Wanita Penghibur

Sang bayu berkesiur lembut tatkala kedua kakiku menyentuh aspal di perempatan jalan itu. Kututup pintu mobil perlahan seraya mengucapkan tabik kepada tiga orang teman yang duduk di dalam mobil. Avanza hitam itu pun lantas berlalu menembus keheningan malam.

Kulangkahkan kaki menyeberangi jalan. Jam di handphone-ku menunjuk pukul 01.30 dinihari. Aku ingin segera tiba di rumah dan melucuti kepenatan seusai beranjangsana ke beberapa teman yang jadi “orang” di ibukota. Saat aku hendak mengambil motor di tempat penitipan, tempat itu telah tertutup rapat. Aku pun melangkah gontai sembari mengedarkan pandangan mencari tukang ojek.

Bacaan Lainnya

Sebelum kuputuskan menumpang motor ojek yang kupilih, pandanganku tertumbuk pada empat orang perempuan yang bercengkerama riang di sebuah warung. Dua orang lelaki duduk di sela-sela mereka. Dua dari keempat perempuan itu kukenal sebagai warga kampungku.

“Mari, Pak,” perempuan, yang sebut saja namanya Mona, itu menyapaku seraya mengumbar senyum Pepsodent.

“Mari,” jawabku sembari membalas senyumnya. Lamat-lamat kudengar cekikian para perempuan itu saat salah satu di antara mereka melontarkan ucapan mesum. Aku melangkah menuju sebuah toko kecil di belakang warung nasi tempat mereka berkumpul. Aku hendak mencari minum dan rokok.

Ngapain malam-malam begini perempuan-perempuan itu masih di luar rumah? Sebuah tanda tanya besar menohok kepalaku. Aku tahu persis, Mona bukanlah pegawai pabrik keramik yang ada di sekitar tempat itu.

Kulihat seorang perempuan lagi, sebut saja namanya Ani, yang kukenal saat menikahkan keponakannya seminggu silam. Perempuan hitam manis itu sibuk membenahi tank top-nya yang ketat dan pendek agar tak terlihat ujung CD-nya. Kudengar suara Ani yang paling aktif mengumbar kata-kata mesum seolah hendak memikat dua laki-laki yang sedang mereka kerubuti.

Seusai menghabiskan sebatang rokok, aku pun segera meninggalkan tempat itu dan menaiki motor ojek yang sedari tadi sudah menunggu. Kelamaan di situ, bisa-bisa aku dicurigai sedang mencari-cari “kupu-kupu kertas” yang memang berkeliaran mencari mangsa. Demikian aku membatin.

Beberapa hari selepas kejadian itu, aku memperoleh cerita dari teman-teman kantor yang memang bertetangga dengan Mona dan Ani. Si Mona sudah dipensiunkan sebagai istri gelap oleh mantan suami, seorang polisi yang bertugas di Jakarta. Sedangkan Ani sudah di-PHK dari status sebagai istri simpanan oleh mantan suami yang bekerja di sebuah instansi pemerintah. Kedua janda muda berparas menawan itu memang suka berjaja cinta. Aha! Benar dugaanku. Untung saat itu langsung pergi.

***

Setelah 10 tahun lebih tinggal di kampung istriku, kini aku bisa membaca realitas sosial yang terjadi. Kemiskinan, tipisnya keimanan, dan rendahnya pendidikan, merupakan tiga faktor yang sering menjerumuskan banyak perempuan ke dunia prostitusi. Kalau ada perempuan bertampang klimis, hanya tamat SD, dari keluarga miskin dan bukan kalangan santri, niscaya ia menjadi sasaran empuk para germo yang sering mencari “bibit-bibit baru” hingga ke pelosok desa.

Seperti beberapa kasus yang kuketahui, si perempuan dan orang tuanya yang letih dihajar kemiskinan akhirnya merelakan sang anak “dididik” sang germo. Jika masih belia, ia bisa “disekolahkan” ke Mangga Besar atau Batam. Jika betul-betul bertampang jelita bak Luna Maya, ia pun langsung diekspor ke Jepang atau Malaysia. Namun jika sudah mulai berumur, seperti Mona dan Ani, si perempuan harus turun kelas menjadi kupu-kupu kertas untuk konsumen lokal.

Hasil jerih payah mencari nafkah di Jakarta atau Batam lantas digunakan demi memperbaiki rumah mereka yang lebih pantas disebut gubuk derita. Saat rumah sudah dibangun mentereng dan kebutuhan sehari-hari tercukupi, ternyata kebanyakan para perempuan alumni Jakarta dan Batam itu tak jua pensiun sama sekali. Mereka sudah menikmati enaknya membuka usaha penyewaan “selimut hidup”.

