Kerinduanku

brown concrete building during daytime

Suatu siang menjelang sore, dua tahun silam, seorang teman lama semasa kuliah dulu, tiba-tiba meneleponku. Ia memohon maaf atas segala kesalahannya dan meminta alamat suratku. Aku pun bertanya-tanya sebab musabab sikapnya itu. Ia menjelaskan, ia hendak berangkat ke Tanah Suci dengan khusyuk. Ia tak ingin ada kesalahan yang belum sempat ia mintakan maaf kepada orang yang pernah ia sakiti. Ia juga ingin mengembalikan beberapa bukuku yang pernah ia pinjam semasa kuliah dulu.

Aku memang masih ingat dengan baik bagaimana ia mencengkeram leherku dan nyaris menjotosku. Saat itu, hari-hari pertama aku menjejakkan kaki di Yogyakarta. Hanya karena sebuah celetukanku, ia naik pitam. Padahal celetukan itu justru bukan tertuju pada dirinya, namun kepada kedua orang teman sekamar yang masih tiduran di saat waktu belajar.

Bacaan Lainnya

Mengetahui sang teman hendak berangkat ke Tanah Suci memenuhi panggilan-Nya, dengan sumringah aku menitipkan doa padanya agar aku segera bisa menyusulnya. Berkali-kali, aku menekankan betapa aku sungguh-sungguh meminta ia mendoakan diriku. Hingga akhirnya saat ia pulang ke tanah air dan kembali meneleponku, aku pun menagih janjinya.

Tenan! Saya doakan kamu,” tegasnya di telepon.

“Disebut nggak namaku?” tanyaku kurang yakin.

“Iya, iya! Aku ucapkan namamu!” jelasnya kembali dengan yakin.

“Oke, deh. Makasih.”

Keesokan paginya, istriku bercerita, orang tuanya menghadiahkan biaya pendaftaran pergi ke Tanah Suci kepada dirinya dan adiknya. Istriku dan adik laki-lakinya –yang notabene juga seorang perawat–memang dua orang anggota keluarga yang paling telaten merawat ayah mertuaku. Saat itu, nyaris setahun beliau terbaring sakit diterjang kanker. Sekitar sebulan kemudian, seusai istri dan adikku mendaftar haji, beliau pun dijemput Sang Khalik.

Antara gembira dan sedih aku mendengar cerita sang istri. Betapa tidak, aku benar-benar ingin berangkat ke Tanah Suci dan meminta untuk didoakan oleh temanku itu. Namun, justru yang hendak berangkat haji adalah istriku dan adik iparku. Doa yang kutitipkan kepada temanku ternyata dikabulkan oleh Sang Kuasa, meski dengan cara yang “aneh”! Tampaknya, Ia hendak menguji seberapa besar keinginanku untuk mengunjungi rumah-Nya. Atau memang Ia hendak bercanda denganku? Hm…

Saat seorang teman blogger, memperoleh Haji Lungsuran, aku juga memohon didoakan agar kelak bisa mengikuti jejaknya berangkat ke Tanah Suci. Kutuliskan permohonanku di kolom komentar di blognya. Aku tidak tahu, apakah ia betul-betul mendoakanku atau tidak saat tiba di sana. Yang jelas, aku telah berusaha. Aku juga selalu memelihara kerinduanku dengan mengucapkan doa yang diberikan seorang teman blogger setiap usai shalatku.

Waktu terus berlalu, hingga pada siang Sabtu kemarin, barusan saja aku selesai menunaikan tugas menyuapi anakku yang masih duduk di TK. Sejak ibunya pergi berziarah ke Tanah Suci, praktis aku sering menggantikan tugas tersebut. Ya, tugas yang menyebabkan aku sering diejek teman-teman sekantorku sebagai perjaka tangguh! Doh!

Aku lantas membuka laptopku dan mulai browsing. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertarik dengan sebuah tulisan resensi tentang film Emak Ingin Naik Haji. Aku membaca tulisan tersebut dengan seksama. Sesekali aku mengamati foto Aty Kansers yang berperan sebagai Emak dalam poster film tersebut.

Seusai membaca tulisan itu, sekonyong-konyong aku menangis sesenggukan. Airmataku mengalir deras. Semakin aku berusaha keras membendung, semakin keras guncangan badanku karena tangis. Sungguh, aku adalah lelaki yang tak terbiasa menangis. Bahkan saat orang-orang tercinta meninggalkanku, termasuk saat ayahku meninggal sekalipun, tak setetes pun air mata mengalir di pipiku. Kini, justru aku menangis tanpa sebab yang jelas.

