Kertas Suara Masuk Guinness World Records

Terus terang, saya sumpek melihat banyak sekali partai. Membuat gaduh rimba persilatan politik di negeri ini. Membuat rakyat bingung untuk memilih. Nah, berdasarkan SK dari Mbah Jambrong, saya pun bergaya menjadi pengamat pemilu nggak profesional. Dari pengamatan di TPS tempat saya memilih, banyak sekali partai gurem yang tak mendapat satu suara pun! Lembar pengumuman hasil perolehan yang ditempelkan menjadi banyak yang kosong melompong! Sungguh mubazir alias pemborosan anggaran negara!

Bayangkan, berapa banyak anggaran negara dihabiskan untuk mencetak kertas suara yang terbesar di dunia. Saat dibuka dan dibentangkan, kertas suara melebihi ukuran bilik suara. Soal kerahasiaan dalam memilih pun menjadi terabaikan. Mestinya kertas suara yang super jumbo itu masuk Guinness World Records agar menjadi salah satu “keunikan” dan “kehebatan” Indonesia.

Bacaan Lainnya

Mungkin, pihak KPU perlu memberitahukan pihak Guinness World Records agar kertas suara pemilu kali ini masuk dalam rekor dunia. Tentu saja kalau pihak KPU sudah santai dan tidak repot lagi. Namun, kapan santainya, ya? Lha, wong, soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) saja membikin mules perut dan belum kelar-kelar. Masih segunung persoalan yang perlu dibereskan pihak KPU.

Kertas suara yang digunakan sekarang sudah tidak menempelkan foto caleg, tapi hanya nama caleg serta logo dan nama partai. Bayangkan, kalau kertas suara itu juga menyertakan foto caleg full colour. Wah, betul-betul tak bisa dibayangkan, betapa besarnya kertas suara. Untuk urusan membuka dan melipatnya saja bisa memerlukan 5 menit lebih. Belum urusan mikir, memelototi foto caleg, dan mencontrengnya.

Dari urusan kertas suara itu, mestinya negara bisa menghemat anggaran negara miliaran rupiah jika jumlah partai dan caleg tidak bejibun seperti sekarang. Negara sepertinya kalah saat berhadapan dengan ambisi tengik para politisi yang memaksakan kehendak untuk mendirikan partai dan mengikuti pemilu. Padahal partai tersebut hanya itu-itu saja. Hanya nama saja yang dimodifikasi sedikit. Orang-orangnya pun tak banyak berganti. Istilah kerennya, 4 L (lu lagi, lu lagi)!

Partai pemimpin partai gurem itu mestinya berkaca dengan hasil pemilu. Partai kalian tidak seksi dan tidak merangsang! Hanya segelintir rakyat yang memilih partai-partai asing tersebut. Itu pun karena rakyat salah coblos atau ngawur karena tidak tahu yang cara mencontreng yang benar atau karena bingung memilihnya.

Kalau memang para tokoh partai itu merasa diri mereka berkualitas, memiliki idealisme, dan mempunyai tekad membangun bangsa, lebih baik bergabung saja dengan partai besar yang sudah dikenal rakyat. Bersaing saja secara fair dengan tokoh partai yang ada. Jangan karena ambisinya tidak digubris dan kalah dalam persaingan di internal partai, lantas mendirikan partai baru. Kalau setiap pemilu, muncul lagi partai dari orang-orang BSH (Barisan Sakit Hati), lantas kapan kita dewasa dalam berdemokrasi? Saya khawatir, sebenarnya yang tidak siap berdemokrasi adalah para tokoh partai itu, bukan rakyat jelata di akar rumput.

Puji Tuhan, sekarang ada peraturan parliamentary threshold yang mempersyaratkan suara minimal 2,5% agar sebuah partai bisa mengirimkan calegnya untuk nangkring di kursi DPR di Senayan. Kalau memang tidak mencukupi angka itu, mau tidak mau partai itu harus gulung tikar dan mencatatkan diri dalam sejarah perpolitikan Indonesia sebagai partai gurem yang tidak laku!

