Ekspansi Islam ke Luar Jazirah Arab

Technorati Tags:

A.    PENDAHULUAN

Islam menjadi agama yang sangat fenomenal ketika dalam waktu relatif singkat sejak kelahirannya mampu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Hal inilah pula yang membuat tertarik Michael H. Hart untuk meneliti Nabi Muhammad sebagai seorang nabi pembawa agama Islam sehingga menempatkan beliau sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh di dunia.[1]

Namun di balik keberhasilannya tersebut, tak urung muncul pula tudingan bahwa Islam bisa menyebar sedemikian rupa karena disebarkan lewat jalan kekerasan atau –dalam bahasa konotatif lewat– pedang. Namun apakah memang begitu faktanya? Inilah salah satu hal yang juga ingin dikupas dalam makalah ini.   

 

B.     PERLUASAN ISLAM KE LUAR JAZIRAH ARAB

1.      Di mana Jazirah Arab?

Semenanjung atau jazirah adalah formasi geografis yang terdiri atas pemanjangan daratan dari badan daratan yang lebih besar (misalnya pulau atau benua) yang dikelilingi oleh air pada 3 sisinya. Secara umum, semenanjung adalah tanjung yang (sangat) luas. Sedangkan tanjung sendiri adalah daratan yang menjorok ke laut, atau daratan yang dikelilingi oleh laut di ketiga sisinya.[2]

Jazirah Arab adalah sebuah jazirah (semenanjung besar) di Asia Barat Daya pada persimpangan Afrika dan Asia. Perbatasan pesisir jazirah ini ialah: di barat daya Laut Merah dan Teluk Aqabah; di tenggara Laut Arab; dan di timur laut Teluk Oman dan Teluk Persia. Secara politik, Jazirah Arab terdiri dari negara  Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain. Sedangkan secara geologi, daerah ini lebih tepat disebut Anak Benua Arab sebab memiliki plat tektonik tersendiri, Plat Arab.[3]

Negara Arab Saudi meliputi hampir seluruh Jazirah Arab. Kebanyakan penduduk jazirah ini tinggal di Arab Saudi dan Yaman. Jazirah ini mengandung sejumlah besar minyak bumi dan merupakan tempat kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, keduanya di Arab Saudi. Uni Emirat Arab dan Qatar merupakan tempat stasiun televisi berbahasa Arab utama seperti Al-Jazeera. [4]

Terkadang istilah Timur Tengah digunakan pada jazirah saja, namun biasanya merujuk pada daerah yang lebih besar; istilah Arab, bagaimanapun, sering digunakan merujuk hanya pada Arab Saudi. Di waktu lain istilah Arab bisa berarti seluruh Dunia Arab, terbentang dari Maroko di barat sampai Oman di timur. [5]

 

2.      Usaha Ekspansi Islam ke Luar Jazirah Arab

a.       Ekspansi Gelombang Pertama

Sebelum Nabi Muhammad wafat pada tanggal 8 Juni 632 M,[6] seantero Jazirah Arab telah dapat ditaklukkan di bawah kekuasaan Islam. Usaha ekspansi ke luar jazirah Arab kemudian dimulai oleh khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, yaitu Abu Bakar Shiddiq.[7]

Setelah melewati masa-masa sulit di awal pemerintahannya karena harus menumpas pemberontakan kaum murtad dan pembangkang zakat, Abu Bakar kemudian mulai mengirimkan kekuatan militer ke berbagai negeri di luar jazirah Arab. Khalid bin Walid yang dikenal dengan gelar Pedang Allah, dikirim ke Irak sehingga dapat menduduki Al-Hirah pada tahun 12 H yang waktu itu di bawah kekuasaan Imperium Persia.[8]

Sedangkan ke Palestina, Abu Bakar mengirimkan balatentara di bawah pimpinan Amr bin al-Ash. Sementara ke Syam,[9] sang khalifah mengirimkan balatentara di bawah pimpinan tiga orang, yaitu Yazid bin Abi Sufyan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dan Syurahbil bin Hasanah. Karena mendapat perlawanan sengit pasukan Romawi yang menguasai wilayah itu, pasukan Islam pun kewalahan. Akhirnya untuk menambah kekuatan militer yang dipimpin ketiga jenderal itu, Khalid bin Walid yang telah berhasil menaklukkan Irak diperintahkan Abu Bakar untuk meninggalkan negara itu dan berangkat ke Syam.[10]  

Setelah Khalid bin Walid berhasil menaklukkan Syam, ia kemudian bersama Yazid bin Abi Sufyan dan Syurahbil bin Hasanah berangkat menuju Palestina untuk membantu Amr bin al-Ash dalam menghadapi pasukan Romawi. Kedua pasukan pun akhirnya terlibat peperangan yang sengit di daerah Ajnadin. Karena itulah, peperangan ini dalam sejarah Islam dikenal dengan nama Perang Ajnadin. Meski kemenangan di pihak Islam, tapi banyak juga pasukan Islam yang gugur.[11]

Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 H karena sakit,[12] ekspansi tetap dilanjutkan oleh khalifah berikutnya, Umar bin Khattab. Pada era Umarlah gelombang ekspansi pertama pun dimulai. Wilayah demi wilayah di luar jazirah dapat ditaklukkan. Pada tahun 14 H, Abu Ubaidah bin al-Jarrah bersama Khalid bin Walid dengan pasukan mereka berhasil menaklukkan kota Damaskus dari tangan kekuasaan Bizantium.[13] Selanjutnya, dengan menggunakan Suriah sebagai basis pangkalan militer, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin al-Ash.[14] Sedangkan ke wilayah Irak, Umar bin Khattab mengutus Sa’ad bin Abi Waqqash untuk menjadi gubernur di sana.[15]

Pada tahun 640 M, Babilonia[16] juga dikepung oleh balatentara Islam. Sedangkan pasukan Bizantium yang menduduki Heliopolis mampu dikalahkan sehingga Alexandria dikuasai oleh pasukan Islam pada tahun 641 M. Tak pelak, Mesir pun jatuh ke tangan imperium Islam. Amr bin al-Ash yang menjadi komandan perang Islam lantas menjadikan tempat perkemahannya yang terletak di luar tembok Babilon sebagai ibukota dengan nama Al-Fustat.[17]

Di masa gelombang ekspansi pertama ini, Al-Qadisiyah, sebuah kota yang terletak dekat Al-Hirah di Irak, dapat dikuasai oleh imperium Islam pada tahun 15 H.[18] Dari kota itulah, ekspansi Islam berlanjut ke Al-Madain (Ctesiphon), ibukota Persia hingga dapat dikuasai. Karena Al-Madain telah jatuh direbut pasukan Islam, Raja Sasan Yazdagrid III akhirnya menyelamatkan diri ke sebelah Utara.[19] Selanjutnya pada tahun 20 H, kota Mosul yang notabene masih dalam wilayah Irak juga dapat diduduki.[20]

Gelombang ekspansi pertama di era Umar bin Khattab menjadikan Islam sebagai sebuah imperium yang tidak hanya menguasai jazirah Arab, tapi juga Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Saat pemerintahan Umar bin Khattab berakhir karena ia wafat terbunuh pada tahun 23 H,[21] Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga tetap meneruskan kebijakan penaklukan ke berbagai wilayah di luar jazirah Arab. Meski pada zaman Umar bin Khattab telah dikirim balatentara ke Azerbaijan dan Armenia, pada era Usman bin Affanlah, yaitu pada tahun 23 H,  kedua wilayah baru berhasil dikuasai saat ekspansi dipimpin oleh al-Walid bin Uqbah.[22]

Ketika Usman bin Affan menghadapi turbulensi politik di dalam negeri hingga akhirnya ia mati terbunuh pada tahun 35 H,[23] Ali bin Abi Thalib pun naik ke tampuk kekuasaan sebagai khalifah keempat. Sayang suhu politik di pusat kekuasaan Islam semakin tinggi sehingga terjadi beberapa pemberontakan seperti yang dipimpin oleh Aisyah dalam Perang Jamal pada tahun 36 H.[24] Tak ayal, Ali bin Thalib mau tak mau harus menumpas pemberontakan tersebut. Pada gilirannya, hal itu menguras kekuatan militer Islam sehingga akhirnya gelombang pertama ekspansi Islam ke luar jazirah Arab pun berhenti.  

b.      Ekspansi Gelombang Kedua

Ekspansi gelombang kedua ini dimulai di zaman Dinasti Umayyah setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir. Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sebagai pendiri dan khalifah pertama pada dinasti itu, melanjutkan kebijakan ekspansi Islam yang sempat terhenti sejak tahun-tahun akhir kekuasaan Usman bin Affan hingga kekuasaan Ali bin Thalib tumbang.

Mu’awiyah mengutus Uqbah bin Nafi untuk mengadakan ekspansi Islam ke wilayah Afrika Utara hingga berhasil merebut Tunis. Di sanalah pada tahun 50 H, Uqbah mendirikan kota baru bernama Qairawan yang selanjutnya terkenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam.[25] Tidak cukup sampai di situ, Mu’awiyah juga berhasil mengadakan perluasan wilayah Islam dari Khurasan sampai Sungai Oxus[26] dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan laut Muawiyah juga dengan gagah berani menyerang Konstantinopel, ibu kota Bizantium.