Untung saja tangisan itu tidak berlangsung lama. Tampaknya, orang-orang di rumah tak mengetahui aku tadi menangis. Saat tangisku reda, aku mulai menelusuri penyebabnya. Ya, Rabb, betapa susahnya aku untuk mengunjungi rumah-Mu. Bertahun-tahun aku memendam keinginan untuk mewujudkan hal itu, namun tak jua jelas kapan ia terjadi. Mengandalkan uang gaji saja, nyaris mustahil aku bisa mewujudkan keinginan itu. Pinjam uang di bank dengan menggadaikan SK? Ibuku melarangku membiayai ibadah dari uang hasil pinjaman bank yang kemungkinan besar bercampur riba!

Sejak kuliah di Yogya, seusai pergolakan batin yang dahsyat, aku memendam keinginan kuat untuk pergi berziarah ke Tanah Suci. Guna menumpahkan seluruh unek-unekku pada-Nya. Mengakrabkan kembali jiwaku dengan-Nya seusai sekian lama aku berusaha dengan pongah menjauhi-Nya. Menjalin kembali jalinan cinta pada-Nya yang sempat terkoyak.

Keesokan pagi, tak dinyana ibuku di kampung halaman meneleponku. Ia mengabarkan bahwa tanah di depan rumah akan dijual. Salah satu adik perempuanku perlu biaya besar untuk kepindahannya ke Semarang guna mengikuti tempat kerja sang suami. Bagi keluargaku yang elit (ekonomi sulit, maksudnya!), tentu saja cukup besar biaya perpindahan dari Banjarmasin ke Semarang. Uang hasil penjualan tanah itu dibagi-bagi kepada semua keluargaku, termasuk diriku.

“Mudahan uang itu cukup untuk daftar haji,” ujar ibuku di ujung telepon.

Aku nyaris berjingkrak kegirangan. Berkali-kali aku mengucapkan syukur pada-Nya hingga aku tersungkur dalam sujud di ruang tamu. Penantianku yang panjang tampaknya akan segera berakhir. Dengan izin-Mu jua, aku akan penuhi panggilan-Mu, ya, Rabb. Sesuatu yang nyaris mustahil bagiku, tampaknya akan berubah menjadi sesuatu yang nyata. Dengan menahan tumpahan air mata, aku menuliskan kerinduan ini pada-Mu.

(To Soulharmony: Don’t doubt my faith!)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

25 Komentar

  1. Subhanallah, berkat doa seorang teman, rupanya Tuhan mengabulkan permohonan mas rache. maha besar Allah, tolong saya gantian didoakan, ya, Mas, agar bisa segera menyusul ke tanah suci.

    Memang, besar kekuatan doa, Pak Guru. Insya Allah, jika saya kelak berangkat, di sana saya akan doakan Pak Sawali.

  2. subhanallah…
    begitu besar karunia NYA
    hingga kita mengalami hal hal yang tak pernah dipikirkan oleh kita sendiri sebelumnya…

    apapun bisa terjadi atas kehendak-NYA

    selamat selamat

    Sama-sama, Bang Zul. Mudahan hal ini tidak membuat saya lupa atas karunia-Nya.

  3. Meskipun saya berlainan agama, saya ikut terharu membaca kerinduan bapak yang amat besar untuk menunaikan ibadah. Inilah iman kepada Sang Khalik. Selamat ya pak.

    Terima kasih, Bu Imel. Tak lupa saya juga ucapkan, Selamat Natal. Semoga Kasih-Nya terus menerangi kita semua.

  4. Subhanallah, Kalau Allah sudah membukakan jalan tak ada yang mampu menghalanginya. Insya Allah doa Abi Rosyid terkabulkan. Panggilan yang mulia…impian hampir setiap muslim termasuk saya, semoga Allah juga memberikan kemudahan jalan bagiku untuk menuju kesana. Tahun ini Kakak sekaligus sahabatku diberi kemudahan oleh Allah buat berangkat termasuk hasil dari kesabaran dalam merawat orang tua. Ujian yang tiada henti telah membukakan jalan mejuju kerumahNYA. Allahu Akbar. Semoga Mbak Ade beserta Adik menjadi haji yang mabrur dan semoga kita ikut menyusul ketanah Suci itu. Amin
    ( Mohon do’anya pula untuk Bpk dan ibuk saya yg kali ini juga berkesempatan Ziarah ketanah Suci. semoga menjadi hajji yg mambrur dan dapat kembali ketanah air dengan sehat dan selamat.

    Allahumma amin. Mudahan Bapak dan Ibu Mbak Emi menjad haji mabrur. Mudahan kelak, Mbak Emi juga bisa menyusul.