Menurut saya, berdasarkan wangsit yang diterima Mbah Jambrong, angka minimal 2,5% parliamentary threshold itu justru perlu diperbesar dalam pemilu mendatang menjadi minimal 5 %. Dengan demikian, diharapkan jumlah partai menjadi ramping dan seksi sehingga tidak memberatkan anggaran negara dan tidak membuat puyeng rakyat dalam memilih. Tidak perlu cara pemaksaan seperti zaman Orde Baru yang harus berjumlah tiga partai. Biarkan partai-partai gurem itu melakukan fusi secara alamiah jika tak memenuhi angka 5 % parliamentary threshold .

Layaknya bikini ketat yang hanya menutupi “barang-barang” penting, sistem politik kita memang perlu aturan pembatasan jumlah partai yang lebih ketat. Dengan demikian, para tokoh yang memilihi syahwat kekuasaan yang besar namun tidak dikenal rakyat, menjadi berpikir 100 kali untuk mendirikan partai. Biarkan berahi politik mereka disalurkan ke partai-partai besar yang memang telah mapan dan dicintai rakyat. Silakan mereka melakukan pergulatan politik yang fair dalam sebuah partai besar yang ada, tanpa harus membuat gaduh dengan mendirikan partai baru. Dengan demikian, diharapkan akan tersaring dengan ketat caleg-caleg yang betul berkualitas. Tidak seperti pemilu legislatif sekarang. Ada caleg dari pengamen, preman, tukang becak, tukang pijit, tukang bakso, kuli panggul di pasar, dan artis yang bisanya cuma make gincu tebal doang. Ancur, deh!

Tapi para pemimpin partai itu bisa saja menuding, politik pembatasan partai itu adalah bentuk pengekangan hak warga negara untuk berpolitik. Atau juga bisa dituding sebagai bentuk penindasan mayoritas terhadap minoritas. Atau, dituduh sebagai hukum rimba politik di mana siapa yang besar dan kuat mengalahkan yang kecil dan lemah. Ah, bagiku tidak seseram itu. Di negara liberal dan paling demokratis sekalipun, seperti Amerika Serikat dan Inggris, partai politik yang ikut pemilu hanya dua biji. Mengatur tidaklah berbanding lurus dengan mengekang. Kalau semua warga negara menginginkan haknya tak ada yang membatasi, mending mereka ke laut aje dan dirikan negara sendiri bersama hiu dan paus.

Kekuasaan memang gadis cantik dan seksi yang banyak menggoda orang. Menjadi pemimpin dan memiliki kekuasaan adalah mengemban amanah besar. Tanpa menafikan kekuasaan Tuhan, nasib rakyat banyak ditentukan oleh mereka. Sayang sekali, banyak pula orang yang tidak berkaca terhadap kemampuan dan kualitas diri sendiri. Yang penting maju dulu. Kalah menang, urusan belakang. Kalau menang, malah jadi koruptor baru yang siap diburu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kalau kalah, malah masuk Rumah Sakit Jiwa karena hutang yang segerobak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

37 Komentar

  1. Hahaha…saya milang-milingnya lebih dari 5 (lima) menit..tetap bingung…akhirnya yang dicontreng partainya.
    Giliran DPD…cuma wajah aja, tanpa partai, tengok kanan kiri…sebelah senyum2 aja ngledek…ahh akhirnya pilih yang wajahnya paling keren (menurutku lho)…. ternyata lebih keren foto yang dipamerkan dipinggir jalan, dan di pohon saat kampanye.

    Ibu yang educated banget dan pengalaman luas aja, sampai lebih 5 menit lebih milihnya dan akhirnya milih partai saja. Apalagi para orang tua yang buta huruf di tempat saya. Mereka justru bingung mencontrengnya. Akhirnya, kalau tidak dibantu petugas dan disaksikan oleh para saksi, pasti banyak banget suara yang blangko.

  2. Selama peraturan perundang-undangnya belum dirubah kelihatannya tren dengan banyak partai akan terulang dalam pemilu-pemilu berikutnya dan selama ini memang saya maklumi saja banyak dari warga bangsa ini ikut latah mendirikan partai mengingat pengalaman ketika pemerintahan kelam di masa lalu yang membatasi hak perpolitikan rakyatnya. Sehingga begitu kran reformasi dibuka lebar-lebar maka semua pihak ingin menyalurkan aspirasi dan hak politiknya.

