabik-cabik kehormatan sebagai lelaki. Justru dari sana laki-laki bisa ikut merasakan betapa besarnya peran seorang istri. Sehingga kita bisa lebih menghargainya.
Dan aku suka sekali kalimat ini:
“Untuk mengetahui kekuatan seseorang dalam menjalani hidup, bukanlah dengan cara meringankan beban hidupnya, tapi justru dengan menambah beban hidupnya.”
Selamat menjadi “duda”, Mas.
Lho?! :p
Memang kehidupan penuh dengan cobaan. Banyak kenyataan tak seperti yang kita harapkan, jgn sedih mungkin Allah SWT punya rahasia lain di balik peristiwa (cobaan). Yg sabar saja.
Wah salut Pak
Bapak mampu melakukan yang terbaik dalam setiap keadaan
Kau teramat tangguh
menjadi single parent, apalagi bagi seorang lelaki (tanpa bermaksud bias gender) memang bukan hal yang mudah, mas rache. tapi, ini justru bisa menjadi sarana pembelajaran yang baik dalam kehidupan berumah tangga *maaf kalau sok tahu, hiks* dengan cara seperti ini secara tidak langsung, mas rache kan bisa ikut berempati dan merasakan bagaimana repotnya mengurus rumah, anak2, dan juga pekerjaan. malah bisa membuat kehidupan rumah tangga makin harmonis, kan? mudah2an saja sang istri segera menyatu kembali bersama mas rache dan anak2, dan sang ibu mertua bisa segera sembuh dan sehat, amiin.
semoga kuat mas
tawakal
hehehe
bercanda
byme
aku setuju dengan apa yang di sampaikan paman anda itu mas… sangat mengena buat saya sendiri juga !!! 😀
satu pembelajaran dari sebuah tulisan ini agar senantiasa saya juga menghargai istri hahaha
untuk belajar menghargai istri memang kadang harus melalui proses seperti ini
tapi mudah mudahan menjadi duda hanya sementara sekali pak
semoga lekas sembuh dan istri segera kembali bersama
Semoga itu ada hikmah dan kita tetap baik sangka terhadap semuanya, amin, iya ramai kemaren acaranya di banjar tuh, salam kenal…
Waduhh mas..lha saya ini nyaris sepanjang perkawinan, banyak berpisahnya…suami kerja di Bandung dan saya di Jakarta.
Bahkan saat anak-anak kecil, pekerjaan saya mengharuskan banyak turne ke luar kota, membuat anak-anak yang masih kecil ditinggal hanya dengan sang ayah. Dan anak-anak sering diajak ke kantor ayahnya, bahkan saat vaksinasi juga ayahnya yang membawanya ke dokter. Dan kebetulan, sang dokter anak, istrinya juga dokter ahli THT, jadi beliau memahami kondisi keluarga muda yang keduanya bekerja.
Syukurlah saya tinggal di kompleks rumah dinas, yang anak-anaknya banyak seumur, si mbak (yang momong) juga punya teman banyak…bahkan kalau ada dadakan dipanggil rapat Direksi, bisa saling menitip membawa anaknya ke dokter.
Buat orang lain akan aneh, tapi kalau antara suami isteri saling mencintai, dan mendukung karir masing-masing, hal tsb tak masalah. Dan pernikahanku telah melewati 28 tahun, dengan dua anak dewasa. Semoga mas juga bisa saling menyesuaikan, percayalah isteri akan berterima kasih pada suami yang mendukungnya, dan akan lebih mencintai suami dan berusaha membuat rumah tangganya bahagia.
“Untuk mengetahui kekuatan seseorang dalam menjalani hidup, bukanlah dengan cara meringankan beban hidupnya, tapi justru dengan menambah beban hidupnya.”
kata-kata itu sedikit mengingatkan aku pada salah satu buku yang pernah aku baca, yang intinya kira-kira, “Ketika Allah menginginkan hamba-Nya menjadi seorang penyabar, maka Allah akan selalu memberikannya cobaan yang tak pernah henti, hujaman masalah yang tak pernah putus, ribuan problem yang datang silih berganti”. Itulah kiranya ada gelar Ulul Azmi pada diri Nabi karena kesabarannya dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
Berfikir filosofi, akan menemukan hikmah yang Allah maksudkan, sadarilah bahwa setiap kejadian, sebenarnya Allah sedangkan mengajarkan kita ilmu yang tidak diajarkan orang, semoga kita selalu bisa belajar untuk memaknai hidup,amiin…
jika ikhlas, maka sesuatunya akan jadi amal ibadah pak….saya yakin bapak adalah suami yang baik…dimanapun dan kapanpun bisa bekerja sama dengan istri…..jadi laki-laki seimbang adalah pahala pak..hehehee
dq bisa merasakan apa yg sedang mas rasakan
dan hal itu bukanlah hal yg sederhana
untuk itu..dq mendoakan, agar mas bisa sabar dan ikhlas dalam menghadapi hal ini..
ternyata, betapa besar arti dan keberadaan dari seorang istri!
Setuju bang.
Apapun permasalahannya, pada dasarnya adalah keikhlasan. Karena, saat rasa ikhlas sudah datang, Insya Allah kita bisa nerima dalam menjalani hidup.
Jadi, jalani saja hidup. Hadapi saja dengan senyum. Dunia tak akan runtuh hanya karena saat ini pasangan kita tidak berada di samping kita. => begitu ya bang….. kayaklagune ahmad dani, iklas… dan tersenyum… hati kita akan jadi lapang :d
Saurang gen lagi duda sementara nah….istri sedang prajabatan di bjb. Paksa taung duapuluh satu hari
ah, mas racheedus keren deh. itu baru namanya suami yang betul-betul paham cara menghormati pasangan. gak omong doang, tapi mempraktikkan.
keikhlasan memang sangat diperlukan agar kedua pihak merasa lapang dan ringan dengan ujian yang diberikan. apalagi alasan istri meninggalkan mas racheedus menduda adalah demi berbakti pada orang tua (walaupun kewajiban sesungguhnya saat ini adalah kepada suami sebagai imamnya). maka dengan keikhlasan, semua bisa kebagian berkah. *iya, iya, saya sotoy banget*
saya doakan sang duda segera dipertemukan dengan kekasih hati kembali dalam keadaan sehat walafiat.
klo aku masih nikmati jadi lajang… hehehe
yang sabar ya Kang 🙂
mantap pak, anda begitu serius mengelola blog ini.. selamat.