Maaf, Aku Tak Mampu Mendua

Derasnya air hujan masih bertingkah menghiasi malam yang gulita di luar jendela. Sesekali terdengar deru kendaraan bermotor yang nyaris lenyap ditelan gemuruh hujan. Mataku masih terpaku pada sebuah untaian kalimat dalam pesan pendek di layar ponselku. Ombak bergulung-gulung mengombang-ambingkan biduk hatiku.

Mestinya aku bahagia jika ada orang yang mengasihiku. Tapi, kini palung jiwaku disesaki berlimbak galau yang tak terperi. Mestinya, ini tak perlu terjadi. Betapapun, telah ada orang lain yang selama ini begitu sabar dan setia menemani hari-hariku yang tak selalu indah. Ya, orang yang selama ini merawat dan mendidik kedua buah hatiku dengan penuh kasih sayang.

Bacaan Lainnya

Hari-hari yang telah kita rajut bersama memang telah menjelma cindai nan indah. Tak kupungkiri, cindai itu telah merayu hatiku sehingga kembali diriku terbuai dalam ayunan pesonamu. Tak terasa, aku pun larut dalam lantunan kidung kasih terlarang ini. Aku berlayar bersamamu dalam bahtera kasih yang sebenarnya sudah dinakhodai orang lain. Tak jua kubuang sauh bahtera yang kita tumpangi. Tak jua kuserahkan kendali kemudi kepada lelaki yang telah kau pilih sebelumnya.

Juwita, hanya lelaki bodoh yang mengatakan kau si putri buruk rupa. Keindahanmu laksana lukisan mahakarya dari seorang maestro. Kau adalah puspita nan elok yang senantiasa menebarkan semerbak wangi. Tidaklah aneh jika banyak kumbang berusaha hinggap di ranting hatimu. Tidaklah ganjil jika banyak lelaki menebarkan godaan hingga bibirmu menyunggingkan senyum manis menahan malu.

Diiringi hujan di malam ini, aku harus mengambil keputusan, Juwita. Betapapun ini mungkin berat bagiku dan bagimu. Tapi, barangkali inilah jalan terbaik untuk kita berdua. Kita tidak mungkin terus merajut kasih terlarang ini. Di hati kita masing-masing, telah bersemayam orang lain. Kalaupun toh kau sendiri, aku juga sadar, aku tak sanggup untuk adil berbagi kasih.

Juwitaku, kau juga tentu tahu, di pundakku teronggok kewajiban-kewajiban yang harus kuemban. Betapapun, kewajiban-kewajiban itu harus kutuntaskan karena tak mungkin aku menelan ludahku sendiri. Meski berat dan terasa menyesakkan dada, tapi tetaplah harus kutunaikan segala yang menjadi tanggung jawabku.

Selama ini, aku dihunjam rasa bersalah karena telah menyia-nyiakan kewajiban-kewajibanku. Aku terhanyut dalam aliran deras pesonamu yang begitu mengharu biru hari-hariku. Di sisi lain, aku juga ditikam rasa bersalah karena menebarkan jaring-jaring nisbi sehingga kau terperangkap dalam rengkuhanku.

Kau tentu tahu, saat ini aku memang sedang menyusuri hari-hari sendiri tanpa ditemani ibunda dari anak-anakku. Aku sedang belajar merangkai kesabaran dalam bingkai hatiku. Aku sedang belajar membangun keikhlasan di relung kalbu saat harus merelakan permaisuriku merawat ibunda suri yang sedang terkapar sakit.

Aku juga tahu, hatimu sedang bersaput kabut karena Sang Pencipta belum jua menganugerahkan keturunan dari rahimmu. Aku juga tahu, sang pangeran yang selama ini bertahta di hatimu lebih asyik dengan komputernya hingga ke ujung malam. Dan kau pun terlelap sendiri dan hanya ditemani bantal serta guling yang tak bernyawa.

Mungkin, ini adalah selampit sejenak di antara rihlah hidup kita masing-masing yang sedang diterjang sepi. Meski sejenak, ini telah cukup membuatku khawatir terjerumus dalam kubangan dosa. Meski hanya lewat dunia maya, ini telah cukup membuatku cemas menuai butir-butir jentaka karena telah menodai kesetiaanku selama ini.

Juwita, lupakan semua kata-kata gombalku yang tak bermutu itu. Jika ia menorehkan luka di hatimu, beribu maaf kuhaturkan untukmu. Biarlah dosa itu akan kupertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Namun jika terdapat bulir-bulir hikmah yang bisa kau petik dalam kata-kataku, biarlah ia jadi sejumput bekalku untuk meneruskan perjalanan menghadap-Nya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

27 Komentar

  1. uuhhhh untung ditulis dalam kategori fiksi. Kalau tidak…. wah bisa terhanyut aku. Kupikir Pak Racheedus sedang mengakukan dosanya (kalau apa yang diperbuat dianggap dosa).

    EM

    He…he…. Terhanyut ya, Bu? Emang sungai?!
    Ini bukan pengakuan dosa, Bu. Ini cerita fiksi yang memang berangkat dari kejadian nyata. (Hiks!). Saya hanya takut terjerumus berbuat dosa saat godaan itu begitu mengepung hari-hari saya.