  5. doh….aku jadi terharu pak…
    semoga keinginannya dimudahkan allah dan diberi jalan yang sangat mudah 🙂

    kalau sudah sampai sana jangan lupa saya didoain ya pak 🙂 jangan lupa sebut namaku biar aku bisa mengunjungi tanah suci secepatnya …

    Saya tidak bermaksud membuat orang terharu. Saya hanya bermaksud menumpahkan perasaan saya saja. Anyway, makasih, Mbak Ria. Insya Allah, saya akan mengingat Mbak Jumria Rahman dan mendoakan jika kelak di sana. Tapi kayaknya masih 2 tahun lagi baru saya bisa berangkat. Wong baru daftar sekarang.

  6. Aku juga kemarin ketika hari terakhir puasa ramadhan juga menangis tanpa sebab yang jelas. Baru ramadhan kemarin aku sangat merasakan kehilangan hari-hari ramadhanku. Seperti halnya Mas, aku juga sangat rindu ingin menjadi Tamu Allah.

    Semoga kerinduan Hanif juga didengar-Nya. Insya Allah, Ia Maha Mendengar.

  7. alhamdulillah bisa berkesempatan pergi ke Tanah Haram pak. itu rejeki paling besar, saya kira. mmg tidak dinyana-nyana dr mana datangnya ONH, ketika seseorang sangat kuat keinginannya untuk dpt menjalankan rukun islam ke-5 ini. insya Allah ke depan urusan bapak akan dimudahkan olehNYA. Amiin.

    Betul, Pak. Dan Allah Maha Mendengar. Terima kasih atas doanya.

  8. Ketika membaca sinopsis atau trailer film Emak Ingin Naik Haji, secara spontan air mata menetes. Teringat dengan almarhumah Ibu yang ketika masih hidup belum sempat diberikan kesempatan untuk bisa pergi ke Tanah Suci.

    Ketika beliau masih hidup, saya beritahukan untuk mewujudkan niatnya ke Tanah Suci dengan mulai menabung tabungan haji. Dan alhamdulillah walaupun jumlahnya masih terbilang sedikit namun mudah-mudahan niat beliau yang ingin pergi ke Tanah Suci sudah dihitung sebagai sebuah ibadah.

    Semoga niat baik itu didengar oleh Allah, dan Dia memang Maha Mendengar. Kelak, Dia akan memberikan kesempatan untuk mengunjungi rumah-Nya jika ketika memang bertekad kuat

  9. betapa terharunya saya membaca tulisan ini, mas rashid. saya jadi ikut menangis juga.

    saat menulis posting “haji lungsuran” tempo hari, saya sudah akan berangkat, sehingga tidak sempat lagi melongok komentar yang masuk hingga saatnya saya pulang (bahkan saya tidak ngenet hingga sepuluh hari setelah pulang). jadi bukan saya tidak ingin dititipi doa. toh teman-teman yang lain banyak juga yang menitip harapannya buat disampaikan di tempat-tempat makbul di sana.

    tapi secara umum, saya mendoakan semua teman dan kerabat yang sangat berkeinginan untuk mengunjungi baitullah agar dimudahkan, walaupun tak sampai menyebutkan nama.

    mas rashid, saya sangat berharap mas rashid segera memperoleh kesempatan baik itu. sungguh pengalaman yang luar biasa, saya saja pun sudah rindu ingin berkunjung kembali.

    Uni, maafkan saya, jika saya membuat sedih hingga akhirnya Uni menangis. Saya hanya bermaksud menumpahkan perasaan rindu saya untuk bertandang ke Rumah-Nya.

    Saat melongok blog Uni yang tak jua di-update usai dipublish tulisan “Haji Lungsuran” itu, saya pun akhirnya mafhum. Uni mungkin sudah repot dan sudah berangkat. Saya sudah mengikhlaskannya. Toh, sekarang doa saya sudah didengar oleh Yang Maha Mendengar. Saya sudah mendaftarkan diri, Uni. Insya Allah, 2012, saya mengikuti jejak Uni. Mudahan tak ada aral yang melintang. Kalau pun ada, mudahan saya mampu menyingkirkannya.

  10. Akhirat. Kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjangnya. Rumah penghabisan, tempat segala hiruk pikuk dunia ditimbang, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayaran kekurangan orang-orang yang berbuat curang.

    Nun di sana. Kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Tetapi akhirat bukan sekadar tempat berkesudahan yang . terpaksa. Atau tempat pembuangan segala isi alam semesta. Ya, pada ketetapan Allah, taqdir dan kuasa-Nya, tak ada yang bisa lari dari akhirat. Tapi bagi orang-orang beriman akhirat adalah juga tempat menggantungkan cita-cita, harapan, dan puncak kebahagiaan abadi. Lain halnya bagi orang-orang yang bergelimang dosa, bergumul dengan syetan dan hawa nafsu, akhirat adalah tempat perhempasan yang menyakitkan. Seperti onggokan sampah yang tak kuasa terbawa arus. Melaju. Di sana pula sampah itu mengalir. Lalu terhenti seketika. Menebus segala kotorannya. Dengan cara yang sangat mengerikan. Ia mungkin dahulu mengatakan, seperti yang diabadikan Al-Qur’an, “Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan. ” (QS. Al-An’am: 29). Maka manusia sampah punya akhirannya sendiri di kampung akhirat sana. Akhiran sebagai sampah, atau bahkan lebih nista dari sampah. Suasananya sangat mengharukan. “Dan, jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang heriman,’ tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan.” (Al-An’am: 27).