    Tapi ke depannya harus ada sebuah aturan undang-undang yang jelas yang dapat mengatur dan merapihkan perpolitikan di negeri kita. Sudah cukup rasanya euforia reformasi yang ‘bebas’ itu dan saatnyalah kita sekarang menata kembali dunia perpolitikan Indonesia.

    Jika sakit hati, berdayakanlah partai yang sudah ada yang nantinya tentu lebih efisien dan efektif dibanding membuat partai baru demi hanya untuk menjaga gengsi semata.

    Memang sudah saatnya kita menghentikan euforia reformasi. Kita harus mengkaji ulang sistem politik dan bernegara kita agar lebih baik.

  3. aduh sayang ana tidak bisa lihat sendiri kertas suara super jumbo dalam pemilu legislatif ….ana jadi TKI di Arab Saudi,sebetulnya ana sudah masuk DPT tapi pada hari H, tidak dapat ijin dari majikan..oh nasib

    Aduh, sayang sekali, ya, Nang. Mudahan di pilpres mendatang bisa mencontreng. Teriring doa, semoga sukses di negeri kelahiran Rasul, dan memperoleh berkah dari-Nya.

  4. analisisnya mantab habis, mas rache. saya juga ndak habis pikir, kenapa pemilu di negeri ini selalu saja bikin persoalan bangsa jadi makin ruwet. apa memang ini harga mahal yang mesti ditebus oleh sebuah negeri yang sedang belajar berdemokrasi? kalau toh itu memang benar, kenapa soal kertas suara saja mesti bikin para pemilih mesti bingung saat mau nyontreng, hehe ….

    Para pembesar negeri ini tampaknya emang punya hobi bikin bingung rakyatnya. He…he…

  5. memang banyak pihak
    yang tidak mau melihat Indonesia Maju
    ..
    apabila kita hanya ramai2 rebutan kue kekuasaan
    kapan kita mikir untuk bangsa ini//
    ..
    salam marketing

    Sebenarnya, kita mungkin sudah memikirkan nasib bangsa ini. Tapi, lebih banyak yang memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.

    Salam marketing juga.

  6. Pemilu..oh.. pemilu… begitu pemilu..khan.. hatiku.. bikin puyeng.. kepalaku.. bikin mules…. perutku…
    Caleg…(Calon di eLEG”ditelan”) legislatif (Bengis yang kreatif)

    Udah..lah….. masa udah merdeka kok kembali ke jaman saat akan merdeka..khan lucu.. mending partai mak 5 khan

    Emang bikin mules dan puyeng. Setuju, mending partai sekitar 5 aja.

  7. bagus juga tuh idenya; memasukkan kertas suara ke buku rekor dunia, hehe… 🙂

    mudah2an bangsa kita belajar dari kesalahan sejarah yg telah kita toreh saat ini, agar di pemilu yg akan datang dapat dijalankan dg lebih cerdas dan bermartabat. tapi, bila lebih parah, saya tidak tahu lagi, bagaimana cara bangsa kita ini membaca sejarahnya…

    Kalo KPU repot terus, Uda Vizon mungkin bisa membantu melaporkan ke pihak Guinnes World Records. He… he….
    Mungkin bangsa kita sedang mengalami rabun sejarah, kalee…

  8. sayang banget yah , uang negara di hambur hambur kan begitu saja demi pemilu sampai hutang hutang segala lagi coba aja kalo budget pemilu di perkecil kan lumayan bisa buat kerja nyata untuk pemerintah kepada masyarakat.
    tapi toh akhir nya golput-golput juga yang menang walaupun sudah di haramkan 😀

    Emang sayang banget. Penghamburan uang negara.

  9. bravo .. bravo, analisa yg mumpuni boss, mending uang yg mubasir itu dipinjamin ke GW buat modal usaha GW yg sangat kecil-kecilan ini, ini minjem lho, bakal dikembaliin, kalo para caleg yg difasilitasi uang rakyat itu khan duitnya ga dikembaliin, hayooo….

