Kontroversi Syarat Kepemimpinan dalam Islam
1. Pendahuluan
Beberapa waktu lalu, bursa calon presiden dan wakil presiden kembali marak diperbincangkan di media massa nasional. Padahal pemilihan presiden masih sekitar setahun lagi. Hal itu dipicu oleh pencalonan kembali Megawati Soekarnoputri yang notabene pernah menjabat presiden. Megawati diusung kembali oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai calon presiden dari partai berlambang benteng moncong putih itu dalam Rakernas II dan Rakornas PDIP yang berakhir tanggal 10 September 2007.[1]
Seolah tidak mau kalah dengan mantan koleganya itu, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun menyatakan bersedia untuk diusung kembali sebagai calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal sebelumnya, sebagaimana diketahui, Gus Dur juga pernah menjabat presiden dan kemudian di-impeachment oleh MPR. Tidak cukup dengan hal itu, pencalonan Gus Dur kembali pada Pilpres 2003 lalu juga ditolak mentah-mentah oleh Komisi Pemilihan Umum karena kondisi beliau yang tunanetra sehingga tidak memenuhi syarat kesehatan.
Pada waktu Pilpres 2003 silam, penolakan KPU atas pencalonan Gus Dur tersebut tak ayal berimplikasi pada resistensi dari kubu PKB yang mengusungnya. Bahkan resistensi itu dimanifestasikan dengan kegiatan mogok makan oleh para pendukungnya. Tak hanya dengan mogok makan, kubu Gus Dur juga dengan intensif memublikasikan pandangan mereka melalui berbagai media massa. Dalam iklan masyarakat yang dipublikasikan beberapa media massa nasional tersebut, dinyatakan bahwa pencalonan seorang adalah hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Dengan demikian, penolakan oleh KPU tersebut dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak asasi seorang yang harus dilawan. Apalagi di berbagai belahan dunia, ada juga beberapa pemimpin yang tetap bisa memimpin masyarakatnya meski memiliki keterbatasan fisik.
Setelah gagal mencalonkan diri untuk Pilpres 2003 itulah, kini justru Gus Dur menyatakan bersedia untuk dicalonkan kembali sebagai presiden. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan polemik di kalangan umat Islam. Apakah seorang yang cacat jasmani boleh menjadi seorang pemimpin? Hal inilah yang dicoba untuk diulas kembali dalam makalah ini. Tentu saja ulasan yang diketengahkan dalam perspektif Islam di samping juga sedikit perbandingan dengan teori-teori politik modern.
2. Syarat Pemimpin dalam Islam
Kekuasaan memang menggiurkan banyak orang. Banyak orang berupaya sekuat tenaga dengan mengerahkan berbagai daya upaya untuk menjadi penguasa. Tetapi, kekuasaan, sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun, mempunyai watak otoriter dengan kecenderungan untuk menjadi penguasa tunggal. Di samping itu, watak kekuasaan juga cenderung menimbulkan kemewahan.[2] Karena adanya berbagai bahaya itulah, maka menurut al-Ghazali dalam memilih penguasa haruslah diutamakan seorang yang betul-betul terbaik dan paling faqih.[3]
Sebagai sebuah agama yang tidak mengenal distingsi antara yang profan (duniawi) dan yang transendental (ukhrawi), Islam pun mengatur masalah politik dan kekuasaan. Dan pada perjalanan sejarahnya, teori politik yang pertama kali muncul dalam Islam –sebagaimana yang ditegaskan Harun Nasution– adalah tentang jabatan kepala negara.[4] Terkait dengan jabatan kepala negara itu pula, Ibnu Taimiyyah bahkan menyatakan bahwa menegakkan kekuasaan adalah salah satu kewajiban agama yang penting. Hal itu karena agama juga bisa tegak dengan adanya kekuasaan. Di samping itu, kepentingan umum masyarakat tidak akan terwujud sempurna tanpa adanya sebuah organisasi yang mengaturnya. Dan sebuah organisasi itu tentu memerlukan seorang pemimpin.[5]
Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tenteram.[6] Hal inilah yang membuat Islam tidak menerima pandangan Vilfredo Pareto, ahli politik Italia, yang menyatakan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan politik hanya sekedar persoalan siapakah yang berkuasa.[7]
Di samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertakwa dapat melaksanakan kepemimpinannya? Karena dalam terminologinya, takwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa berarti taat dan patuh serta takut melanggar/mengingkari dari segala bentuk perintah Allah.
