Keberanian Waria

Saya selalu salut kepada para waria. Mereka merupakan sosok manusia pemberani. Betapa tidak, saat seseorang memutuskan untuk menjalani hidup sebagai waria, maka saat itu pula ia menyediakan dirinya untuk menjadi bahan cibiran, cercaan, gunjingan, bahkan makian dari orang-orang yang tidak menyukainya. Bahkan sebelum secara terbuka memutuskan untuk menjadi waria, ia pun sudah menjadi bahan olok-olokan masyarakat. Sungguh, perlu keberanian ekstra untuk menjalani hidup sebagai waria.

Di samping berhadapan dengan masyarakat, waria juga harus berani untuk bertarung dengan kendala psikologis dalam dirinya. Tak bisa dipungkiri, mayoritas masyarakat kita masih menganggap waria sebagai sebuah penyimpangan. Pandangan masyarakat demikian juga karena ajaran-ajaran agama yang diyakini mereka memang menganggap bahwa gaya hidup waria adalah identik dengan perilaku homoseksual yang notabene terlarang. Keyakinan agama yang sudah tertanam bertahun-tahun sejak kecil itu, tak pelak menjadi seolah duri dalam daging bagi para waria. Hal inilah yang membuat pergulatan psikologis semakin tajam bagi mereka.

Bacaan Lainnya

Memang, pada masyarakat tertentu, keberadaan waria relatif lebih bisa diterima. Di sebagian masyarakat Ponorogo, para warok terbiasa memelihara gemblak, lelaki kemayu yang dijadikan pendamping hidup laksana seorang selir. Di masyarakat Bugis, ada istilah bissu untuk merujuk kepada lelaki yang menjalani hidup layaknya perempuan dan memperoleh tempat yang terhormat secara adat. Namun seiring perkembangan zaman, sudah semakin jarang ditemukan para warok yang memelihara gemblak di Ponogorogo atau para bissu di masyarakat Bugis.

Saya juga sempat membaca buku Jangan Lepas Jilbabku, karya seorang waria yang bernama Shunniya Ruhama Habiballah. Sayang, saya tidak tuntas membaca keseluruhan isi buku karena memang hanya mencuri baca di sebuah toko buku. Namun dari sepintas yang sempat saya baca, buku tersebut cukup berani mengungkapkan kegelisahan seorang waria. Bahkan terkadang nada tulisan-tulisannya cukup emosional. Ah, mudahan saya keliru memahaminya.

Dalam berbagai wacana tentang waria, sering diungkapkan bahwa jiwa perempuan mereka terperangkap dalam tubuh laki-laki. Dengan kata lain, secara psikologis, mereka merasa sebagai wanita, namun secara fisik mereka memang lelaki. Ungkapan tersebut secara tidak langsung merupakan gugatan yang cukup menohok atas keberadaan mereka sebagai waria. Secara tidak langsung, mereka seolah menuding bahwa Tuhan tidak adil terhadap mereka, karena membiarkan jiwa mereka terperangkap dalam tubuh laki-laki yang tidak mereka kehendaki.

Saya sendiri berusaha bersangka baik kepada Sang Pencipta. Ia Maha Kuasa, Maha Pintar, dan Maha Bijaksana. Dengan segala sifat-Nya yang agung dan sempurna, saya yakin bahwa saat penciptaan, Sang Pencipta tidak bermaksud memerangkap seorang waria dalam tubuh lelaki. Istilah “perangkap” adalah berasal dari pemikiran para waria itu sendiri untuk menjustifikasi pilihan mereka untuk menjadi waria. Memang, terlahir sebagai orang yang memiliki gen feminin dominan bukanlah pilihan mereka. Tapi, menjadi waria atau hidup normal sebagai lelaki adalah pilihan sadar mereka sendiri. Adalah tidak bijak jika menyalahkan takdir saat seseorang memilih hidup sebagai waria.

Adanya jiwa feminin yang dominan dalam diri seorang lelaki merupakan sebuah ujian hidup yang memang tak mudah untuk dijalani. Sama tidak mudahnya, saat seseorang menyadari bahwa ia terlahir sebagai seorang yang tuna netra, misalnya. Namun adanya jiwa feminin yang dominan tersebut tak selalu harus berujung dengan keputusan untuk sekalian menjadi waria. Di tengah masyarakat, toh juga ada lelaki yang lemah gemulai dan berjiwa feminin tapi tetap bisa menjalani hidup normal sebagai lelaki. Ia menikah dengan wanita dan memiliki keturunan. Contoh yang paling terkenal adalah seksolog top, dr. Boyke Nugraha.

Menjadi waria bagi saya adalah sebuah pemberontakan terhadap takdir Sang Pencipta yang telah menciptakan tubuh laki-laki sang waria. Mengapa tidak berdamai saja dengan takdir-Nya dan menjalani hidup yang normal sesuai dengan bentuk fisiknya yang laki-laki? Memutuskan menjadi waria tidaklah menghilangkan sama sekali fakta bahwa tubuhnya adalah laki-laki. Mengubah kelamin lelaki menjadi perempuan melalui operasi medis, juga tidak menghilangkan sejarah bahwa ia dulunya adalah seorang laki-laki. Tuhan tentu saja tidak bisa ditipu. Meski seorang waria mengenakan pakaian perempuan atau melakukan operasi kelamin, toh tetaplah ia lelaki atau pernah jadi lelaki.