    Makasih atas apresiasinya.
    Tapi, kalo elu dipinjemin modal, elu bayar kagak? Hii…hi…
    Moga usahanya sukses dan berkah. Jangan buat video porno, ye. He….he…

  10. Masalahnya adalah kenapa partai gurem dan partai tambahan itu terus bermunculan,gagal .. tahun depan bikin baru lagi.
    Ada yg di harapkan dari pendirian partai yg cuma dipilih oleh petinggi dan keluarnya nya saja ? (atau bahkan anggotanya juga fiktif dan tidak pernah memberi suara untuk partainya ??).
    Ah ..mungkin mereka cuma mengejar subsisdi pendirian partai dari pemerintah …

    Memang harus ada aturan yang jauh lebih ketat tentang verifikasi partai peserta pemilu. Dengan demikian, tidak terus-terusan bermunculan partai-partai gurem abal-abal yang anggotanya fiktif. Selama ini, saya juga curiga, partai-partai gurem itu cuma mengejar subsidi pendirian partai dari pemerintah.

  11. G tau nih, semakin tahun politik di negeri ini semakin ribet n gak jelas gtu. Apalagi sekarang banyak calon-calon wakil rakyat yang mengajukan dirinya menjadi wakil rakyat agar dapat menguras kekayaan negara agar menjadi income pribadi.

    Untuk itu, saya mewakili mahasiswa se Indonesia menggalakkan gerakan golput untuk pilpres yang akan datang ini.

    hidup MAHASISWA………!!!!
    (please comment my blog :http://www.noerma80.wordpress.com)

    thanks

    Wah, seru, nih. Ada aktivis mahasiswa. Saat mahasiswa, saya juga dulu golput, lho! Tapi, sekarang rasanya kok sayang sekali kalau memilih golput. Bukan zaman Orde Baru lagi. Tantangannya sudah lain. Oke, coy. Insya Allah, nanti aku bertandang ke blogmu.

  12. konon pendirian partai2 gurem itu, hanya untuk mengeruk dana dari pemerintah ya, mas ? soalnya dengan adanya bendera partai tersebut, maka secara otomatis dana operasional untuk partai tersebut akan mengucur. nah, siapa yang peduli dengan menang kalah, mendapat kursi atau dingklik di gedung mulia kalau seperti ini. yg penting dapat hepeng gratisan kan ?
    ngomong2, bagaimana kalo pemilu mendatang kita bikin partai ? Partai Blogger Indonesia… hehehe…

    Betul, aku juga curiga gitu. Bahkan dulu, di tempatku, para pengurus partai pernah “cakar-cakaran” untuk memperebutkan dana sumbangan partai dari pemerintah.
    Partai Blogger Indonesia disingkat PBI. Gitu, ya? Ide bagus. Nanti biar dapat jatah kursi di Senayan, bawa kursi atawa dingklik sendiri-sendiri dari rumah. Ketuane yo sampean. He…he…
    Salam, Mas Goen.

  13. berapa pohon yang ditebang untuk itu, sumbangan untuk global warming mungkin bisa juga masuk ke rekor dunia, belum jika ditambah selama masa kampanye … wusss…

    Pohon yang ditebang? Wah, kehitung banyaknya. Mungkin kita harus ngontak WALHI biar dapat datanya terus didaftarin ke rekor dunia. Ha..ha…

  14. Ini baru pemilu sekarang loh…entah nanti 5 tahun lgi setelah ini….makin banyak atau makin berkurang?.. 😛

    Abis pemilu ini kira2 kertasnya diapain ya?..dibuang? wah sayang banget….bener kata mas Suryaden, ga sejalan dengan prinsip global warming.. 🙂

    Mudahan makin berkurang. Semakin banyak yang menyadari betapa repotnya rakyat yang segitu banyak.
    Kertasnya mending didaur ulang, dicetak jadi kertas suara lagi. He….he… Biar ngirit.

  15. Semoga pemilu yg akan datang jumlah partainya sedikit aja, mungkin sekitar 10 partai aja.
    banyak yg cari duit dari ajang pesta 5 tahunan ini. Partai yg gak lolos electoral treshold biasanya ganti nama tru daftar dengan nama baru. Kan setiap partai dapat dana dari kpu.

    Iya, nih. Pendirian partai-partai gurem itu tampaknya emang ajang cari duit doang. Saat pemilu orang rame-rame menghamburkan duit.
    Makasih kunjungannya.

