Tidak semua orang yang hendak menikah bisa diterima permohonannya di Kantor Urusan Agama. Hal itu bisa jadi karena terdapat larangan perkawinan. Hal ini perlu diketahui bersama oleh masyarakat agar tidak kemudian timbul salah paham, seolah-olah pihak KUA menghalang-halangi niat baik orang untuk menikah. Atau terkadang timbul tuduhan bahwa pihak KUA mempersulit pelayanan terhadap masyarakat.
Secara garis besar, larangan-larangan perkawinan itu bisa dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: larangan selamanya dan larangan sementara. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 8-11 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 39-44, penyebab larangan seorang perempuan untuk dinikahi adalah sebagai berikut:
A. Larangan untuk Selama-lamanya
1. Ada hubungan darah (nasab)
a. dalam garis keturunan lurus ke bawah, dan termasuk dalam kelompok anak, yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya ke bawah.
b. dalam garis keturunan lurus ke atas, dan termasuk dalam kelompok ibu, yaitu ibu, nenek, buyut, dan seterusnya ke atas.
c. dalam garis keturunan ke samping, dan termasuk dalam kelompok saudara, yaitu saudara, anak saudara (keponakan), saudara ibu/bapak (bibi), dan saudara nenek.
2. Ada hubungan perkawinan (semenda)
Wanita yang terlarang dinikahi karena hal ini adalah ibu tiri, ibu mertua, anak tiri, dan anak menantu. Anak tiri menjadi terlarang untuk dinikahi selamanya jika ibunya sudah pernah digauli oleh si bapak tiri. Namun jika jika sang ibu bercerai sebelum terjadi hubungan suami istri (qabla dukhul), anak tiri boleh untuk dinikahi.
3. Ada hubungan susuan (radha’ah)
Larangan perkawinan karena hal ini adalah ibu susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.Termasuk dalam pengertian orang tua susuan adalah bahwa seorang laki-laki yang menjadi suami dari perempuan yang pernah menyusui seorang perempuan lain. Dalam hal ini, perempuan lain itu terlarang dinikahi oleh laki-laki tersebut.
4. Wanita yang akan dinikahi adalah mantan istri yang telah dicerai dengan cara li’an.
Perceraian dengan cara li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
B. Larangan untuk Sementara
1. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.
Dengan kata lain, perempuan yang akan dinikahi adalah masih menjadi istri sah dari lelaki lain. Jika perempuan itu sudah bercerai dan habis masa iddahnya, maka ia diperbolehkan untuk dinikahi.
2. Masih berada dalam masa iddah dengan pria lain
Perempuan yang masih dalam masa iddah, karena bercerai dengan cara talak raj’i, secara hukum ia masih belum betul-betul terputus ikatan perkawinannya. Jika memang sudah habis masa iddahnya, barulah ia boleh dinikahi oleh lelaki lain.
3. Berhubungan keluarga dengan isteri
Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, perempuan yang memiliki hubungan saudara dengan suaminya sebagai saudara kandung/seayah/seibu, bibi, atau keponakan, menjadi termasuk dalam larangan perkawinan. Ketika seorang lelaki sudah memiliki seorang istri, dan ia hendak menambah lagi istrinya (berpoligami), maka perempuan baru yang akan ia nikahi tidak boleh memiliki hubungan darah dengan istri yang sedang terikat pernikahan. Hubungan darah itu berupa saudara kandung/seayah/seibu, bibi, dan keponakan. Dengan kata lain, seorang laki-laki terlarang untuk menggabungkan sebagai istri dua orang perempuan yang bersaudara, keponakan dengan bibinya, atau bibi dengan keponakannya.
4. Dalam keadaan ber-ihram
Yang dimaksud ber-ihram adalah seseorang yang sudah berniat untuk melaksanakan haji atau umrah dan rangkaian prosesi haji belum selesai. Jika rangkaian prosesi haji atau umrah sudah selesai, perempuan itu boleh untuk dinikahi meskipun masih berada di Tanah Suci.
5. Istri kelima dan seterusnya
Islam membatasi poligami hanya sampai 4 orang. Tidak boleh ada orang yang menikahi perempuan lebih dari 4 orang, seperti yang pernah dilakukan oleh Eyang Subur dulu, hingga memiliki 8 (delapan) orang istri. Jika kasusnya seperti, seorang laki-laki harus menceraikan sebagian istrinya sehingga hanya tersisa 4 orang. Begitu pula jika seorang sudah memiliki 4 orang istri, maka haram ia menambah istri yang kelima dan seterusnya. Jika ia tetap ingin menikah lagi, maka ia harus menceraikan terlebih dahulu salah satu dari keempat istrinya yang sudah ada.
6. Mantan istri yang mengalami cerai dengan talak bain kubra (talak tiga)
Perempuan yang telah bercerai dengan seorang suaminya sebanyak tiga kali berturut-turut, maka ia terlarang untuk menikahi kembali dengan mantan suaminya. Namun jika perempuan tersebut menikah dengan lelaki lain dan telah melakukan hubungan suami istri, maka ia boleh kembali menikahi mantan istrinya yang terdahulu.
Baca juga Pernikahan Beda Agama di Mataku
7. Beragama non muslim
Pernikahan yang bisa dicatatkan di KUA adalah jika pasangan calon pengantin sama-sama menganut agama Islam. Jika calon suami atau calon istri beragama non Muslim, maka pernikahannya tidak bisa dilaksanakan. Namun jika keduanya tetap bersikukuh hendak menikah, maka pasangan yang non muslim harus masuk Islam terlebih dahulu. Hal itu tidak boleh dipahami sebagai bentuk pemaksaan agama, tetapi sebagai bentuk kepedulian negara untuk meminimalkan sekecil mungkin potensi konflik dalam keluarga. Betapapun perbedaan agama merupakan salah satu potensi konflik yang bisa merusak.