Tuhan tidaklah bodoh saat Ia menetapkan bahwa seorang lelaki hendaknya menjalani hidup sebagai seorang lelaki dan mengikat hubungan pernikahan dengan seorang perempuan secara sah. Begitu pula sebaliknya. Perempuan hendaknya menjalani hidup layaknya seorang perempuan dan menikah dengan lelaki. Dengan pernikahan antara lawan jenis itu, kelangsungan hidup manusia bisa terus terjaga. Bayangkan, jika hubungan sejenis menjadi tren dan diakui sebagai sesuatu yang normal, bisa-bisa makhluk berjenis manusia punah dari muka bumi ini.

Seorang waria hanya akan terus dicekam kegelisahan hidup jika terus menolak keberadaan diri sebagai lelaki dan terus mengikuti “panggilan jiwa” untuk menjadi perempuan. Adalah sebuah tindakan yang hanya akan menimbulkan frustrasi jika terus-terusan mencoba menafsirkan sendiri ketentuan Tuhan dan meyakinkan diri sendiri bahwa jalan hidup sebagai waria adalah benar. Betapapun, ketentuan-Nya tidak pernah berubah, meski banyak orang di dunia berupaya mengubahnya. Manusia tidak akan pernah berhasil memerangi-Nya.

Jika seorang lelaki memutuskan untuk menjadi “wanita”, misalnya dengan mengenakan pakaian perempuan, pada gilirannya ia pun berharap ada seorang lelaki sudi mencintainya dan hidup bersama dengannya. Di sinilah, mulai terlihat masalahnya. Jika hubungan waria dengan sang lelaki berlanjut, maka hal itu sama saja dengan hubungan sejenis. Sementara hubungan sejenis adalah sesuatu yang terlarang menurut ketentuan Sang Pencipta. Bahkan larangannya sangat keras. Sanksinya sangat berat. Kaum Soddom dan Gomorah harus dihancurkan karena hal tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

11 Komentar

  1. Sayang Keberanian pada jalan yg keliru. melanggar sunatullah.

    sifat feminim yg terperangkap dlm tubuh lelaki ? uhf ada ya jiwa yg begitu ? mau bilang tuhan bimbang dan salah naruh jiwa dalam tubuh ? hehehehhehehehe

    Secara tidak langsung, bagi mereka, Tuhan memang dianggap bimbang dan salah menaruh jiwa feminin dalam tubuh lelaki. Tapi, bagi sebagian mereka, mungkin Tuhan tidak lagi jadi bahan pertimbangan.

  2. Sabtu pagi kemarin kalau tidak salah, di acara Halal menyoroti tentang Pesantren Waria, satu-satunya pesantren waria di Indonesia dan mungkin di Indonesia. Lebih tepatnya mungkin belum bisa disebut pesantren tapi majelis ta’lim karena mereka belajar tentang agama Islam seminggu sekali.

    Ketika ditanyakan kenapa para waria ini mau belajar tentang agama Islam, mereka menjawab bahwa itu adalah panggilan hati mereka untuk beribadah kepada Sang Pencipta, soal diterima atau tidaknya ibadah mereka karena status warianya itu mereka kembalikan kepada Allah.

    Ketika ditanyakan kepada para ustadz yang mengajarkan para waria kenapa mereka mau mengajarkan agama kepada ‘golongan’ yang tidak jelas statusnya ini, mereka menjawab bahwa menyampaikan ajaran agama adalah sebuah kewajiban dan masalah apakah para waria itu mendapat hidayah untuk kembali ke jalan yang lurus maka itu adalah haknya Allah Swt. Tugas dan kewajiban mereka hanya memberitahukan dan membimbing ke jalan yang diridhoi oleh Allah Swt.

    Semoga saja mereka yang terjebak dalam status warianya dapat kembali sadar dan menempuh jalan lurus yang diridhoi oleh Allah Swt.

    Saya juga pernah dengar ‘pesantren’ waria itu. Beberapa teman sekampus dulu mendirikannya di Yogya. Semoga para waria itu bisa memperoleh petunjuk dari-Nya. Amin.

  3. mas rasyid, sebagian orang menjadi waria memang karena dorongan dominasi hormon yang berlawanan. namun sungguh memprihatinkan bahwa di zaman kontemporer sekarang ini, kecenderungan itu bisa dan sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan dan tren masyarakat yang permisif. okelah untuk kasus yang pertama, bahwa mereka sungguh tidak mampu melawan kehendak jiwanya yang memiliki kecenderungan gender oposisi itu sehingga akhirnya memilih untuk mengganti kelamin. wallahu a’alam soal ibadah mereka. tapi untuk golongan kedua yang terpengaruh tren? nah, itulah yang kufur nikmat.

