Setiap orang biasanya memiliki minat, kesukaan, atau hobi pada hal-hal tertentu. Saat melakukan hal-hal yang menjadi minat, kesukaan, atau hobi itulah, mereka pun memperoleh semacam kenikmatan jiwa. Karena kenikmatan itulah, maka mereka pun cenderung untuk mengulang melakukan kesukaan tersebut. Saat intensitas pengulangan itu semakin tinggi, saat itu pula ada hal-hal yang terkorbankan. Ketika banyak hal yang menjadi korban, kita pun menjadi tersadar, kesukaan tersebut tidak lagi sepenuhnya menuai kenikmatan jiwa, tapi juga menggerogoti jiwa.
Orang yang memiliki minat terhadap mobil antik, dia pun rela berkorban banyak harta bendanya. Di mana pun ada berita mobil antik, ia akan kejar meski harus mengeluarkan biaya tak sedikit. Meskipun ia juga harus mengorbankan waktu untuk pekerjaan resminya sehari-hari, kebersamaan dengan keluarga, bahkan beribadah untuk Sang Pencipta. Saat korban mulai berjatuhan, ia pun menuai nelangsa dalam jiwa. Betapa tidak, bos di kantor marah-marah, karena ia bolos kerja untuk mengejar mobil antik. Istri marah-marah karena uang belanja ikut tersedot untuk membeli si mobil antik. Ibadah pun jadi kocar-kacir karena sibuk dalam perjalanan guna mengejar mobil impian.
Padahal sering kali yang menjadi korban itu, justru hal-hal yang menjadi keharusan atau kewajiban untuk dilakukan. Bukankah melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan sebaik-baiknya adalah sebuah kewajiban yang mestinya menjadi prioritas? Bukankah memenuhi kebutuhan belanja keluarga adalah sebuah keharusan bagi seorang kepala rumah tangga? Bukankah melaksanakan kewajiban ibadah sesuai dengan keyakinan yang dianut adalah sesuatu yang sudah semestinya?
Dengan demikian, kesenangan justru mengalahkan kewajiban. Dalam ungkapan lain, sesuatu yang “tidak” penting mengalahkan sesuatu yang penting. Pada titik inilah, kita pun menjadi orang yang tidak adil dalam menjalani hidup. Ada ketidakseimbangan hidup yang kita jalani, sehingga bisa menimbulkan kesengsaraan dan kegelisahan dalam relung jiwa. Untuk itulah, perlu kearifan dalam memperlakukan minat, kesenangan, atau hobi tersebut. Kita memang harus menempatkan sesuatu sesuai dengan skala prioritasnya.
Kesenangan juga tidak hanya berkaitan dengan minat atau hobi, tapi juga dengan kecenderungan manusia. Kita sering menyenangi atau menyukai sesuatu, meski sebenarnya apa yang kita senangi atau kita sukai adalah sesuatu yang terlarang, atau paling, tidak tercela. Manusia memang dianugerahi hawa nafsu oleh Sang Pencipta. Dengan hawa nafsu itulah, manusia sering menyukai sesuatu yang sekilas menimbulkan kenikmatan, tapi pada hakikatnya justru menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesengsaraan.
Kita bisa mengambil contoh seks. Secara alamiah dan manusiawi, semua orang menyukai seks. Sebagian orang memperlakukan seks sebagai sesuatu yang sangat disukai sehingga nyaris menjadi orientasi hidup. Sebagian orang memperlakukan seks sebagai sebuah aktivitas yang bebas dilakukan dan tak perlu dibatasi hanya dalam ikatan rumah tangga. Saat suka sama suka, dan “tidak merugikan orang lain”, maka seks pun dilakukan tanpa mengindahkan aturan agama dan negara.
Kenikmatan yang dihasilkan oleh seks menjadi daya dorong kuat bagi banyak orang untuk kembali melakukannya. Saat kesukaan terhadap seks telah menjadi candu yang melenakan, sehingga mengorbankan aturan dan hukum yang berlaku, saat itulah orang pun terbakar dalam kobaran api derita yang nyaris tak kunjung padam. Derita itu bisa berwujud berbagai penyakit kelamin, pengkhianatan, anak yang terlahir tanpa status hukum jelas, dan lain-lain.