Berbekal pengalaman melanglang buana di luar kampung, para alumnus itu mencari bakat-bakat baru untuk diterjunkan di “pasar global gombal”. Jika sang ibu sudah pensiun, secara tidak langsung ia mendidik anaknya menjadi kupu-kupu kertas pula. Jika sang anak memiliki adik perempuan yang mulai beranjak remaja, ia pun segera dikaryakan sebagai tambang emas baru. Maka tak aneh jika satu keluarga mengelola bisnis sawah sepetak tersebut. Ibu, ayah, suami, kakak, adik, akhirnya mewarisi turun temurun bisnis keluarga itu.

Terkadang ada juga kupu-kupu kertas yang berhenti mengepakkan sayapnya untuk memikat sang kumbang. Seorang pangeran kaya raya dari negeri seberang rela melabuhkan cintanya di haribaan sang kupu-kupu. Lingkaran kemiskinan dan kerja nista itu pun terputus. Namun jika sang pangeran bosan lantas kembali ke negaranya atau ia dikhianati oleh si kupu-kupu, lingkaran nista itu kembali tersambung. Ah, aku jadi teringat sabda Nabi Muhammad, “Kemiskinan bisa nyaris menjadi kekufuran.”

Akhirnya, buat Anda yang dianugerahi anak perempuan, didiklah ia dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ia jatuh ke tangan pendekar yang berwatak jahat. Jika Anda perempuan, jagalah kehormatan Anda dengan sebaik-baiknya. Kalau perlu dengan sistem pengamanan berlapis. Karena ia didesain secara ekslusif oleh Sang Pencipta khusus untuk suami Anda. Jangan diserahkan kepada calon suami, apalagi calon pacar!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

21 Komentar

  1. oow, ini cerita tentang lagunya ebiet G ade toh..hehehe..

    Nggak juga, sih. Saya cuma sedang bercerita tentang realitas prostitusi lantas mengaitkannya dengan lagu Ebiet G. Ade. Kayaknya pas aja dengan isi lagu yang berjudul Kupu-kupu Kertas itu.
    Makasih sudah mampir, Andre. Mudahan saya bisa berkunjung balik.

  2. Betul Pak, yang lebih menyedihkan lagi, banyak orang tua sekarang membiarkan anaknya berpakaian seperti “kupu-kupu” itu. Mungkin mereka malah bangga dengan predikat “seksi” yg disematkan pada anak-anaknya. ckckck

    Saya jadi teringat ibu artis Lula Kamal yang barusan menikah dengan Christian Hadiono. Sang ibu berpakaian tertutup rapi dengan jilbab. Sang anak berpakaian seksi berada di samping sang ibu. Kok bisa, ya? Sang ibu kayaknya bangga banget. Sungguh kontradiktif.

  3. wah baru liat nih, blognya. Mas hati-hati ya pengamatannya di tempat tersebut. ada sih kisahnya. Gimana ya caranya
    Kawanku aja yang dulu sering ngisi taklim di tempat pelacuran
    ya mereka hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

    Jadi gimana nih?

    Insya Allah, saya akan hati-hati. Sebenarnya saat itu saya tidak sengaja berada di tempat itu, karena pulang kemalaman. Saya juga nggak berani masuk dengan sengaja untuk melakukan pengamatan ke sarang kupu-kupu kertas.
    Sampai sekarang, juga masih ada teman-teman saya yang memberikan pengajian rutin di tempat lokalisasi. Apapun hasilnya, yang penting kita berdakwah. Persoalan hidayah kita serahkan kepada Allah.

  4. Cerita di atas menggambarkan wanita-wanita asal sebuah kota di perbatasan Jabar dan Jateng bukan?

    Kemiskinan dan kebodohan, dua hal itulah yang banyak menjerumuskan umat ini ke dalam lubang-lubang nista.

    Liputan tentang satu keluarga yang memiliki bisnis ‘menjual cinta’ pernah beberapa kali saya lihat di liputan acara TV dan sepertinya untuk beberapa daerah, hal tersebut justru menjadi gengsi tersendiri tanpa mempedulikan hukumnya dalam ajaran agama.

    Mudah-mudahan ada cahaya hidayah yang dapat masuk menembus hati mereka sehingga ketika ajal menjemput, dirinya sudah tidak lagi dalam keadaan sebagai penjaja cinta.

    Kang Ja’far, seperti kebiasaan Alquran, penyebutan nama, tempat, waktu dari sebuah kisah tidak terlalu penting. Yang penting adalah pesan moralnya. Saya juga tidak ingin dituding menjelek-jelekkan daerah tertentu.