Sebagai kitab suci agama Islam yang mengandung perintah dan aturan dari Allah, Alquran juga menyinggung masalah kepemimpinan. Dalam kisah pengangkatan Thalut sebagai raja untuk berperang melawan Jalut yang direkam oleh Alquran,[8] segelintir masyarakat menolak Thalut untuk menjadi raja mereka karena dianggap bukanlah dari kalangan orang kaya. Namun Thalut memang layak menjadi pemimpin karena ia dianugerahi Tuhan kelebihan ilmu pengetahuan dan jasmani. Pada akhirnya, memang Thalut pantas menjadi pemimpin karena ia berhasil mengalahkan pihak agresor yang dipimpin oleh Jalut Dari sinyalemen Alquran tersebut, kita bisa menilai bahwa faktor ilmu pengetahuan dan jasmani merupakan dua hal yang penting dalam memilih seorang pemimpin yang baik.
Sedangkan dalam khazanah yurisprudensi Islam klasik, Al-Mawardi merupakan salah satu tokoh penting dalam merumuskan teori dan konsep yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan menurut Islam. Pada masterpiece-nya yang bertitel Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) dibentuk untuk tujuan menjaga agama dan mengatur persoalan dunia. Karena itulah, bagi al-Mawardi membentuk sebuah pemerintahan merupakan sesuatu yang wajib fardlu kifayah secara syara’ dan tidak hanya secara rasional.[9]
Pada proses pemilihan seorang imam, jika belum ada seorang pemimpin, maka dibentuk terlebih dahulu dewan pemilihan (ahl al-ikhtiyar/ahlul aqdi wal halli) dan ditentukan para kandidat pemimpin. Orang-orang yang menjabat dalam dewan pemilihan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
a. Adil yang mencakup segala aspeknya;
b. Memiliki ilmu pengetahuan yang bisa dipergunakan untuk mengetahui siapa yang betul-betul berhak untuk menjabat sebagai pemimpin sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan;
c. Memiliki pandangan yang luas dan kebijaksanaan agar betul-betul bisa memiliki siapa yang paling layak untuk menjabat sebagai pemimpin, yang paling memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengatur kemaslahatan umat. Karena itulah, pemimpin yang baik adalah seorang warga negara setempat yang betul-betul mengenal karakter dan kondisi negaranya.[10]
Sedangkan kandidat pemimpin, menurut al-Mawardi, harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu:[11]
a. Adil yang meliputi segala aspeknya.
b. Berilmu pengetahuan sehingga mampu membuat keputusan yang tepat (berijtihad) terhadap berbagai peristiwa dan hukum yang timbul.
c. Sehat indranya, seperti penglihatan, pendengaran, dan lisannya agar ia mampu mengetahui langsung persoalan yang dihadapi.
d. Anggota tubuhnya normal dan tidak cacat. Karena jika cacat, hal itu akan menghalanginya untuk bergerak dan bertindak dengan cepat.
e. Memiliki kecerdasan yang membuatnya mampu mengatur rakyat dan mengelola kepentingan publik (al-mashlahah).
f. Keberanian dan ketegasan sehingga mampu melindungi pihak yang lemah dan menghadapi musuh.