  2. Sastra yang sangat bagus, sebuah pengakuan dari jejak langkah. Sayangnya lebih di kuasai oleh tokoh utama “aku”, sepertinya peran tokoh kedua dan tokoh pembantu tidak benar-benar ada. Pendapat orang bodoh ini menyatakan sastra fiksi ini lebih cocok kepada puisi. Harusnya ada dialog, tapi ini jelas memunculkan pertanyaan bagi saya seorang penggemar sastra namun awam tentang sastra. Mengapa tidak ada dialog dalam artikel fiksi ini? Apakah karena ini murni curahan hati?. Artikel fiksi ini, jelas akan lebih sulit difahami tanpa adanya dialog. Namun bagaimanapun memang begitulah sastra, selalu memunculkan pertanyaan yang tak terjawab dalam setiap akhir kisahnya. Andaikan saya punya cerita fiksi, kira2 boleh dipublish disini pa gak ya? Ha ha ha, saya lagi ngigau.

    Makasih, Kang Mus, atas apresiasinya.
    Tulisan ini saya masukkan di kategori fiksi, karena memang banyak unsur fiksinya. Ada juga sih nada curahan hati dan refleksi. Mau dimasukkan di kategori puisi, juga saya rasa nggak pas, karena berbentuk narasi.
    Soal tidak ada dialog, emang sengaja. Saya tidak berniat membuatnya sebagai cerpen, tapi sekedar solilukui.

  3. Bahasa sastra dalam ceritanya tingkat tinggi euy. ๐Ÿ™‚

    Sepertinya kasus yang dialami oleh Juwita dan ‘Aku’ banyak menimpa pasangan suami istri sekarang ini. Dengan dalih kemajuan zaman, suami-istri sibuk berkarir dan melupakan untuk menciptakan suasana hangat di rmh tangga mereka. Didukung dengan kecanggihan teknologi, seperti ponsel dan internet, akhirnya karena mencari rasa hangat yang lain, mulailah berpetualang mencari teman bicara atau curhat.

    Dan dari curhat yang diawali dari chating, kirim e-mail, mulailah muncul rasa. Bukan suami/isteri resminya yang dijadikan teman curhat tapi orang lain dan apabila sudah semakin akrab maka tinggal menunggu waktu saja untuk terjadi ‘perselingkuhan’. ๐Ÿ˜€

    Semoga kita semua mampu untuk menjaga hati sehingga terhindar dari niat/tindakan berselingkuh ๐Ÿ™‚

    Makasih apresiasinya, Mas Jafar.

    Dunia kerja di masyarakat modern, ditambah kecanggihan tekhnologi memang memungkinkan hal itu terjadi, Mas. Apalagi saat terjadi rasa sepi dan komunikasi yang macet di tengah keluarga.

    Semoga saya juga terhindar, Mas Jafar. Tulisan ini sebenarnya untuk mengingatkan diri saya sendiri agar tidak tergoda.

  4. Saya setuju sepenuhnya dengan komentar Pak Jafar Soddik. Memang, pernikahan di zaman sekarang semakin banyak menghadapi tantangan dan godaan, khususnya akibat adanya kemudahan berhubungan dengan orang lain melalui teknologi informasi. Jangankan sedang tinggal terpisah dengan pasangan (suami/isteri), bahkan yang serumah pun bisa berkomunikasi intim dengan orang lain melalui sms atau e-mail tanpa diketahui pasangannya.

    Akhirnya semua kembali pada iman. Perlu diingat bahwa jika salah satu pasangan selingkuh, maka luka yang diderita pasangan lainnya akan sulit sembuh, atau memerlukan waktu lama untuk pulih. Lebih buruk lagi, pernikahan bisa hancur berantakan. Jadi, jika mulai terasa bahwa perselingkuhan akan terjadi, cepat-cepatnya menghentikan semuanya sebelum terlambat. Fasten seat belt, kencangkan sabuk pengaman pada biduk perkawinan yang sudah ada.

    (memberi nasehat memang jauh lebih mudah daripada melaksanakan nasehat, tetapi bukankah kita harus saling mengingatkan kepada sesama umat yang sedang goyah dan resah didera badai?)

    Salam,

    Makasih banyak atas sharing-nya, Bu. Mudahan, saya bisa tetap memelihara kesetiaan saya. Mudahan saya bisa menepis godaan.

  5. ingat juwita, duh, saya jadi inget kenangan beberapa tahun yang silam saat2 duduk di bangku SPG hingga menjelang kuliah. patrian cinta ternyata tak bisa menjadi jaminan utk bisa bersatu. jodoh konon telah menundukkan cinta. tapi, sudahlah, mas rache, pengalaman masa silam hanya indah untuk dikenang, bukan utk menjadi penghambat langkah menggapai masa depan. *duh kok jadi ikut sentimentil saya, wakaka ……….. *

    Betul, Pak Guru. Masa silam hanya indah untuk dikenang, bukan untuk menghambat masa depan.