    Memang beberapa kali ada liputan. Saya juga pernah diwawancarai untuk persoalan itu oleh sebuah stasiun tv. Tampaknya persoalan itu memang PR yang belum tuntas bagi pemerintah setempat dan seluruh komponennya.

    Ya, kita doakan hidayah itu menyinari kalbu mereka sebelum ajal menjemput saat mereka masih bergelimang nista.

  5. Terkadang hal itu juga sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, dan merupakan jalan pintas untuk dapat segera keluar dari kemiskinan tsb.

    Padahal segala macam penyakit menunggu, tanpa disadari. Pendidikan agama, akhlak dan budi pekerti, benar-benar harus diajarkan sejak bayi lahir, agar betapapun miskinnya, kita masih punya harga diri dan keimanan untuk tak terjun pada area yang sangat melanggar ketentuan dan agama tsb.

    Jerat kemiskinan yang begitu kuat sering membuat orang mencari jalan pintas, termasuk dengan cara seperti di atas. Jika para penguasa bisa menyejahterakan rakyatnya, saya yakin kejadian tersebut bisa diredusir sekecil mungkin.

    Tentang pendidikan akhlak dan agama, bagaimana bisa kupu-kupu kertas mengenal agama dan akhlak, jika orang tua mereka sendiri tidak mengenal agama?

  6. Bagi saya, kemiskinan tidak jadi alasan untuk MENGAGADAIKAN ANAK-ANAK. MAsih ada acara untuk menghadapi kemiskinan itu. Tuhan maha pemurah dan kita harus meyakini itu…

    Saat para orang tua tidak memiliki keyakinan bahwa Tuhan Maha Pemurah, saat itu pula mereka pun rela menggadaikan anak-anak mereka.

  7. prostitusi memang sangat erat kaitannya dengan masalah keimanan dan kemiskinan, mas rache. konon, praktik anomalis sosial semacam ini tergolong perilaku yang tertua. selalu saja ada di setiap zaman dan peradaban. semoga saja saudara2 kita jangan sampai terjebak ke dalam lingkaran kupu2 kertas seperti itu.

    Betul, prostitusi termasuk merupakan pekerjaan tertua. Selalu saja ada di setiap zaman dan peradaban. Setiap ada kesetiaan, ada pula pengkhianatan. Ada yang mensucikan seks, ada pula yang merendahkannya. Ya, alam semesta memang diciptakan berpasang-pasangan oleh Tuhan agar kita bisa saling bercermin dan mengingatkan.

  8. saya juga sudah meniatkan untuk menjaga putri saya nanti dengan menanamkan nilai2 kemuliaan perempuan sejak kecil, agar tidak menjadi kupu2 kertas seperti yang diceritakan diatas….

    terima kasih ya mas untuk berbagi ceritanya.. 🙂

    Ya, jagalah putrinya Mas Harsa. Mudahan senantiasa dibimbing oleh-Nya.
    Saya juga berterima kasih, Mas Harsa sudi berkunjung ke sini.

  9. lama sudah saya mendengar kabar miring yang kadang susah saya percaya. tapi memang demikiankah cerita dan beritanya pak? waduh…

    Awalnya, saya juga sulit mempercayainya. Tapi ketika mengetahuinya langsung, mau tidak mau saya percaya.

  10. huffft…
    sepertinya itu sudah tak bisa lagi disalahkan..
    kita lihat seberapa banyak kita menentang, sebanyak itu juga yang mendukung, bisa kita lihat dari lagu2, kupu2 kertas, kupu2 malam, kisah seorang pramuria. betapa pekerjaan itu menjadi halal ntah disertifikasi oleh siapa( apa ).

    btw,kata² “sepetak sawah” itu terlihat kurang pantas tuh! 🙂

    perbandingannya sama dengan Operasi Bunga yang dilakukan POLRI,

    penasaran ?
    follow me

    kalau nggak!

    just let me keep appreciate it

    😀

    Lingga, kerasnya kontroversi terhadap sesuatu masalah bagiku tidak harus membuat pandangan seseorang menjadi kabur dalam memilah dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Saya tetap meyakini, minimal berdasarkan keyakinan yang saya anut, pekerjaan kupu-kupu kertas itu tidaklah halal. Tuhan menganugerahkan manusia akal fikiran dan nurani yang bisa membuatnya bisa bebas memilih jenis pekerjaan yang ia kehendaki.

    Tentang istilah “sawah sepetak”, mohon maaf jika kurang pantas. Saya akan pertimbangkan untuk mengeditnya. Istilah itu saya pungut dari ucapan seorang PSK sendiri yang diwawancarai oleh sebuah koran.

