Alkisah, suatu hari Aisyah RA, istri Nabi Muhammad, pernah “menikahkan” seorang perempuan keponakannya yang bernama Hafsah binti Abdurrahman. Sang Ummul Mukminin menikahkan Hafsah dengan seorang lelaki bernama al-Mundzir bin az-Zubair bin al-Awwam. Saat itu, ayah Hafsah, Abdurrahman yang notabene merupakan saudara laki-laki Siti Aisyah, sedang tidak berada di tempat. Sang ayah sedang berada nun jauh di Syam, sebuah wilayah kuno yang sekarang merujuk kepada negara Syiria, Yordania, Lebanon, dan Palestina.
Sepulang dari Syam dan kembali ke Madinah, Abdurrahman pun marah mengetahui anak perempuannya menikah tanpa sepengetahuannya. “Apakah orang sepertiku ini memang harus diperlakukan demikian? Tidak dianggap keberadaanku dalam masalah ini?” seru Abdurrahman dengan geram.
Mengetahui Abdurrahman marah, Aisyah pun berbicara mendudukkan masalah yang sebenarnya. Suasana hening.
Lantas al-Mundzir berkata, “Keputusan tetap berada di tangan Abdurrahman.”
Sejurus kemudian, Abdurrahman berkata kepada Aisyah. “Sungguh, aku tidak bermaksud menolak masalah yang telah engkau putuskan.”
Akhirnya, Hafsah memilih untuk tetap meneruskan pernikahan dengan al-Munzhir. Perselisihan itu tidak menjadikan keduanya bercerai.
Kisah di atas terdapat di beberapa sumber, seperti as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (VII/112), Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar karya al-Baihaqi (XI/231), al-Muwaththa’ karya Imam Malik (IX/499), Syarh Ma’ani al-Atsar karya ath-Thahawi (III/VIII).
Kisah ini dijadikan salah satu dasar bagi mazhab Hanafi untuk membenarkan pendapat mereka. Pendapat itu adalah bahwa pernikahan tetap sah meski tanpa wali selama masih terdapat kafaah (kesetaraan) antara pengantin lelaki dan perempuan. Demikianlah pendapat yang dikemukakan oleh as-Sarkhasi, salah satu ulama Hanafiyah, dalam kitab-nya berjudul al-Mabsuth (IV/75).
Salah seorang sejarawan Islam, al-Waqidi, dalam ath-Thabaqat (VIII/468) menyebutkan pula kisah Aisyah RA tersebut. Namun dalam penjelasannya, al-Waqidi menyebutkan bahwa ketika Abdurrahman tiba dari Syam, ia tidak memperbolehkan hal itu. Ia menolak tindakan saudaranya, Siti Aisyah. Setelah terjadi polemik, akhirnya keputusan diserahkan kepada Abdurrahman, sebagai orang tua Hafsah. Selanjutnya, Abdurrahman pun akhirnya menikahkan ulang Hafsah dengan al-Mundzir.
Menurut al-Waqidi, pernikahan Hafshah dan al-Munzhir berlangsung sekian lama, sehingga melahirkan tiga orang anak yang bernama Abdurrahman, Ibrahim, dan Qaribah. Setelah itu, keduanya bercerai. Hafsah kemudian menikah lagi dengan putra dari Ali bin Abi Thalib, yaitu Husain.
Mengomentari kisah tersebut, al-Baihaqi berpendapat bahwa saat itu Aisyah bukanlah menikahkan Siti Hafsah. Namun yang terjadi adalah bahwa Siti Aisyah mempersiapkan pernikahan keponakannya tersebut. Pihak yang menjadi wali dalam akad nikah tersebut bukanlah dirinya. Ia hanyalah mempersiapkan akad nikah. Nama istilah “menikahkan” (tazwij) disandarkan kepada Aisyah dengan seizin dirinya. Tindakan persiapan pernikahan itulah yang menyebabkan istilah “menikahkan” disandarkan kepada Siti Aisyah (as-Sunan al-Kubra: VII/112).
Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathul Baari (IX/186) juga mengomentari kisah tersebut. Menurut Ibnu Hajar, Siti Aisyah tidaklah secara langsung melaksanakan akad nikah keponakannya itu. Tampaknya bahwa perempuan keponakannya itu adalah seorang janda. Sang keponakan menuntut adanya kedudukan yang sekufu dengan calon pengantin laki-laki. Di sisi lain, ayahnya sendiri sedang tidak berada di tempat. Akhirnya, perwaliannya pun berpindah ke wali yang lebih jauh (al-ab’ad) atau kepada penguasa(sulthan).