  Masih dalam zaman Dinasti Umayah, pada masa pemerintahan Abdul Malik ekspansi ke wilayah Timur dilanjutkan di bawah pimpinan seorang jenderal terkenal bernama Al-Hajjaj bin Yusuf. Balatentara Islam berhasil menyeberangi Sungai Oxus dan akhirnya dapat menaklukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tidak hanya sampai di situ, balatentara Islam juga berhasil mencapai wilayah India hingga dapat merebut Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Multan.[27]

Ekspansi Islam kembali dilanjutkan pada era Khalifah Al-Walid. Saat itu sang khalifah mengutus Musa bin Nushair dengan balatentaranya untuk menyerang Aljazair dan Marokko sehingga berhasil membuat wilayah itu bertekut lutut. Musa bin Nusair lantas mengangkat Tariq bin Ziad sebagai wakil untuk memerintah wilayah tersebut.[28]

Sebagai penguasa baru di wilayah tersebut dan juga seorang komandan perang yang piawai, Tariq bin Ziad dengan armadanya berhasil menyeberangi selat yang membentang antara Marokko dan Benua Eropa. Sang komandan bersama pasukan angkatan lautnya lantas mendarat di suatu tempat yang kemudian dikenal dengan sebutan Gibraltar (Jabal Thariq).[29]

Dalam peperangan tersebut, tentara Kristen Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick[30] pun dapat dikalahkan oleh pasukan Islam yang dipimpin Tariq bin Ziad. Dengan kekalahan itu, pintu untuk memasuki Spanyol menjadi terbuka lebar. Toledo –yang notabene ibukota Spanyol waktu itu—berhasil direbut. Sedangkan kota-kota lain seperti Sevilla, Malaga, Elvira dan Cordova, juga tak luput dari penaklukan tentara Islam.[31]

Selanjutnya, Cordova kemudian menjadi ibukota pemerintahan Islam yang tetap menginduk ke pusat pemerintahan Islam di Kufah. Spanyol yang telah menjadi daerah Islam lantas dikenal dalam bahasa Arab dengan sebutan Al-Andalus.

Pada masa kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik, pasukan Islam juga berupaya melakukan ekspansi ke wilayah Perancis. Saat itu, upaya ekspansi terutama dipimpin oleh Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi.[32] Ekspansi tersebut juga dilakukan al-Ghafiqi karena termotivasi oleh kesuksesan penaklukan atas Spanyol oleh Thariq bin Ziad dan Musa bin Nushair.[33]

Bersama balatentaranya, al-Ghafiqi menyerang kota-kota seperti Bordeux dan Poitiers. Dari kota Poiters, al-Ghafiqi berangkat untuk menyerang kota Tours. Tetapi dalam perjalanan itu antara kedua kota itu, ia bisa ditahan oleh Charles Martel.[34] Ekspansi ke Perancis pun gagal. Al-Ghafiqi bersama pasukannya akhirnya mundur kembali ke Spanyol. Meski sempat gagal karena ditahan Charles Martel, pasukan Islam tetap berupaya menyerang beberapa wilayah di Perancis, seperti Avignon dan Lyon pada tahun 743 M.[35]

Pada zaman Dinasti Umayah pula, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, Majorca, Corsica, Sardinia, Crete, Rhodes, Cypurs dan sebagian Sicilla juga berhasil ditaklukkan oleh imperium Islam.[36] Ekspansi yang dilakukan Dinasti Umayyah inilah yang membuat Islam menjadi imperium besar pada zaman itu. Berbagai bangsa yang melintasi berbagai ras dan suku di berbagai pelosok dunia bernaung dalam satu pemerintahan Islam.

 

C.      FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ISLAM MAMPU BEREKSPANSI KE LUAR JAZIRAH ARAB

Di antara sebab-sebab yang membuat ekspansi Islam ke luar daerah Semenanjung Arabia demikian cepat adalah hal-hal berikut:[37]

1.         Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang tidak hanya mempunyai sangkut-paut dengan soal hubungan manusia dengan Tuhan dan soal hidup manusia sesudah hidup pertama sekarang. Tetapi Islam, sebagaimana kata H.A.R. Gibb, adalah agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat yang berdiri sendiri lagi mempunyai sistem pemerintahan, undang-undang dan lembaga-lembaga sendiri.[38] Dengan kata lain, seperti kata Philip K. Hitti, Islam bisa dilihat dari tiga corak, yaitu corak aslinya sebagai agama; kemudian menjadi suatu negara (state), dan akhirnya sebagai suatu kebudayaan. [39] Islam di Mekkah memang baru mempunyai corak agama, tetapi di Medinah coraknya bertambah dengan corak negara. Dalam corak negara itulah, Islam pun kian lama penyebarannya kian meluas. Sedangkan Islam di Bagdad, corak agama dan negara itu ditambahkan lagi dengan corak kebudayaan dan peradaban.

2.         Terdapat keyakinan yang kuat tentang kewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Islam sebagai agama baru ke seluruh dunia. Keyakinan itulah yang bersemayam dalam hati para sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar, dan lain-lain. Keyakinan tersebut kemudian diperkuat dengan faktor suku-suku Arab di zaman Jahiliyah yang cenderung pemberani serta gemar berperang antara sesama mereka.[40] Namun karena suku-suku itu telah dipersatukan dalam Islam sehingga mereka tidak lagi berperang satu sama lain, maka mereka pun memilih pihak lain sebagai “musuh” bersama, yaitu orang-orang non-Islam di luar jazirah Arab. Dengan demikian, Islam pun menjadi kekuatan militer baru di dunia yang mampu mengalahkan dua kekuatan dunia waktu itu, yaitu Imperium Romawi (Bizantium) dan Imperium Persia.

