Dalam mazhab Syafi’i, setiap perempuan yang akan menikah harus memiliki wali nikah, baik wali nasab maupun wali hakim. Namun keharusan memiliki wali tidak berlaku untuk pengantin lelaki. Kekhususan ini bukan merupakan bentuk diskriminasi gender dalam hukum Islam. Tetapi lebih merupakan bentuk perlindungan terhadap perempuan. Betapapun, menikah merupakan keputusan besar dalam hidup seorang perempuan. Saat keputusan menikah itu diambil, saat itu pula sang wali juga memiliki tanggung jawab agar keputusan itu diambil dengan pertimbangan yang matang dan bijaksana.
Salah Satu Rukun Pernikahan
Dalam mazhab Syafi’i, wali nikah merupakan salah satu rukun pernikahan. Karena itulah, pernikahan yang tidak ada walinya atau bukan wali yang sah, mengakibatkan pernikahan menjadi tidak sah. Pernikahan yang tidak sah sama saja dengan tidak terjadi pernikahan. Jika tidak ada ikatan pernikahan, maka hubungan seksual antara dua orang berlainan jenis sama saja dengan perbuatan zina. Sedangkan zina adalah perbuatan haram yang termasuk dosa besar.
Pandangan mazhab Syafi’i inilah yang kemudian dipilih untuk masuk dalam regulasi perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hal ini termaktub pada Pasal 14 huruf c dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Pemilihan mazhab Syafi’i ini juga sesuai dengan kondisi masyarakat Islam di Indonesia yang mayoritas menganut mazhab Syafi’i.
Baca juga Wali Muhakkam dalam Perkawinan
Pernikahan Bukan hanya antar Calon Suami dan Calon Istri
Pernikahan tidak hanya terkait dengan ikatan hukum antara seorang lelaki yang berstatus sebagai suami dan seorang perempuan yang berstatus sebagai istri. Lebih dari itu, pernikahan juga terkait dengan hubungan antara dua keluarga, yaitu keluarga pihak suami dan keluarga pihak istri. Dengan kata lain, pernikahan juga berarti mengikat tali persaudaraan antara dua buah keluarga besar dari masing-masing mempelai.
Dengan adanya wali, secara tidak langsung berarti bahwa pernikahan harus melibatkan keluarga masing-masing. Wali merupakan representasi keluarga besar dari pihak perempuan yang selama ini bertanggung jawab terhadap kehidupan si mempelai perempuan, terutama jika ia masih dalam usia muda dan baru pertama kali menikah. Dengan adanya wali, kita diajarkan bahwa pernikahan juga terkait dengan penerimaan dan persetujuan dari keluarga besar masing-masing. Meskipun pada kasus-kasus tertentu, pernikahan tetap bisa dilaksanakan meskipun tanpa disetujui oleh wali.
Merekatkan Tali Silaturahmi
Islam sangat menjunjung tinggi hubungan keluarga. Bahkan memutuskan hubungan keluarga adalah salah satu dosa besar. Dalam hal sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi Muhammad bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi.” Di sisi lain, Nabi juga mengajarkan bahwa senantiasa memelihara hubungan tali silaturahmi akan menjadi pembuka pintu rezeki dan membuat panjang umur.
Saat perempuan hendak menikah, mau tidak mau ia harus mencari wali nikahnya. Jika selama ini sang wali jarang atau bahkan tidak pernah bertemu dengan si calon pengantin perempuan, maka di momen pernikahan inilah pertemuan itu menjadi ajang untuk merekatkan kembali tali silaturahmi yang selama ini putus. Pada kasus orang tuanya yang bercerai, sang anak perempuan tetap harus menghadirkan sang ayah kandung untuk bertindak sebagai wali. Meskipun selama ini, sang ibu telah hidup berpisah dengan sang ayah. Meskipun selama ini sang ayah tidak memberikan perhatian dan nafkah kepada sang anak perempuannya.
Dengan momen pernikahan ini, sang anak perempuan diajarkan untuk menerima apapun keadaannya sang ayah. Meskipun selama ini mungkin sang ayah telah bertindak zalim kepada ibunya, ia tetaplah ayah kandungnya yang berhak untuk menjadi wali. Meskipun selama ini sang ayah tidak pernah memberi nafkah kepada dirinya sebagai anak. Hubungan darah seorang anak dan ayahnya tidak hilang meski sang ayah sudah bercerai dan ibunya.
Dengan adanya hukum wali, anak perempuan diajarkan untuk menghilangkan dendam kepada sang ayah yang selama ini tidak pernah memperhatikan dirinya. Di sisi lain, sang ayah yang bertindak sebagai wali seolah ditegur langsung oleh Allah. Perbuatannya selama ini yang telah melalaikan kewajiban sebagai ayah merupakan tindakan yang tidak terpuji dan memberikan contoh yang buruk bagi anaknya. Sementara bagi orang lain, hal ini juga mengajarkan bahwa perceraian dan permusuhan pasti menimbulkan efek buruk bagi banyak orang.
Penghargaan dan Etika terhadap Orang Tua
Pernikahan bagi seorang wali, terutama ayah kandung terhadap anak perempuannya yang belum pernah menikah, merupakan sebuah momentum yang sangat mengharukan. Dengan adanya wali, seorang anak perempuan belajar untuk menghargai keberadaan sang ayah yang selama ini menjadi pelindung dirinya. Saat itulah, seorang ayah yang bertindak wali menjadi begitu terhormat di mata sang anak. Hal itu karena saat itulah, sang anak memohon kepada dirinya untuk hidup bersama dengan lelaki lain yang ia cintai selain ayahnya. Sang anak perempuan memilih untuk meninggalkan sang ayah yang selama ini telah mendidik dan mengasuhnya.
Tanggung Jawab Orang Tua
Adanya wali nikah merupakan bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Sang ayah menunjukkan bahwa ia telah berhasil mengantarkan anak perempuannya itu hingga di usia dewasa dan siap untuk hidup bersama lelaki lain yang akan menjadi suaminya. Menjadi wali berarti bentuk tanggung jawab terakhir seorang ayah setelah sekian lama mendidik anak perempuannya. Kini saatnya ia harus merelakan anak perempuannya berpisah dengan dirinya, dan hidup mandiri bersama lelaki lain yang ia cintai. Menjadi wali berarti belajar ikhlas bagi seorang ayah untuk melepaskan kepergian anak perempuannya untuk hidup dengan lelaki lain.
Tanggung Jawab Negara
Dalam kasus tertentu, ada seorang perempuan yang tidak jelas asal-usulnya. Dalam hal ini, negara bertanggung jawab untuk menjadi wali nikah, yaitu sebagai wali hakim atas dirinya. Keberadaan wali hakim menjadi representasi negara untuk hadir ketika seorang perempuan memerlukan kepastian hukum tentang siapa orang tua dan siapa walinya. Di samping itu, wali hakim juga berfungsi sebagai alat negara untuk memutus perselisihan atau potensi perselisihan jika terjadi wali nasab yang tidak setuju dengan pernikahan anak perempuan.