Suatu hari, dalam sebuah acara keluarga, saya bertemu dengan teman yang juga karyawan honor sebuah kantor pemerintahan. Sebut saja namanya Jambul. Karena lama tidak bersua, aku pun mengajak Jambul ngobrol.
“Kemana aja? Kok lama nggak kelihatan?” tanyaku sok akrab.
“Nggak kemana-mana. Ada di rumah. Lagi musuhan sama Bos,” jawabnya sambil memasang muka masam.
“Lho, emang kenapa?” sergahku penuh tanda tanya.
“Si Bos pinjam uangku, tapi nggak dikembalikan!”
“Aih! Yang bener?! Masak Camat pinjam sama bawahan?”
“Lha, emang bener, kok. Bahkan, nggak cuma aku yang dimintai hutang.” Jambul lantas menyebut nama-nama pejabat dan tokoh masyarakat yang tinggal dan bertugas di kecamatanku.
“Emang berapa hutangnya ke kamu?”
“22 juta! Uang hasil kerja istriku jadi TKW di Arab.”
“Waduuuuh! Terus istri kamu tahu nggak, kalo uangnya dipinjamkan ke Camat?”
“Yah, nggak tahu lah! Kalau tahu, mana dia mau! Kan dia masih di Arab. Sekarang dia kan mau pulang. Aku pusing banget gimana nanti menjelaskannya sama istriku.”
“Waduh, Jambul! Kasihan banget. Terus, uang sebanyak itu emang untuk apa?”
“Untuk Pilkada!”
Sang teman, karyawan Kantor Kecamatan itu, lantas bercerita tentang hal-ihwal uangnya yang dipinjam oleh sang Camat. Menurutnya, uang itu dipinjamkan pada 1 tahun silam. Tak ada secarik pun kertas sebagai bukti peminjaman. Saat itu, sang camat dikerahkan oleh pihak kabupaten untuk terlibat dalam aktivitas kampanye sang calon bupati.
Sang calon bupati merupakan istri dari bupati incumbent yang sudah menjabat selama dua periode. Karena tidak bisa mencalonkan diri lagi, si bupati incumbent lantas menyodorkan sang istri untuk menjadi calon bupati. Pada akhirnya, si istri memang menang dan terpilih menjadi bupati hingga sekarang.
Selama proses pilkada, nyaris seluruh instansi pemerintahan yang termasuk kewenangan otonomi daerah, menjadi sapi perah untuk membiayai kegiatan agar sang istri dari bupati incumbent betul-betul menang. Setiap camat diserahi tugas untuk memenangkan wilayahnya. Atribut-atribut kampanye, seperti baliho, harus dibuat dengan biaya ditanggung oleh sang camat.
Tentu saja camat tidak mau menanggung sendiri biaya tersebut yang jumlahnya tentu tidak sedikit. Tak ayal, sang camat pun bergerilya untuk mencari biaya. Para pejabat-pejabat dan penguasa tingkat kecamatan dimintai hutang. Jika sulit dan tidak mau memberi hutang, ancamannya jelas: karier akan dihambat, atau jabatannya justru dicopot. Alasannya: tidak loyal terhadap pimpinan!
Seluruh kepala cabang dinas tingkat kecamatan dilibatkan untuk membiayai dan menyukseskan sang ratu agar terpilih jadi bupati. KCD Diknas, misalnya, yang dituntut untuk pengumpulan dana dan masa. Sang pejabat lantas meminta setoran dari setiap kepala SD di kecamatan yang menjadi wilayah kewenangannya.
Kini, setelah lewat setahun, sang suami yang dulu menjabat bupati, berambisi untuk menjadi gubernur. Tentu saja biaya pilkada gubernur jauh lebih mahal daripada pilkada bupati/walikota. Tak pelak, modus operandi penggalangan dana serta pemanfaatan birokrasi kembali digunakan. Bahkan lebih menggila lagi.