3.         Kedua negara itu pada zaman itu telah memasuki fase kelemahannya. Kelemahan itu timbul bukan hanya karena peperangan, yang semenjak beberapa abad senantiasa telah terjadi antara keduanya, tetapi juga karena faktor-faktor dalam negeri. Jika di daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Bizantium terdapat pertentangan-pertentangan agama; di Persia di samping pertentangan agama terdapat pula persaingan antara anggota-anggota keluarga raja untuk merebut kekuasaan. Hal-hal ini membawa kepada pecahnya keutuhan masyarakat di kedua negara itu.

4.         Kebijakan-kebijakan pihak Kerajaan Bizantium untuk memaksakan aliran keagamaan membuat rakyat merasa kehilangan kemerdekaan beragama. Di samping itu, rakyat juga dibebani dengan pajak yang tinggi guna menutupi anggaran perang Kerajaan Bizantium dengan Kerajaan Per­sia. Hal-hal ini membuat timbulnya perasaan tidak senang dari rakyat di daerah-daerah yang dikuasai Bizantium terhadap kerajaan ini. Kondisi rakyat demikian menjadi memudahkan Islam untuk diterima sebagai agama dan penguasa alternatif yang diharapkan mampu membebaskan mereka.

5.         Adanya permintaan dari wilayah tertentu kepada Imperium Islam saat itu untuk membebaskan mereka dari rezim tiran yang berkuasa di wilayah tersebut. Hal ini misalnya terjadi pada kasus ekspansi Islam di Spanyol. Saat itu penguasa Kristen di sana bertindak lalim kepada rakyatnya sehingga kedatangan pasukan Islam di sana betul-betul diharapkan agar membebaskan mereka dari penindasan sang penguasa. Apalagi ke manapun kekuatan Islam datang, ia mem-proklamirkan ajakan kebebasan manusia dari penyembahan kepada selain Allah, dan memandang seluruh manusia sama serta menghormatinya apapun warna kulit dan rasnya.[41]

 

D.      BENARKAH ISLAM DISEBARKAN MELALUI PEDANG?

Tuduhan bahwa Islam disebarkan melalui pedang memang sudah lama dihembuskan oleh terutama para orientalis sejak dulu hingga sekarang. Tuduhan itu didasarkan Islam di antaranya pada fakta sejarah banyaknya terjadi ekspansi militer yang dilakukan kekuatan Islam ke seluruh pelosok dunia sejak zaman Nabi Muhammad hingga era Kesultanan Usmani. Di samping itu, ajaran Islam sendiri banyak yang mengemukakan konsep jihad yang sering diartikan semata-mata sebagai peperangan. Dalam al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat “perang” yang sangat mungkin menimbulkan misinterpretasi jika dimaknai secara parsial dan terpisah dari konteksnya.

Dalam lintasan sejarah Islam, memang pernah tercatat peristiwa Ain Tamr. Peristiwa inilah yang dijadikan salah satu alasan untuk menuding bahwa Islam memang sangat kejam dan menyebarkan Islam melalui kekerasan. Ath-Thabari menceritakan peristiwa tersebut dalam karyanya Tarikh al-Umam wa al-Mulk. Saat itu, Khalid bin Walid mengepung sebuah benteng yang dihuni oleh orang-orang Kristen Arab. Mereka yang sudah terkepung akhirnya mengajak berdamai Khalid. Namun Khalid menolak ajakan damai itu kecuali jika mereka mau mematuhi tawarannya: masuk Islam atau membayar jizyah. Jika mereka menerima tawaran itu, Khalid akan memperlakukan mereka dengan baik. Namun tawaran Khalid itu ditolak mereka. Akhirnya benteng itu pun diserbu oleh pasukan Khalid bin Walid. Semua orang yang di dalam benteng ditebas lehernya kecuali 40 orang anak muda yang sedang belajar Injil. Saat itu kelompok anak muda itu selamat karena berada di sebuah ruang yang tertutup saat terjadi penyerbuan.[42]

Perilaku Khalid bin Walid sendiri dalam peperangan memang cenderung sadis. Hal ini memang dipahami karena dia memang seorang bekas jenderal perang di zaman Jahiliyah. Ia baru masuk Islam pada tahun 8 H sehingga pemahamannya terhadap ajaran Islam pun masih minim.[43] Namun sebagaimana juga dicatat dalam sejarah, sepak terjang Khalid bin Walid di berbagai penaklukan Islam terhenti saat ia dicopot dari jabatannya sebagai panglima perang oleh Khalifah Umar bin Khattab.[44] Tampaknya, Umar mulai khawatir terhadap tingkah polah Khalid di medan perang yang bisa merusak citra Islam. Meskipun harus diakui pula, Khalid sangat berjasa atas kemenangan Islam di berbagai peperangan, terutama pada saat peperangan melawan kaum murtad.   