g. Keturunan dari suku Quraisy, berdasarkan hadis Para pemimpin berasal dari Quraisy.[12]
Selain al-Mawardi, Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah:[13]
a. Pengetahuan
Seorang pemimpin atau imam akan dapat menerapkan hukum-hukum Tuhan jika ia memang menguasai hukum-hukum tersebut. Jika tidak memiliki pengetahuan, maka bagaimana mungkin seorang pemimpin mampu memberikan keputusan atau kebijakan yang tepat bagi rakyatnya? Sementara jika seorang pemimpin hanya bisa taqlid buta, misalnya dengan hanya mengandalkan staf ahli kepresidenan, maka hal itu pun merupakan kekurangan. Karena ia berarti tidak sepenuhnya bebas mengambil keputusan. Ia kemungkinan bisa mendapat intervensi dari para stafnya.
b. Keadilan
Adalah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil. Seorang pemimpin yang menjadi kepala negara misalnya, tentu memiliki berbagai lembaga yang menjadi bawahannya. Lembaga-lembaga itu pun tentu harus dipimpin oleh orang yang adil. Dengan demikian, seorang kepala negara harus mengawasi berbagai lembaga tersebut agar berjalan dengan baik dan keadilan diterapkan. Bagaimana seorang kepala negara bisa melakukan tindakan pengawasan jika ia sendiri bersikap tidak adil?!
c. Kesanggupan (capability)
Seorang pemimpin (imam) mesti bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang. Ia juga berani berperang, mengerti cara berperang, sanggup memobilisasi rakyat untuk berperang. Ia sanggup menggalang solidaritas sosial (ashabiyyah) dan mampu berdiplomasi. Kesanggupan itu diperlukan agar fungsinya untuk melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur kepentingan umum tercapai dengan baik.
d. Sehat jasmani dan rohani
Panca indra dan anggota badan harus bebas dari cacat. Hal ini karena kesehatan jasmani dan rohani yang kurang akan berpengaruh pada kebebasan seorang pemimpin untuk bertindak. Ketidakbebasan seorang pemimpin tidak hanya karena faktor pada dirinya an sich. Namun hal itu juga bisa terjadi karena ditawan atau dipenjarakan oleh musuh yang berupaya merebut kekuasaannya. Jika hal tersebut terjadi, maka kepemimpinan beralih kepada pihak yang melakukan kudeta. Jika pihak yang melakukan kudeta bertindak adil dan sesuai dengan hukum dan aturan Islam, maka ia pun diakui sebagai pemimpin (imam) baru.
e. Keturunan Quraisy
Persyaratan ini memang tampak rasialis dan menjadi sulit diterima oleh masyarakat modern. Karena itulah, sebagaian ulama menolaknya, di antaranya Abu Bakar al-Baqillani. Meski demikian, Ibnu Khaldun tetap membelanya. Menurut beliau, pasti ada hikmah sehingga Nabi Muhammad sebagai syaari’ menyatakan hal tersebut. Setiap hukum syara’ pasti ada kemaslahatan umum yang menjadi tujuan di baliknya. Bagi Ibnu Khaldun, maksud dan tujuan itu adalah untuk melenyapkan perpecahan di tengah rakyat dengan adanya solidaritas dan superioritas kaum Quraisy. Menurut Ibnu Khaldun, orang Quraisy termasuk golongan suku Mudhar yang dianggap paling perkasa dan berwibawa serta merupakan cikal bakal dari suku-suku lain.