Semua yang diciptakan oleh Sang Kuasa dan semua yang terjadi di alam semesta ini tak ada yang sia-sia. Semua pasti ada hikmah, nilai positif atau manfaat yang bisa diambil. Bahkan jeratan dari kesukaan, minat atau hobi itu pun juga memiliki nilai positif. Persoalannya adalah tergantung bagaimana kita bisa bersikap adil dalam menempatkan secara proporsional sesuai dengan skala prioritas dan aturan yang berlaku. Demikianlah, yang seharusnya (das sollen). Tapi bagaimana yang terjadi (das sein)? Mungkin masih jauh panggang dari api. Saya sendiri masih harus terus belajar. Bagaimana dengan Anda?
kita memang harus bisa mengendalikan hawa nafsu kita..
memang bila akan melakukan suatu prbuatan sebaiknya berpikir dengan jernih
sehingga tau resiko yg akan terjadi
memang perlu mengelola emosi dan nafsu kita
Idul adlha dah lama lewat koq masih banyak yang terqurbankan ya kang? Aduh ini mobil antiknya cantik sekali, mau aku qurbankan tahun depan ahh… Aduh manusia… Mengejar tapi malah dikejar, kalo capek berlari ya jalan kaki aja kan lebih enak santai. Mau pake kendaraan, meski harga turun tapi bensin tetep susah karena antrian padat. Akhirnya SBY-JK “Susah Bensin Ya Jalan Kaki”. Memang kadang aneh2 bener, wajib dilupakan makruh didulukan. Allah aku cinta engkau
“Makan Minum lah tapi jangan berlebihan” demikian gusti allah mengingatkan. kenapa makan minum ? “mungkin” saja gusti allah mau mengatakan, semua urusan dunia itu berpangkal pada perut dan dibawah perut.
salam ,
tabik
sebuah renungan…kok tulisan ini untuk saya banget ya…
Kalo kata urang Banjar :
“tedehulu Selasa pada Senin…”
😀
Sama Pak, saya juga masih belajar. Salah satunya belajar dari Bapak 🙂
Cenderung kepada yang enak-enak adalah fitrah dari manusia tapi seperti halnya dua hal yang berpasang-pasangan, maka agama pun mengatur kecenderungan kepada yang enak-enak itu.
Seperti halnya ada hak maka disitu ada pula kewajiban. Tunaikan hak akan hobi kita tentang sesuatu tapi jangan lupakan kewajiban kita. Tunaikan hak kita untuk bersenang-senang, tapi jangan lupakan kewajiban kita baik sebagai manusia maupun sebagai hamba Allah.
Alangkah indahnya jika kita semua mampu untuk menunaikan hak yang kita miliki sekaligus tetap mengerjakan kewajiban yang juga harus kita penuhi.
kenapa yang enak-enak.. itu diharamkan? *kata rhoma irama* 😀
enak kan ada madharatnya lebih besar
mmm… gimana dengan orang yang harus dan terus saja melakukan semua kewajibannya untuk semua, baik itu keluarga, pencipta (,agama, bangsa dan negara… haiyaah… 😀 ) karena tuntutan dan kesadarannya akan tanggung jawab itu, sedangkan untuk sedikit saja meluangkan waktu dan dana buat klangenannya, yang notabene adalah sekedar hiburan nggak bisa. pernahkah membayangkan bagaimana nelangsanya dia ?
kesenangan memang menjadi distraksi yang menarik dari rutinitas hidup yang monoton. namun saat kesenangan sudah beralih menjadi aktivitas rutin, dia pun jadi kehilangan daya tariknya.