Terlepas dari kasus Khalid bin Walid tersebut, pada dasarnya para penguasa Islam yang menduduki sebuah negeri tidaklah memaksa rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Dalam proses penaklukan sebuah negeri oleh penguasa Islam, ada dua opsi yang ditawarkan kepada rakyat yang ditaklukkan. Pertama: mereka bersedia masuk Islam dengan sukarela sehingga mereka berhak mendapat perlindungan. Kedua: mereka tidak mau masuk Islam tapi mereka harus membayar pajak (jizyah) sebagai tebusan atas perlindungan yang diberikan oleh penguasa Islam. Jika kedua opsi itu tidak diindahkan, dan rakyat di sebuah negeri tersebut bahkan berani memerangi penguasa Islam, maka barulah jalan militer menjadi pilihan terakhir. Etika penyebaran Islam seperti inilah yang diajarkan dan diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para pengikutnya di belakang hari.

Jika tuduhan Islam disebarkan melalui pedang itu benar adanya, tentu di berbagai wilayah yang pernah ditaklukkan kekuasaan Islam akan banyak terjadi tragedi pemaksaan agama oleh pemerintah Islam saat itu. Dengan kekuasaan dan kekuataan yang ada, tentu para penguasa Islam saat itu mudah sekali memaksa rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Namun sebaliknya, sejarah tidak pernah mencatat –sepanjang pengetahuan penulis—adanya tragedi pemaksaan agama yang dilakukan oleh para penguasa Islam. Bahkan di daerah-daerah yang pernah dikendalikan kekuasaan Islam seperti di India dan Spanyol (Andalusia), para penguasa Islam saat itu betul-betul membebaskan rakyatnya untuk memeluk agama masing-masing.[45] Hal itulah salah satu faktor yang bisa menjelaskan mengapa sekarang di kedua wilayah itu, India[46] dan Spanyol,[47] Islam bukan menjadi agama mayoritas, tapi justeru menjadi agama minoritas yang banyak memperoleh penindasan saat berada di bawah kekuasaan non Islam.

 Sejarah mencatat, tragedi pengadilan gereja (inkuisisi) justru dilakukan oleh penguasa Kristen Spanyol. Tragedi ini terjadi saat kekuasaan Islam berhasil ditumbangkan oleh kekuasaan Kristen dan Spanyol dikuasai oleh Ratu Isabella. Saat itu ribuan orang Islam dan orang Yahudi disiksa, diusir, bahkan dibunuh karena tidak mau memeluk agama Kristen. Akhirnya, sebagian orang Muslim dan Yahudi memilih memeluk agama mereka secara sembunyi atau meninggalkan Spanyol.[48]  

Dalam artikelnya di Republika, Rosihon Anwar membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya Islam disebarkan dengan dakwah, bukan dengan pedang.[49] Hal itu didasarkan pada beberapa argumentasi historis berikut ini. Pertama, ketika berada di Makkah untuk memulai dakwahnya, Nabi tidak disertai senjata dan harta. Kendati demikian, justeru banyak pemuka Makkah seperti Abu Bakar, Utsman, Sa’ad ibn Waqqas, Zubair, Talhah, Umar bin Khattab, dan Hamzah yang masuk Islam.

Kedua, ketika Nabi dan para pengikutnya mendapat tekanan yang sangat berat dari kafir Quraisy, penduduk Madinah banyak yang masuk Islam dan mengundang Nabi serta pengikutnya hijrah ke Madinah. Mungkinkah Islam tersebar di Madinah dengan senjata? Ketiga, pasukan Salib datang ke Timur ketika Khalifah Bani Abbas berada dalam masa kemunduran. Tak diduga, banyak anggota pasukan Salib tertarik kepada Islam dan kemudian menggabungkan diri dengan pasukan Salib lainnya.

Keempat, pada abad VII H (XIII M) pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu memporak-porandakan Baghdad, ibu kota Khilafah Abbasiyah, beserta peradaban yang dimiliki Islam. Mereka menghancurkan masjid-masjid, membakar kitab-kitab, membunuh para ulama, dan serentetan perbuatan sadis lainnya. Tahun 1258 merupakan lonceng kematian bagi khilafah Abbasiyah. Akan tetapi, sungguh mencengangkan bahwa di antara orang-orang Mongol sendiri yang menghancurkan pemerintahan Islam ternyata banyak yang memeluk Islam.

Kelima, sejarah menjelaskan bahwa masa terpenting Islam adalah masa damai ketika diadakan perjanjian Hudaibiyah antara orang-orang Quraisy dan Muslimin yang berlangsung selama dua tahun. Para sejarawan pun mengatakan bahwa orang yang masuk Islam pada masa itu lebih banyak dibanding masa sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam banyak terjadi pada masa damai bukan masa peperangan.

Keenam, tidak ada kaitan antara penyebaran Islam dan peperangan yang terjadi antara Muslimin dan Persia serta Romawi. Ketika peperangan antara mereka berkecamuk dan orang-orang Islam memperoleh kemenangan kemudian peperangan berhenti, pada saat itu para dai menjelaskan bangunan, dasar, dan filsafah Islam. Dakwah Islam itu yang kemudian menyebabkan orang-orang non-Islam –terutama mereka yang tertindas oleh penguasa– masuk Islam.