Namun Jambul kini sudah sadar. Ia tidak mau lagi dijadikan korban. Sayang seribu sayang, kesadaran Jambul sudah terlambat. Janji untuk diangkat PNS hanya menjadi impian yang entah kapan terwujud. Uangnya pun sudah raib tak berbekas. Tak ada kuitansi dan bukti. Akad hutang hanyalah sekedar basa-basi. Sampai saat ini, ketika sang calon sudah terpilih, hutang itu tak jua dilunasi.
Mungkin hutang itu tidak terlalu menjadi masalah bagi para pejabat dan pengusaha yang dulu ikut memberi pinjaman. Tapi bagi seorang Jambul, yang hanya seorang karyawan honor, uang itu sungguh sangat berarti. Apalagi uang itu hasil jerih payah sang istri membanting tulang di negeri orang dengan menjadi TKW! Oh, betapa kejamnya Pilkada!
kalau dipikir-pikir pemilihan secara langsung malah butuh dana yang besar, yang akan menimbulkan efek negatif, kalau saya simpulkan “kejamnya ibu tiri tak sekejam pilkada”
Bangsa Kita memang dituntut untuk mendapatkan pemimpin yang baik,, namun bukan hanya baik dalam pilkada aja.. hehe.. karena semuanya kebanyakan sandiwara politik sih.. 🙂
Ah…si Jambul naif benar. Tapi mungkin kala itu posisinya terjepit antara ngasih hutang atau pengangkatan jadi pegawai tetapnya terhambat. Ngomong2…uang Rp 22 juta kan bisa banget dibuat usaha, Pak… dagang atau apa gituh…
Pa kabar pak Racheed?
Ikut menyimak artikelnya Gan 🙂
Salam,
salam kenal,…
silaturahmi, baru pertama kali
Tambah umur tambah rejeki
Makasih
thank untuk artikelnya
Bagus
Bagus…
Senang menyimak tulisan Anda 🙂
Salam,
Assalamu’alaikum
Pa kabar Pak?ini blog baruku..he he lama ga berkunjung.
Wah kasihan benar si jambul ya..seandainya uang itu digunakan untuk usaha kayaknya lebih mendingan daripada menunggu janji yang tak jelas diangkat menjadi PNS dengan memberi hutang 22 juta.
Seandainya para politisi backgroundnya dari pengusaha sukses mungkin nyalonnya pake uang sendiri kali ya?
Bagus….!!!
Ikut nyimak Gan
Kisah ini bneran? tega sekali kepala daerah itu karena kepentingan sendiri menyusahkan bawahannya bahkan sampai tidak dikembalikan uang pinjaman tersebut..
jangan sampai pilkada sampai bawa isu sara
artikel yang bagus gan
democracy is costly…who’s gonna pay for it?its people!
kebanyakan sandiwara politik
semoga pemilih makin cerdas aja
Uang… yg penting uang..
mantap bos artikelnya bagus bagus, senang baca baca di sini.Salam. 🙂
keren gan artikelnya, salam kenal ya gan
Bang Jay Ngeblog
Bagus artikelnya, itulah cerminan pilkada di negri ini.
izin nyimak artikel gan.. tks
Blognya bagus dan artikelnya menarik. Oya teman-teman blog, mampir ke lapak saya ya. Salam. http://globalenglishclubkhaskempek.wordpress.com/
wah lagian berani juga ngasih pinjem duit sebanyak itu @_@
salam kenal ya pa, walau kita sudah kenal …
perfect…. tulisan yang ringan tapi bermakna dalam. sy pun sangat prihatin dengan kondisi seperti di daerah jambul… emang bener sih kenyataannya begitu…
benar kata pepatah : Kebo nyusu gudel… sudah terbalik dunia ini….
nice post… nice write
Tidak ada politik yang tidak kejam. Cuman itu yang bisa saya sampaikan.
memang kalo sudah namanya uang apalagi bagi siapa yang hanya honorer seperti jambul tersebut jelaslah sangat dibutuhkan dan berbeda sekali dengan para pejabat yang menganggap itu adalah receh.
artikel nya bagus , i like it