    Akhirat. Jauh dan dekatnya sangat tergantung pada cara kita mengejarnya. Lama dan sebentarnya tergantung bagaimana kita berjalan menuju ke sana. Sejatinya kita bertaruh untuk sesuatu yang sangat pasti. Akhirat yang sering terlupakan. Ia semestinya hadir di setiap jenak hidup kita, meski terasa asing dan tak tergambarkan. Ia dekat tapi sering dianggap jauh. Ia nyata, bilapun sering dirasa sebatas cerita. Seperti pemangsa bertaring, ia bisa menyergap tiba tiba, tapi betapa banyak orang yang tak pernah menyadarinya.

    Akhirat. Seperti sahabat sehati. Ia akan terus melambai, bila kita masih jujur padanya. Ia akan merindukan kita, bila kita juga merindukannya. Ia akan menyiapkan sambutan untuk kita, bila kita masih setia berjalan menuju kepadanya. Kesetiaan seorang Mukmin yang mencari cinta sejati: cinta yang menghidupkan dan memastikan harapan. Kesetiaan seorang Mukmin yang mengerti bahwa dunia hanya teman sementara, kawan yang menangkar mawar tapi juga durinya, madu tapi juga racunnya, manis tapi juga pahitnya.

    Maka, di tengah hidup yang sangat penat dan melelahkan, bertanya tentang kampung akhirat yang abadi adalah keniscayaan. Di tengah gemerlap hidup yang memacu peradaban materinya, bertanya tentang kabar sahabat sejati adalah kemestian: apa kabar akhirat?

    Tapi ia akan lebih berhak bertanya: apa kabar kita sendiri? Masihkah kita menjadi pengejar akhirat? Di sini segalanya terasa sangat adil. Bila kita menjauh, Ahirat pun akan menjauhi kita. Bila kita menghindarinya, ia juga akan menghindari kita. Tapi bila kita mendekat, akhirat pun akan mendekat.

    Kita mesti bersyukur, dari sisi yang lain, betapa dekat atau jauhnya akhirat bisa kita rasa, di lubuk hati yang paling dalam, di kedalaman iman yang bercahaya, kita bisa bertanya. Pada segala suasana jiwa, gambaran pikiran dan bahkan pilihan selera.

    Maka tutur kata kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan kebanggaan prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati.

    Kadar spiritualitas ruhani kita, adalah tambatan-tambatan akhirat kita, kuat atau lemahnya. Juga obsesi-obsesi kemanusiaan kita, adalah prasasti yang ditonggakkan di muka, tentang akhirat kita, kokoh atau lemahnya. Sedangkan jumlah terhitung dari kebajikan-kebajikan kita, adalah benih-benih pengharapan akan penerimaan Allah, kunci-kunci akhirat kita, berjodoh atau tidaknya.

    Akhirat, sahabat abadi itu masih menyisakan kesempatan untuk kita. Setidaknya hingga jenak ini. Di sini. Saat kita masih seperti ini. Jadi, cermin itu ada di sini, bersama diri kita sendiri, bersama kadar iman kita, di tengah kadar pasang surutnya. Sementara segala dosa dan kesalahan kita, adalah bebatuan terjal yang menghambat perjumpaan dengan sahabat sejati: akhirat yang dirindukan.

    Segala yang hidup punya pertanda. Begitu pun akhirat, tempat segala kehidupan sejati bersaksi, ada banyak pertanda. Apakah ia bersama kita atau tidak. Apakah ia mendekat kepada kita atau menjauh. Pada cermin jati diri itu ada cerita, tentang akhirat yang kian menjauh atau lebih mendekat.

    Bila suatu hari, terasa sangat sepi, mungkin itu tandanya kita harus bertanya, adakah akhirat telah menjauhi kita?

    Tutur kala kita adalah bahasa akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Kerja-kerja dan capaian prestasi kita adalah lorong-lorong akhirat kita, menjauhi atau mendekati. Pada itu semua, mari kita bertanya, sejujurnya. Wallahu’alam

    Sumber Lenterakehidupan

  11. ini yang orang kata ‘hukum tarikan’ . teringin juga kesana namun mungkin tingkat kerinduan saya tidak setinggi saudara. banayk yang perlu saya perbetulkan diri ini.

    Saya juga masih banyak yang harus perbaiki dalam diri saya. Mudahan kelak kita bisa bertemu di sana. Who knows.