Ketujuh, Islam tersebar luas di Indonesia, Malaysia, dan Afrika lewat orang-orang dari Hadramaut yang tidak didukung oleh harta dan penguasa, dan atau Islam diajarkan oleh orang-orang Indonesia yang berwatakkan Islam dalam kefakiran. Kedelapan, peneliti dunia Islam Jerman, Ilse Lictenstadter, dalam Islam and the Modern Age, mengatakan bahwa pilihan yang diberikan kepada Persia dan Romawi bukanlah antara Islam dan pedang, tetapi antara Islam dan jizyah (pembayaran pajak).

Kenyataan bahwa sejarah Islam diwarnai dengan peperangan merupakan fakta yang tidak dapat dibantah. Bila Islam disebarkan dengan dakwah, lalu kenapa terjadi peperangan? Di antara motivasi peperangan dalam sejarah Islam adalah: Pertama, mempertahankan jiwa raga. Seperti disebutkan dalam sejarah, sebelum hijrah orang-orang Islam belum diizinkan untuk berperang. Padahal umat Islam memperoleh berbagai siksaan dan tekanan dari kafir Quraisy. Ammar, Bilal, Yasir, dan Abu Bakar adalah di antara mereka yang mendapat perlakuan keras itu.

Ketika perlakuan kafir Quraisy semakin keras dan umat Islam meminta izin kepada Nabi untuk berperang, Nabi belum juga mengizinkan karena belum ada perintah dari Allah SWT. Namun, ketika Nabi beserta pengikutnya hijrah ke Madinah dan kafir Quraisy bertekad untuk membebaskan kota itu dari Islam, maka Allah SWT akhirnya –karena demi membela diri orang-orang Islam sendiri– mengizinkan mereka berperang (QS Al Hajj [22]:37). Namun izin itu dikeluarkan dengan beberapa persyaratan seperti demi jalan Allah SWT, bukan demi harta atau prestise, mempertahankan diri, dan tidak berlebihan (QS Al-Baqarah [2]:190).

Data historis yang dapat dikemukakan berkaitan dengan hal di atas adalah penyebaran Islam ke Habsyi, sebuah kota yang tidak begitu jauh dari jazirah Arab dan kota yang pernah menjadi tujuan hijrah Nabi. Orang-orang Islam tidak pernah memerangi kota itu karena tidak mengancam keselamatan mereka. Bila penyebaran Islam dengan kekuatan, tentunya orang-orang Islam sudah menghancurkan kota itu. Seperti diketahui, umat Islam saat itu sudah memiliki angkatan perang yang cukup kuat.

Kedua, melindungi dakwah dan orang-orang lemah yang hendak memeluk Islam. Seperti diketahui bahwa dakwah Nabi memperoleh tantangan keras dari kafir Quraisy Makkah. Mereka menempuh jalan apa saja untuk menghalanginya (QS al-Fath [48]:25). Banyak penduduk Makkah dan Arab lainnya bermaksud memeluk Islam, tetapi mereka takut terhadap ancaman itu. Allah lalu mengizinkan Rasul-Nya beserta pengikutnya untuk melindungi dakwah dengan cara berperang.

Ketiga, mempertahankan umat Islam dari serangan pasukan Persia dan Romawi. Keberhasilan dakwah Nabi dalam menyatukan kabilah-kabilah Arab di bawah bendera Islam ternyata dianggap ancaman oleh penguasa Persia dan Romawi –dua adikuasa saat itu. Itu sebabnya, mereka mengumumkan perang dengan umat Islam.

Tahun 629 M Nabi mengutus satu kelompok berjumlah 15 orang ke perbatasan Timur Ardan untuk berdakwah, tetapi semuanya dibunuh atas perintah penguasa Romawi. Pada tahun 627 M Farwah bin Umar Al Judzami, gubernur Romawi di Amman, memeluk Islam. Untuk itu, ia mengutus Mas’ud bin Sa’ad Al Judzami menghadap Nabi untuk menyampaikan hadiah. Ketika berita itu sampai ke telinga 49 orang-orang Romawi, mereka memaksa Farwah untuk keluar dari Islam, tetapi paksaan itu ditolaknya. Akibatnya, ia dipenjara dan akhirnya disalib. Atas alasan itu dan demi melindungi umat Islam dari serangan-serangan Romawi dan Persia berikutnya, Nabi kemudian mengumumkan perang.

E.       PENUTUP

Adalah tidak terbantahkan bahwa Islam membolehkan peperangan sebagaimana yang diungkapkan pada QS Al Hajj [22]:37 di atas. Namun hal itu tidaklah berarti bahwa Islam disebarkan lewat pedang sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Islamlah tetaplah agama rasional yang menghendaki umatnya untuk bersikap realistis ketika keberadaan mereka terancam. Adalah tidak rasional jika Islam tidak membolehkan umatnya untuk berperang padahal, misalnya, mereka diserang bertubi-tubi, seperti yang terjadi di Bosnia, Palestina, Afghanistan, dan lain-lain.  