    Tapi, sebenarnya, ini cerita masa kini, lho, Pak. Bukan cerita Ina yang dari masa lalu itu. Saya sedang berjibaku menepis godaan.

  6. wuih… berdebar2 jantung saya membaca bait-bait awal… saya pikir mas racheedus sudah mulai main api nih… ternyata…? hehehe… ๐Ÿ™‚ mantap kali untaian kalimatnya, salut!

    godaan seperti ini memang sangat banyak terjadi di zaman sekarang. banyak yg tak sanggup menahannya, sehingga terjerambab ke dalam kubangan yg ia ciptakan sendiri dan tak sanggup untuk keluar lagi…

    terima kasih mas… refleksi ini sangat berguna sebagai pengingat pikiran kita, agar senantiasa berhati2 dan terus menjaga kesucian cinta terhadap keluarga… ๐Ÿ™‚

    Ha….ha….. ketipu, ya? Makasih, apresiasinya.

    Nggak, lah, Uda. Insya Allah, saya nggak akan berani bermain api. Ketika saya melihat api hendak memercik, saya sudah berusaha menghindar jauh-jauh. Doakan saya agar tetap memelihara kesetiaan saya.

  7. curhat colongan nih pasti …. ๐Ÿ™‚

    *mas, makasih yah atas supportnya untuk saya dan mas Harsa, semoga ujian ini indah pada akhirnya, amin ya ALLAH*

    Ha….. ha….. Ayo, siapa yang ngerasa?!

    Terima kasih juga atas tulisan-tulisan Ade yang selalu menyentuh dan mengingatkan saya. Kita memang harus saling mengingatkan, menguatkan ketika ada yang letih atau jatuh. Semoga ujian yang dialami Ade dan Mas Harsa bisa dimaknai sebagai bentuk kasih sayang-Nya yang indah.

  8. memilih merupakan hal tersulit…
    untung saja ini tidak terjadi pada diriku…
    cerita fiksi yg sangat menyentuh…
    untungnya gelombang sedang kecil…
    coba klo gelombangnya besar,bisa hanyut saya ;))

    tetap menulis n berkarya yah…
    semangat terus n keep smile ๐Ÿ™‚

    thx yah….
    lam kenal juga…

    Terima kasih, Pak, atas support-nya. Saya justru sebenarnya sedang letih. Ada perasaan hendak rehat sejenak.

  9. Menghanyutkan, menenggelamkan.
    Maaf Aku Selalu mendua halah…..

    Emang Sungai Ciliwung, Mas Jamal? Kok bisa menghanyutkan dan menenggelamkan?

    Walah, kok, mendua, sih? Ntar saya kasih Uni Yulfi, lho!
    Uniiii…..! Masal Jamal mendua tuh!!!! Ha….ha…..

  10. Blog mas Racheedus sdh masuk dalam list IBSN, silahkan di cek…selamat bergabung..

    salam, ^_^

    Makasih, Mas Didien. Terus terang, saya sendiri masih belum begitu faham untuk bergabung dan mengirimkan tulisan di IBSN. Nanti saya pelajari lagi.

  11. @ Sahabat Racheedus: terimakasih atas tambahan ilmunya, saya belum begitu faham seputar narasi dan sejenisnya. Wong saya ngisi blog aja asal nulis. Surat cintanya kok hanya di sana ya? Gak nyampe inbuuuuuk emailku.

    Sama-sama, Kang Mus. Saya juga masih perlu menambah ilmu.
    Surat cinta? Insya Allah, nanti dikirimkan via email.

  12. mas ochid, colongan atau tidak, tulisan ini indah sekali. komentar apa pun bagi kontemplasi seindah ini akan garing jadinya.

    penasaran deh siapa juwita dimaksud. yang jelas bukan ina, kan? *nyari-nyari juwita*
    *eh, malah ketemu si sirik* :mrgreen:

    @jamal:
    awas kalau kau dudakan, eh… duakan aku!

    Makasih, Uni, atas apresiasinya. Uni lebih jago daripada saya.

    Soal colongan atau tidak, emang tidak penting. Tapi jujur, memang ada sepasang teman blogger yg sedang menghadapi masalah serupa. Sy hanya menduga-duga dan memberi bumbu. He…he… Emang masakan Padang?

    Nyari-nyari Juwita? Nggak usah, deh. Nggak bakalan ketemu. Cuma ada dlm imajinasi saya. Yang jelas, memang bukan Ina.

    @ Jamal,
    Tuh, kan, udah dibilangin kok ngeyel.

  13. ‘diarsipkan di bawah : Fiksi’

    untung kalimat itu terbaca oleh saya, mas. kalo enggak, wah sudah berpikir macem2 saya, hahaha…
    tapi, ngomong2 fiksi pun bisa berdasar pengalaman2 kan ? hayooo… ๐Ÿ™‚

    Emang fikirannya gimana, Mas Goen. Saya selingkuh gitu? Nggak deh.

    Waduh! Pusing saya, kok banyak banget yang nanyain ini berdasarkan fakta/pengalaman atau tidak. Kalo iya, gimana? Kalo nggak juga gimana?