  16. Terus terang Pimpii juga sumpek lihat Pemilu kali ini (mungkin juga yang kemarin-kemarin)
    Hanya karena Pemilu adalah konsekuensi dari sebuah ranah demokrasi, maka mendesain Pemilu dengan lebih dari 170an Juta pemilih ini sejatinya tidaklah gampang.
    Tetapi konsep suara terbanyak telah membuka cakrawala baru tentang arti ‘memilih’ orang yang paling layak dijadikan ‘wakil’ oleh para pemilih — sehingga keberadaan banyak partai sepertinya mubazir, semubazir kertas suara yang tidak pernah diisi.
    Kedewasaan dalam berpolitik adalah sebuah impian di negeri ini termasuk kedewasaan para caleg yang ingin dipilih sebagai ‘wakil rakyat’ sehingga nantinya ‘kewakilannya’ tidak perlu lagi dipertanyakan.
    Sebagai penghibur dari kesumpekan ini, bolehlah didaftarkan kertas suara super jumbo di guinness book of world record sekalian juga (maybe) jumlah caleg stress terbanyak dalam sejarah pemilu 🙂

    Lha, Mas Pimpii bisa mulai mendata caleg yang stress itu. Ntar kita daftarin Guinness World Records. Gimana?

  17. mestinya partai-partai itu perlu dibatasi jumlahnya tidak seperti sekarang yang begitu mudahnya membuat parpol padahal isi orangnya hanya itu-itu saja kok pak

    Iya, memang harus ada pembatasan. Parliamentary threshold sendiri adalah bentuk upaya pembatasan.

  18. Audit verifikasi anggota dan jumlah suara kalau tidak sama (beda cukup jauh) pidanakan dg tuduhan pembohongan publik, penipuan dll itu cara untuk menghambat tumbuhnya partai abal2 , partai kutukupret pencuri uang rakyat.

    Nah, ide bagus, Mas Jamal. Pengurus partai-partai kutukukpret itu harus dipidanakan jika memang hasil verifikasi partai terdapat pemalsuan data.

  19. membatasi tak sama dengan mengekang. pastinya, mas! saya setuju itu. tapi coba deh kita berdebat dengan orang-orang dengan birahi politik yang menggebu-gebu itu, pasti segudang argumentasinya.

    ah, bagaimana lagi. toh seleksi alam yang berlaku, dan semoga ini menjadi pelajaran berharga ke depannya, agar kita terhindar dari perilaku mubazir.

    tulisannya segar banget, mas. selalu senang bertandang ke mari. ngemeng-ngemeng nih, gimana kabar caleg yang minta pertolongan dukun spesialisasi lolos pemilu kemarin? penasaran deh.

    Berahi politik para petualang hidung belang itu memang harus dibatasi. Biar nyaho!

    Makasih apresiasinya, Bu Dokter sing ayu, opo meneh nek gemuyu. (Oh, sotoy!) Saya selalu menanti kunjungan Ibu. Sebuah kehormatan tak terhingga buat saya.

    Tentang caleg bodoh yang “tersepona” dengan rayuan gombal si dukun itu, saya belum dapat kabar-kaburnya. Saya sudah cari-cari si staf marketing gembul itu untuk menanyakan hal tersebut. Tapi, hingga detik ini, saya belum ketemu juga. Nanti deh, saya juga penasaran.

  20. setelah pemilu usai, mau dikemanakankah surat suara tersebut…enaknya kasih pemulung aja kali ya pak hehehehe

    Wah, jangan ke pemulung. Enak pemulungnya aja. Mending didaur ulang, dilebur jadi bubur kertas lagi, terus diproses jadi kertas. Lumayan, bisa digunakan sebagai kertas suara untuk pilpres mendatang.

  21. Kalo menurutku si, gak mungkin menyederhanakan kepentingan yang begitu kompleks dari >250juta orang di Indonesia. Jadi wajar saja kalo Indonesia mengeluarkan begitu banyak biaya bagi rakyatnya yang sangat cerewet.
    Kita adalah penguasa Nusantara sejati.

    Cheers, frizzy.

    Frizzy,
    Memang tidak mudah menyederhanakan kepentingan rakyat Indonesia yang begitu banyak dan kompleks. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Menurut wikipedia, penduduk Amerika jauh lebih besar daripada Indonesia, yaitu 291 juta lebih. Penduduk mereka juga plural dan kompleks banget. Tapi, toh penyederhanaan partai bisa terjadi. Memang hal itu membutuhkan proses yang panjang. Sedangkan Indonesia masih muda dalam pengalaman berdemokrasi dibandingkan dengan negara-negara lain.