Meski demikian, dalam lintasan sejarah memang juga tampaknya beberapa ekspansi umat Islam, terutama setelah lewat Khulafaur Rasyidin, terdapat motif duniawi, yaitu perluasan kekuasaan selain motif dakwah. Hal ini tampak pada kasus Turki Usmani yang bahkan bekerja sama dengan Perancis, Inggris dan Belanda yang non-Islam untuk menaklukkan Habsburg, di tengah dan selatan Eropa. Di samping itu, sebagaimana galibnya politik dan kekuasaan, intrik dan pengkhianatan juga mewarnai perjalanan pemerintahan-pemerintahan Islam. Kudeta disertai dengan pembunuhan juga menodai perjalanan kekuasaan Islam. Hal inilah pula yang tampaknya membuat pemerintahan-pemerintahan Islam akhirnya tumbang satu demi satu. Wallahu a’lam bi shawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adzari, Ibnu, al-Bayan al-Maghrib fi Akhbar al-Andalus wa al-Maghrib, dalam al-Maktabah al-Syamilah.

Anwar, Rosihon. “Islam dan Jalan Pedang”. Republika. 20 September 2006.

Gibb, H.A.R. Islam dalam Lintasan Sejarah. Format e-book dari http://media.isnet.org/islam/Gibb.

Haekal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. Jakarta: Litera AntarNusa, 2006.

Hart, Michael H. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978. Format e-book.

Hibban, Ibnu. as-Sirah li Ibn Hibban, tk: tp, tt.

Hitti, Philip K. History of the Arabs from the Earliest Times to the Present. London: The Macmillian Press, 1970.

Katsir al-Qarsyi Abu al-Fida, Ismail ibn Umar ibn. al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Maktabah al-Ma’arif, tt.

Khalifah bin Khayyath al-Laitsi al-Ushfuri Abu ‘Amr. Tarikh Khalifah bin Khayyath. Damaskus: Darul Qalam, 1397 H.

Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.

Mahmudunnasir, Syed. Islam Its Concepts & History. New Delhi: Kitab Bhavan, 1994.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 2001.

Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam (The New Word of Islam). Terj. Muldjadi Djodjomartono, et. al,. Jakarta: Bulan Bintang, 1966.

Suyuthi, Abdur Rahman bin Abu Bakar as-. Tarikh al-Khulafa., Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952.

Thabari, Muhammad bin Jarir ath. Tarikh al-Umam wal Mulk. Beirut: Darul Kitab al-Ilmiyyah, 1407 H.

Tilmasani, Ahmad bin al-Muqri al-. Nafh al-Thayyib fi Ghasn al-Andalus al-Rathib, Beirut: Dar ash-Shadir, 1900.

Umari, Akram Diya al-. Tolok Ukur Peradaban Islam, Arkeologi Sejarah Madinah dalam Wacana Trans-Global. Terj. Hasani Asro dan A. Fawaid Syadzili Yogyakarta, IRCiSod, 2003.

 

 


[1] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaedi (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1978), format e-book.

[2] Lihat, www.wikipedia.org.id dalam artikel “Semenanjung”.

[3] Lihat, ibid., dalam artikel “Jazirah Arab”.

[4] Lihat, ibid.

[5] Lihat, ibid.

[6] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera AntarNusa, 2006), hal. 583.

[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 2001), jilid I, hal. 50-51.

[8] Ismail bin Umar bin Katsir al-Qarsyi Abu al-Fida, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, tt.) juz 6 hal. 342-343.

[9] Syam adalah sebutan untuk wilayah Suriah di zaman dulu. Sekarang Syam digunakan untuk sebutan nama lain dari Damaskus, ibukota Suriah. Lihat, Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hal. 382.

[10] Ibnu Hibban, as-Sirah li Ibn Hibban, (tk: tp, tt), juz 1, hal. 430 dalam al-Maktabah asy-Syamilah.

[11] Ibid., juz I, hal. 450.

[12] Lihat, Abdur Rahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952), hal. 74.

[13] Lihat, Khalifah bin Khayyath al-Laitsi al-Ushfuri Abu ‘Amr, Tarikh Khalifah bin Khayyath, (Damaskus: Darul Qalam, 1397 H), hal. 22-23. Bizantium adalah nama asli kota modern Istanbul. Bizantium awalnya diduduki koloni Yunani dari Megara pada 667 SM dan dinamakan menurut raja mereka, Byzas. Nama “Bizantium” adalah Latinisasi nama Yunani asli Byzantion. Kota ini kemudian direbut oleh Roma dan mengalami kerusakan parah pada tahun 196. Bizantium kemudian dibangun kembali oleh kaisar Romawi Septimius Severus. Konstantinus yang Agung pada 330, menamakannya ulang menjadi Nova Roma (Roma Baru) atau Konstantinoupolis (Konstantinopel). Sejak saat itu, Kekaisaran Romawi Timur yang menjadikan Konstantinopel sebagai ibukota hingga 1453. Setelah direbut oleh Turki Usmani, dan menjadi bagian wilayah Turki modern, Bizantium atau Konstantinopel diganti menjadi Istambul pada 1930. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/ Bizantium.