  11. Dasyat pak
    Saya pun miris
    Kemiskinan plus tipisnya iman adalah hal yang seringkali menjadi muasal
    Tapi benar pak, kurangnya didikan dan teladan di keularga serta pergaulan yg salah bisa membawa mereka ke lembah nista.
    Sulit untuk berubah meski ada pangeran yang berusaha menolongnya.
    Itu karena hati mereka menutup pintu hidayah

    Makasih, Kang Achoey.
    Realitas tersebut mudahan bisa jadi cermin bagi kita untuk saling mengingatkan. Mereka yang terjerembab ke lembah nista juga saudara-saudara kita yang perlu dibimbing. Meski memang bukan hal yang mudah. Kita juga harus senantiasa menjaga keluarga kita sendiri agar tidak ikut silau dengan godaan duniawi lantas menghalalkan segala cara.

  12. Di suatu daerah sampai muncul joke.
    Kalau lahir anak laki2, bapaknya yg sedang mencangkul disawah dikasih tahu : “Pak anak nya lahir laki2” teriak sodaranya, jawab bapak “ah biarin” sambil terus cangkul.
    Tapi jika yg lahir perempuan si bapak lari langsung pulang, sambil bicara dalam hati “lumayan nanti bisa “dikaryakan” hehehhehe.
    Profesi Paling Tua dimuka bumi……

    Mudahan joke itu tidak betul-betul terjadi, Mas Jamal. Saya juga prihatin, saat mengetahui ada orang tua yang tega “mengkaryakan” anaknya.

  13. Aha! Inilah profesi yang cukup tua di dunia.

    Rasanya betul, Mas Racheedus, 3 faktor itu (kemiskinan, tipisnya keimanan, dan rendahnya pendidikan) cenderung menjadikan manusia mengambil praktisnya saja.

    Aku kerap mendengar image miring tentang daerah pantura situ. Sungguh terkenal. Meski tak bisa dinafikan, profesi seperti itu nyaris ada di mana-mana. Namun mengapa daerah situ cukup santer dan kuat image-nya ya.

    #

    Eh Mas, yakin tuh si Mona pakai pasta Pepsodent? Tau dari mana sih, Mas? Jeli betul.

    Image itu terbentuk karena memang faktanya ada, meski tidak bisa dikatakan fakta itu mencerminkan seluruh masyarakatnya. Hal itu hanyalah fenomena segelintir masyarakat. Justru lebih banyak yang tidak terjebak dalam lembah nista itu. Kuncinya memang tiga faktor itu.

    Senyum Pepsodent Mona? Hmm, saya kan dapat wangsit dari Mbah Jambrong. He…he…

  14. kenapa perempuan yang keluar malam, berada di sekitar lelaki genit, memamerkan aurat, cekikikan sambil melontarkan kata-kata mesum selalu identik dengan prostitusi? ya iyalah, udah jelas banget kali.

    semisal pun tadinya mas racheedus salah, perilaku semacam itu tetap tak bisa dianggap wajar. apalagi bila ternyata dugaan benar. untung mas racheedus tak tergoda untuk lebih lama bercengkrama di sana, meskipun status kedua orang itu warga sekampung yang dikenal.

    ya, prostitusi adalah profesi yang sudah memfosil, ada sejak dulu kala karena ia mengalkomodasi insting primitif manusia.

    ngetik-ngetik nih, emang mas racheedus dari mana aja pulang selarut itu? curiga nih. jangan-jangan…
    hehe… becanda, ah!

    Waduh! Bahkan saya tidak sempat bercengkerama, Uni. Sekedar say hello doang. Nggak enak juga, mereka kan kenal denganku dan memang satu kampung.
    Pulang selarut itu? Dari Jakarta, Uni, bertemu sama temen-temen sekampus dulu. Ada yang jadi tokoh partai dan ada yang jadi tokoh penting di birokrasi pusat. Silaturahmi, kangen-kangenan sambil membangun koneksi. Hi….hi….

  15. ikut nimbrung nih…. Kapan kita ke warung itu lagi ??? soalnya pengamatannya belum selesai tuh keburu pulang!!!!!……… hehehehe……Memang diperlukan keberanian untuk berdakwah kepada mereka, diperlukan format yang menyentuh, bukan pola dakwah yang konvensional. Aku kadang juga berfikir darimana mulainya…..teori dan metodologinya sudah ada, pisaunya sudah siap cuman link, network and temwork dari semua elemen tuh yang rada kedodoran…Mudah-mudahan aku termaafkan !!!!!!

    Monggo, Tad. Tinggal kita atur jadwalnya. Memang perlu cara non-konvensional untuk mendekati mereka. Mereka kan memang lahan dakwah antum.