Terkait dengan kriteria atau syarat pemimpin, khalifah Abu Bakar Assiddiq ra pernah berpidato saat dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah Saw. Inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pandangan dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut diterjemahkan sebagai berikut:
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan salat. Semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.”[14]
Ada 7 poin yang dapat diambil dari inti pidato khalifah Abu Bakar ra ini, di antaranya:[15]
a. Sifat rendah hati
Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang di atas pundaknya terletak amanat besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang “partner” dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti “tuan dengan hambanya”. Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya egoisme mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
b. Sifat terbuka untuk dikritik
Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Karena bagaimanapun dalam Islam, penguasa tidak memiliki kekuasaan mutlak, karena kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata, dan hukum-Nyalah yang berkuasa.[16] Dengan demikian, seorang penguasa pun bisa salah. Tidak seyogianya penguasa menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya menzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai “mitra”dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat apapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Di sinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma Islam yang diterima secara utuh dari ajaran Nabi Muhammad Saw.
c. Sifat jujur dan memegang amanah
Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Jika pemimpin berkualifikasi demikian, maka upaya untuk menegakkan sebuah negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana yang dikehendaki oleh negara-negara demokratis modern kemungkinan besar bisa terwujud.[17]
d. Sifat berlaku adil
Sikap ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang esensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja. Dan orang yang “lemah” harus dibela hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang “kuat” dan bertindak zalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya. Adil yang dikehendaki Islam sebagaimana juga diuraikan Aristoteles, adalah adil yang mampu menghasilkan dan menyelamatkan kebahagiaan komunitas sosial dan politik.[18]
e. Komitmen dalam perjuangan.
Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah disepakati bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.
f. Bersikap demokratis.
Demokrasi merupakan “alat” untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini, pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dalam sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
g. Berbakti dan mengabdi kepada Allah.
Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah Allah. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridha Allah semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan shalat lima waktu contohnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan shalat yang baik dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar.[19] Sifat yang harus terus ia aktualisasikan adalah rela menerima apa yang dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya kembali untuk lebih maju lagi, sabar serta tawakal dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan, sabar dan tawakal saat menghadapi kegagalan.
Dari berbagai persyaratan yang diungkapkan para ulama di atas, kita menyadari bahwa memilih pemimpin bukan didasari oleh sikap pilih kasih, nepotisme atau kecenderungan primordial yang sempit. Bukan pula memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, ambisius dalam meraih kursi jabatan atau memiliki vested interest. Tapi hendaknya kepemimpinan diberikan kepada orang yang “ikhlas” dan dipercaya dalam mengemban amanah. Senantiasa memprioritaskan kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi, kelompok atau keluarga.
3. Syarat Seorang Pemimpin dalam Politik Modern
Dalam dunia politik modern, seorang pemimpin, khususnya kepala negara, dipilih oleh sebuah kegiatan pemilihan umum (pemilu). Namun dalam kasus kepala negara, ada juga beberapa negara modern yang tetap menggunakan sistem monarki, seperti Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Arab Saudi, Malaysia, dan lain-lain. Dengan demikian, pemilihan kepala negara bukan berdasarkan pemilihan umum oleh rakyat, tapi berdasarkan dinasti. Pada kasus negara yang berbentuk monarki tersebut, kepala negara dibedakan dengan kepala pemerintahan yang sering disebut dengan jabatan perdana menteri. Jabatan itulah yang kemudian diperoleh dengan cara pemilihan umum yang melibatkan rakyat banyak.
Di berbagai negara, konstitusi yang dimiliki pun berbeda-beda. Persyaratan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan itu diatur dalam konstitusi masing-masing. Dalam kasus Indonesia sendiri, persyaratan sebagai presiden yang notabene merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan telah terdapat perubahan sejak terjadi amandemen Undang-undang Dasar 1945. Jika sebelum ada amandemen tidak ada persyaratan kesehatan, maka setelah terjadi amandemen terdapat persyaratan kesehatan tersebut. Persyaratan inilah yang dianggap menjegal kesempatan Gus Dur untuk menjadi presiden yang kedua kali.