[14] Muhammad bin Jarir at-Thabari, Tarikh al-Umam wal Mulk, (Beirut: Darul Kitab al-Ilmiyyah, 1407 H). juz 2, hal 511-512.

[15] Ibnu Katsir, al-Bidayah., op. cit., juz 7, hal. 30.

[16] Babylonia, dinamai sesuai dengan ibukotanya, Babel, adalah negara kuno yang terletak di selatan Mesopotamia (sekarang Irak), di wilayah Sumeria dan Akkadia. Babel pertama disebut dalam sebuah tablet dari masa pemerintahan Sargon of Akkad, dari abad ke-23 SM. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Babilonia

[17] Ibnu Katsir, al-Bidayah., op. cit., juz 7, hal. 100.

[18] Ibid., juz 7, hal. 47.

[19] Ibnu Khaldun, Tarikh., op. cit., juz 2, hal. 536.

[20] Ibid., juz 2, hal. 543.

[21] Thabari, Tarikh alUmam., op. cit., juz 2, hal. 587.

[22] Ibid.., juz 2, hal. 591.

[23] Ibnu Katsir, al-Bidayah., op. cit., juz 7, hal. 170.

[24] Ibid., juz 7, hal. 229-230.

[25] Ibid., juz 8, hal. 85.

[26] Sungai Oxus adalah satu sungai yang mengalir panjang dan membelah negara Uzbekistan, sebuah negara muslim yang besar sebelum tentara Rusia mengambil alih dan menggempur daerah itu pada tahun 1873. Lihat, www.muslimsources.com.

[27] Ibnu Khaldun, Tarikh., op. cit., juz 3, hal. 76-77

[28] Ibid., juz 4, hal. 239.

[29] Ibnu Adzari, al-Bayan al-Maghrib f iAkhbar al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1, hal. 140 dalam al-Maktabah al-Syamilah.

[30] Raja Roderick (Spanyol and Portugis: Rodrigo, Arab: Ludhriq, لذريق ; meninggal 711 atau 712) adalah raja terakhir Hispania (sekarang Iberia) (710-712) yang berasal dari bangsa Visigoth. Dalam legenda ia dikenal sebagai “raja terakhir bangsa Goth”. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Roderic.

[31] Ibnu Adzari, loc. cit.

[32] Ahmad bin al-Muqri al-Tilmasani, Nafh al-Thayyib fi Ghasn al-Andalus al-Rathib, (Beirut: Dar ash-Shadir, 1900), juz I, hal. 235.

[33] Syed Mahmudunnasir, Islam Its Concepts & History, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1994), hal. 175.

[34] Charles Martel (23 Agustus 68622 Oktober 741) adalah seorang penguasa kerajaan di Prancis. Ia memang dikenal sebagai pahlawan Eropa yang mengklaim dirinya sebagai Duke of the Franks yang mampu menahan ekspansi Islam pimpinan Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi ke Prancis dalam Perang Tours. Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Charles_Martel. 

[35] Harun Nasution, Islam Ditinjau., op. cit., jilid I, hal. 57.

[36] Ibid.

[37] Ibid.., jilid I, hal. 52-55.

[38] H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, e-book dari http://media.isnet.org/islam/Gibb pada Bab I Perluasan Islam.

[39] Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs from the Earliest Times to the Present, (London: The Macmillian Press, 1970), hal. 145.

[40] Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, (tk: tp, tt.) juz I, hal. 155 dalam al-Maktabah asy-Syamilah.

[41] Akram Diya al-Umari, Tolok Ukur Peradaban Islam, Arkeologi Sejarah Madinah dalam Wacana Trans-Global, terj. Hasani Asro dan A. Fawaid Syadzili, (Yogyakarta, IRCiSod, 2003), hal. 28.

[42] Thabari, Tarikh alUmam., op. cit., juz 2, hal. 324.

[43] Ali bin Burhan, as-Sirah al-Halbiyah, (Program al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09), juz 7, hal 138.

[44] Thabari, Tarikh alUmam., op. cit., juz 2, hal. 491.

[45] Lihat, Syed Mahmudunnasir, Islam., op. cit., hal. 166.

[46] Saat ini penganut Islam di India berjumlah sekitar 147 juta orang atau 13,4 % dari total rakyat India. Islam masih menjadi agama minoritas dibandingkan dengan Hindu sebagai agama mayoritas yang penganutnya mencapai 828 juta orang atau 80,4 persen.  Populasi penganut Islam di India menempati peringkat ketiga terbesar di dunia setelah Indonesia (210 juta orang) dan Pakistan (166 juta orang).  Lihat, www.wikipedia.com.

[47] Saat ini, penganut Islam di Spanyol diperkirakan sekitar 3 % dari seluruh penduduk negara matador tersebut. Sementara Kristen Katolik Roma dianut oleh sekitar 90 % penduduknya. Lihat, ibid.

[48] http://id.wikipedia.org/wiki/Inkuisisi_Spanyol.

[49] Rosihon Anwar, “Islam dan Jalan Pedang”, Republika, 20 September 2006.

Tinggalkan Balasan

12 Komentar