jadi biarkanlah kesenangan memiliki tempatnya sendiri, tak perlu dijadikan keharusan. namun kalau saya harus melakukan hal-hal yang bikin senang terus, nggak bakal nolak deh. hehe…
kesenangan memang memngandung zat adiktif, mas rache. ia bisa menjadi candu buat mereka yang ndak bisa mengontrol diri. perselingkuhan dan seks bisa jadi akan menduduki rank ksenangan yang pertama, sampai2 utk melampiaskannya, tak jarang di antara mereka yang mesti berusrusan dg pihak yang berwajib, belum lagi kelak kalau harus dimintai pertanggungjawaban di alam sana kelak.
kesenangan tanda kutip sexs adalah menjadi tidak wajar bila dilakukan tidak secara fitrah (baca : secara halal) dan bukankah disetiap tempat ada norma hidup yang berlaku dan setiap agamapun sudah ada aturan mainnya.
jadi memang kita harus menahan sesuatu yang tidak pada tempatnya . kalo mobil antik bagus juga tuh .Pak kawanku ada yang mau jual kalo ada yang berminat hubungii email saya pak. Serius kok pak
Setuju bang.
Saat ini Bendol masih belajar mengendalikan hawa nafsu.
Kita hrus bisa menghindari kenikmatan sesaat, biar pada saatnya mendapatkan kenikmatan yang abadi.
tentunya semua tergantung referensinya mas, bukannya saya tidak percaya, namun memang jika sesuatu hal ada referensi dari teman atau guru atau apalah jelas membuat lebih menarik dan menantang, adapun pilihan memang juga tergantung referensi dan pengalaman kita sendiri pula, seks atau puasa, nikmat yang mana, ekstase karena narkoba atau ekstase karena cinta pada tuhan… yah semua tergantung kepada filter kita masing-masing juga, sangat sulit untuk dinalar pula …
Melakukan hobi atau hal yang disukai memang menyenangkan, tetapi tetap harus seimbang.
Saat masih bekerja, uang sangat cukup, bisa beli buku berapapun, tapi waktu untuk membaca yang tak cukup…jadi bacaan prioritas terkait dengan bidang pekerjaan…dan bisa membaca ringan saat turne, pas malam2 tidur di hotel, yang karena bukan rumah sendiri sering susah tidur.
Sekarang, karena sudah pensiun, uang lebih terbatas, apalagi penghasilan berdasar proyek, dan uang pensiun kecil. Tentu hobi harus disesuaikan….waktu sangat cukup untuk membaca apa aja, tapi uang terbatas.
Yahh itulah manusia….selalu ada batasan, sedang keinginan tak terbatas
uhuy…
bener bgt….
setiap org mepunyai kesukaan spti gadis spti saia yang suka pada BiNTaNg….
mkch….
betul, memang banyak kesenangan seseorang yang diharuskan tanpa seseorang tersebut melihat resiko yang nantinya akan terjadi entah ersiko terhadap orang lain atau resiko bwat diri sendiri!
Salam dari puang cahaya for president
kalau aku jadi presiden, orang miskin tidak boleh di kalahkan
apa yang kau perjuangkan
Katanya negeri ini, tidak menganut ekonomi kapitalis/neo liberal.
Tapi kenapa pasar moderen tumbuh subur di negeri ini, dan pasar tradisional makin hari makin punah.
Ke kayaan alam negeri ini yang bersifat fital telah kau serahkan kepada segelintir orang.
kenapa harga-harga merangkak naik dari hari ke hari membuat rakyat makin melarat.
Apakah itu namanya “”ekonomi kerakyatan” ??????
APAKAH INI YANG HARUS DI LANJUTKAN ?????
kenapa engkau terus membohongi kami, apakah engkau tidak takut yang namanya hari pembalasan dari Yang Maha Kuasa.
(koment ini jangan di hapus ini suara rakyat, ini fakta bukan gosip, apa lagi kampanye hitam )
http://puangcahaya.dagdigdug.com
Saat ini arus pemikiran global seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme begitu deras menerpa keseharian kita.
Tanpa filter yang kuat, akan banyak yang terbawa arus tersebut. Lihatlah bagaimana iklan di media massa dan elektronik menawarkan beragam produk dan jasa.
Salam,
Akmal
Leres pisan