  22. Persoalannya, karena soal sakit hati itulah. Mereka mendirikan partai baru karena merasa sudah tak sejalan dengan partai sebelumnya. Dengan berbagai macam argumen yang coba disuguhkan. Memang repot juga kalau sudah tak sejalan. Karena partai-partai besar ambisinya pun besar pula.

    Ini memang mahal. Di luar biaya serentetan pemilu itu sendiri, ongkosnya memang mahal. Namun aku melihatnya sebagai proses demokrasi. Proses bernegara. Kita memang mesti melewati tahapan ini dulu, barangkali. Sehingga betul-betul akan menemukan platform yang pas untuk pemilu-pemilu berikutnya.

    Karena jangan lupa, 30 tahun lebih negara ini dikendalikan dengan cara yang homogen. Maka seperti selokan yang dibendung alirannya, begitu dibuka, blar!!! eforia lah yang terjadi. Dan itu memang mesti terjadi. Ongkosnya mahal? Apa boleh buat, kita memeng mesti belajar dari semua ini. Karena kita tak pernah mau belajar dari yang sudah-sudah.

    Tidak ada makan siang gratis memang.

    Komentarnya cerdas, Mas Dan.
    Ya, saya juga menyadari, Pemilu kali ini merupakan pembelajaran demokrasi bagi Indonesia. Memang tidak ada makan siang gratis. Mahalnya ongkos demokrasi sebenarnya bisa dikurangi jika para elite politik tidak memaksakan kehendak untuk ikut pemilu. Tapi ya, gimana lagi? Memang euforia itu tidak terbendung setelah 30 tahun dikungkung.

  23. Kertas suaranya diusulkan masuk ke Guinness World Records. Tapi para elite politik dari partai-partai yang merasa “kalah” dan “tak terima” dengan hasil yang ada, usulkan saja masuk ke MURI. Sebagai politikus paling menggelikan dalam sejarah Indonesia modern.

    Aku bukan simpatisan PD lho ya…
    Aku simpatisan siapa pun yang layak 😉

    Wah, ide bagus juga tuh, Mas. Tapi apa mereka nanti nggak tersinggung? Tapi, kayaknya aku perlu menulis tentang politisi paling ndagel dalam sejarah negeri ini. Barangkali Mas Dan punya usul siapa politisi yang perlu dimasukkan dalam daftar?
    Ha…ha… Aku juga nggak akan menuduh sampean simpatisan PD. Saya juga masih bisa memilih dan memilah siapa yang layak. Saya belum amnesia untuk mengingat rekam jejak mereka.

  24. terlalu lebar emang mas… untung di TPSLN cuman selembar… jadi bisa cepet 🙂

    Ya, enak cuma selembar. Di Indonesia, kan sampai 4 lembar. Betul-betul ribet. Partai-partai yang tidak ada calegnya itu betul-betul membuat lebar kertas suara. Kalaupun ada caleg, nggak dikenal dan akhirnya kosong melompong.
    Salam hangat dari tanah air. Kapan buat novel seperti Habibiurrahman?

  25. 5 tahun lalu ada 24 partai bertarung, tahun ini 48 partai. Otomatis kertas suara kian besar. 5 tahun mendatang jumlah partainya mungkin mendekati 100. Bayangin kertas suara sebesar apa.

    Eh, mbah jambrong siapa tuh?

    Tepatnya, 38 partai ditambah 6 partai lokal Aceh. Mudahan 5 tahun, tidak semakin bertambah lagi. Kalau bertambah, pasti kertas suara mencetak rekor baru lagi.
    Mbah Jambrong cuma tokoh fiktif rekaan saya aja. Hi…hi…
    Makasih sudah mampir.

  26. Saya sudah tulis sedikit mengenai pemilu di Jepang di sini , dan sekarang sedang memantau persiapan pemilu legislatif di Jepang. Saya tidak bisa bicara soal “isi” nya tapi mungkin cara-caranya ada yang bisa dicontoh.

    EM

    Indonesia memang perlu belajar kepada negara-negara lain tentang pengalaman berdemokrasi. Tapi, saya juga bangga. Indonesia yang sedemikian besar dan plural, masih bisa melaksanakan pemilu tanpa terjadi chaos.

    Oh, ya, tulisan ibu tentang itu susah sekali diaksesnya.