Sejak ada amandemen UUD 1945 pula, tata cara pemilihan presiden di Indonesia ikut berubah. Sebelumnya, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Kini setelah amandemen terjadi, MPR bukanlah lembaga tertinggi negara, namun “turun kasta” menjadi lembaga tinggi negara serta tidak lagi berhak untuk memilih. Selanjutnya, pemilihan presiden langsung dilakukan oleh rakyat. Karena dipilih langsung oleh tangan rakyat langsung, maka presiden pun lebih memiliki ikatan moral kepada rakyat yang memilihnya. Posisi presiden lebih kuat secara politik karena bertanggung jawab langsung kepada rakyat, dan tidak bisa dijatuhkan oleh MPR atau DPR seperti yang terjadi pada kasus Presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Pada proses pemilihan presiden di Indonesia saat ini, terdapat Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebuah lembaga yang bertugas menyeleksi calon-calon presiden sebelum secara resmi bertarung dalam pemilihan umum. Salah satu poin persyaratan yang sempat diwacanakan adalah bahwa calon presiden minimal berpendidikan Strata 1. Hal ini pun menjadi banyak ditentang karena dianggap pendidikan S1 bukanlah jaminan seseorang memiliki kualitas pemimpin yang baik. Apalagi calon yang ada, seperti Megawati dan Gus Dur bukanlah orang yang berpendidikan S1. Tak ayal, wacana itu pun akhirnya hanya berhenti sebagai wacana belaka. Syarat minimal pendidikan yang berlaku akhirnya kembali lagi kepada jenjang SLTA saja.
4. Penutup
Tampaknya kompetensi dan visi kerakyatan bisa dimasukkan dalam kategori persyaratan maksimal (al-hadd al-a’la) seorang kepala negara. Seorang kepala negara sejatinya harus membuat kontrak sosial (‘aqdun ijtima’iyyun) yang jelas dengan rakyat, sehingga tatkala menjadi pemimpin betul-betul mewakili dan membawa aspirasi rakyat untuk kemaslahatan bersama. Seorang pemimpin tak boleh melihat rakyat seperti “sapi perahan” dan “binatang gembala”, melainkan sebagai pihak yang harus dilindungi dan diprioritaskan di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Untuk itu, persyaratan kompetensi dan keberpihakan pada kepentingan rakyat jauh lebih penting daripada kesehatan fisik.[20]
Sedangkan kesehatan fisik menjadi persyaratan minimal (al-hadd al-adna), terutama dalam rangka menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk dari ketidaksempurnaan fisik (panca indera). Di sini, tentu saja pemimpin yang sempurna secara fisik akan mempunyai nilai lebih bila dibandingkan pemimpin yang tidak sempurna secara fisik. Dengan demikian, persyaratan yang direkomendasikan fikih adalah seorang pemimpin yang sempurna secara leadership, adil dan mempunyai visi kerakyatan, serta akan afdhal bila sempurna secara fisik.[21]
Sementara persyaratan sebagai keturunan Quraisy tampaknya harus dikaji kembali. Hadis Nabi yang menyatakan demikian harus dipahami dalam konteks ruang dan waktu saat itu. Pada saat Nabi Muhammad hidup, suku Quraisy memang suku yang paling terhormat, berwibawa, dan disegani sebagaimana dinyatakan Ibnu Khaldun di atas. Dengan demikian, adalah wajar dan cocok jika saat itu Nabi Muhammad menganjurkan untuk memilih pemimpin dari golongan Quraisy.
Namun, persyaratan tersebut tentu saja tidak bisa diterapkan secara apa adanya untuk pada setiap tempat dan setiap waktu. Tentu adalah suatu hal sulit jika harus selalu mencari seorang keturunan Quraisy untuk menjadi pemimpin padahal kita tidak berada di jazirah Arab. Dengan demikian, kita bisa memahami secara substansial dari hadis tersebut bahwa Nabi menghendaki seorang pemimpin adalah berasal dari golongan yang paling berpengaruh dan disegani di antara golongan-golongan yang lain. Jika di sebuah masyarakat, golongan yang paling berpengaruh adalah suku Sunda, misalnya, maka tentu ia lebih baik dipilih daripada yang lain. Tapi, tentu saja tanpa melupakan persyaratan-persyaratan lain yang telah diuraikan di atas. Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut: Darul Ma’rifah, tt).
Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah al-Harani, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Musnad an-Nasa’i al-Kubra, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1991)
Aristoteles. Nicomachean Ethics, Sebuah “Kitab Suci” Etika, terj. Embun Kenyowati, (Bandung: Mizan, 2004).
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001).
Ibnu Hibban. Sirah Ibnu Hibban.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah.
Maktabah Syamilah. versi 2.09. (Program Komputer: Perpustakaan Digital)
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982).
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993).
Veeger, K.J. Realitas Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1990).
www. kompas.co.id.
[1] www. kompas.co.id edisi 11 September 2007.
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 83 dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut: Darul Ma’rifah, tt), juz I, hal. 173-174.
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001), vol. 1, hal. 97.
[5] Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah al-Harani, as-Siyasah asy-Syar’iyyah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), hal. 217.
[6] Mukhlis Zamzami Can, “Profil Pemimpin Islam”, dalam www.eramuslim.com
[7] K.J. Veeger, Realitas Sosial, (Jakarta: Gramedia, 1990), hal. 82.
[8] Lihat QS. Al-Baqarah: 246-250
[9] Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi (al-Mawardi), al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3 dalam www.al-islam.com.
[10] Ibid., hal. 4.
[11] Ibid., hal. 5.
[12] H.R. Nasa’i, Ahmad, Hakim, Baihaqi, Thabrani, dan Abu Ya’la. Lihat misalnya, hadis riwayat Nasai no. 5942 pada Ahmad bin Syu’aib Abu Abdurrahman an-Nasa’i, Musnad an-Nasa’i al-Kubra, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1991), juz 3, hal. 467. Redaksinya hadis sebagai berikut:
الأئمة من قريش إن لهم عليكم حقا ولكم عليهم حقا أما إن استرحموا رحموا وإن عاهدوا وفوا وإن حكموا عدلوا فمن لم يفعل ذلك منهم فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين
[13] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, op. cit., hal. 98-100.
[14] Ibnu Hibban, Sirah Ibnu Hibban, hal. 419 dalam program kitab digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[15] Mukhlis Zamzami Can, op. cit.
[16] Hakim Jabid Iqbal, “Konsep Negara Islam” dalam Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-masalah Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 59.
[17] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 59.
[18]Aristoteles, Nicomachean Ethics, Sebuah “Kitab Suci” Etika, terj. Embun Kenyowati, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 113.
[19] Lihat Q.S.Al Ankabut: 45.
[20] Zuhairi Misrawi, “Kriteria Pemimpin dalam Perspektif Fikih”, dalam www.islam-lib.com.
[21] Ibid.
indonesia saat ini sudah termasuk dalam kepemimpinan islam atau belum yaaaah? dan sosok yang bagaiman yang cocok bagi pemimpin indonesia??? afwan yaaa, tolong dikasih komentar!!!!
I like this web site very much so much superb information. “Probably the most distinctive characteristic of the successful politician is selective cowardice.” by Richard Harris.
I was recommended this web site by my cousin. I’m not sure whether this post is written by him as nobody else know such detailed about my difficulty. You’re amazing! Thanks!
jazakalloh khair dah bantuin pembuatan makalah qu……..
There is so much known about these wrestling icons at
discounted prices and feel like a football game; you have World Wrestling Federation.
They were the perfect example to the different characters.
Plus War Zone introduced one of them? The early settlers
took pride in wrestling, the tradition that
they brought that style into this year’s edition of the family.
Mencari pemimpin memang harus mewakili dan membawa aspirasi rakyat untuk kemaslahatan bersama. Jika tidak akan hancur bangsa yang dipimpinnya. Semoga negeri ini suatu saat mendapatkan seorang pemimpin yang Amanah.