    Bahkan karena faktor genetik saja, tidak berarti mereka harus menjalani hidup sebagai waria lantas mengganti kelamin. Apalagi ‘hanya’ karena faktor lingkungan. Yang jelas, mereka tetap manusia biasa yang juga tak sepantasnya dijadikan warga kelas dua dan jadi bahan olok-olokan.

  4. setuju apa yang dikatakan Mal..
    marilah kita hidup sesuai kodrat masing-masing
    mari lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta

    Mungkin bagi mereka, kodrat hidup mereka adalah sesuai dengan kecenderungan jiwa mereka yang feminin, bukan pada tubuh fisik mereka yang lelaki.

  5. Memutuskan untuk operasi kelamin menjadi wanita karena ingin mengembalikan jiwa yang terperangkap ke tubuh yang ‘seharusnya’ benar-benar pemikiran yang salah.. Memangnya mereka siapa bisa-bisanya memvonis bahwa Sang Pencipta saat itu sedang keliru…

    Saya setuju sekali dengan Bapak, kenapa mereka tidak mencoba berdamai dengan takdir-Nya. Saya lebih respek dengan pria yang agak-agak kemayu (asal bukan hombreng) daripada waria…

    Memang tak mudah menerima kenyataan yang pahit sebagai takdir-Nya. Lebih mudah untuk menyalahkan-Nya daripada menerima keputusan-Nya. Perlu kedalaman jiwa untuk memahami keputusan-Nya yang sekilas tampak tak adil dan menyakitkan.

  6. Keberanian yang salah ,ingat ALLAH SWT menciptakan manusia hanya dua jenis saja yaitu Nabi Adam as (laki2) dan Siti Hawa (perempuan) tiada lagi yang lain.Waria itu hanya sebuah perbuatan manusia yang yang trpengaruh oleh sebuah lingkkungan atau trauma akan sesuatu,jadi kita sebagai hamba ALLAH SWT harus bersyukur apa yang dia berikan

    Betul, tetap mensyukuri apa yang Ia berikan. Tuhan tidak pernah menciptakan jenis kelamin lain selain lelaki dan perempuan.

  7. Aku banyak sekali bertemu dan memiliki teman yang menjadi seperti itu justru karena lingkungan. Luar biasa dahsyat sekali pengaruh dari lingkungan itu. Awalnya sebelum mereka masuk ke sana betul-betul lurus (apa nih maksud lurus? :p ) sebagai lelaki. Tapi lambat laun mereka justru menikmati lingkungannya.

    Sulit untuk bisa menyalahkan. Lebih sulit lagi untuk membenarkan.

    Saya juga punya seorang anggota keluarga jauh yang jadi waria. Saya sering jatuh iba melihatnya. Ia adalah korban dari perpaduan dua hal: orang tua yang tidak peduli dan lingkungan yang menjerumuskan. Kini, ia jadi pemasok PSK di ibukota dan sponsor TKW.

  8. Hmmm, dulu ada teman waria pak.
    karena sakit hati sama bapaknya juga krn pergaualnnya.

    Namun akhirnya bs kembali ke jalan yg benar.
    Setuju dengan semua uraian bapak diatas, bisa koq hidup normal sbg laki2 walau ada jiwa feminin…

    Kita memang sering tidak sabar untuk memilih jalan lurus yang Ia tunjukkan. Kabut nafsu dan egoisme seringkali mengaburkan pandangan kita.

  9. Allah telah menciptakan pasangan2 kita dari jenis kita sendiri agar kita merasa tentram…..*nging……..kalau tidak salah surat an nisa ya? he he he maaf lupa…Jadi berjalan sesuai sunatulloh itu lebih menentramkan daripada menuruti kehendak nafsu. Kata “terperangkapnya” jiwa perempuan di tubuh lelaki menurutku untuk menutupi keputusan mereka menjadi waria. Nafsu mereka ingin dipahami sebagai hal yang wajar dan manusiawi sehingga terkesan kebenaran akan mereka dapatkan dari logika yang dibangun dari hal tersebut. Mereka akan melakukannya sampai mereka diakui secara wajar. Mungkin hal itu akan menjadi kenyataan di dunia manusia, tetapi di hadapan Allah hal itu tidak berlaku, karena mereka telah menyalahi sunatulloh yang seharusnya mereka jalani.

    Ah, Mas Hanif, pura-pura nggak tahu, deh. QS. ar-Rum: 21.

    Sunnatullah atau takdir mungkin merupakan sesuatu yang absurd bagi mereka. Bagi mereka, takdir dan sunnatullah yang mereka harus jalani adalah jalan yang mereka pilih sendiri, yaitu menjadi waria. Mereka memutuskan untuk membebaskan diri dari “perangkap” tubuh lelaki mereka. Apapun keputusan mereka, kita berkewajiban untuk mengingatkan dengan cara yang baik, bukan ikut-ikutan mengucilkan dan melecehkan mereka.

  10. memang sih, mereka hebat berani tampil dengan seperti itu di depan siapapun. tapi kok, kenapa harus memilih itu?

    Kenapa harus memilih itu? Mungkin karena lingkungan yang mendukung. Sementara di lingkungan yang “normal”, mereka dilecehkan dan dijauhi.