Tak banyak penguasa negara muslim yang berani menantang hegemoni Barat di pentas internasional. Di antara tak banyak itu adalah Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran dan yang terakhir adalah Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki. Menantang hegemoni Barat oleh negara muslim adalah laksana perlawanan Daud (David) terhadap Jaluth (Goliath). Sebuah perlawanan yang tak seimbang dan penuh dengan risiko. Meski demikian, masih ada yang memiliki keberanian untuk melakukannya.
Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Swiss, beberapa waktu lalu, dengan gagah berani Erdogan, berkata pedas di samping Simon Peres, Presiden Israel, tentang kebengisan negara Zionis dalam serangan ke Gaza Palestina yang terjadi beberapa waktu lalu. Tak urung, Simon Perez meradang dan membela habis-habisan kebijakan negaranya.
“Kamu pembunuh. Dan saya berpendapat tindakan itu sangat keliru,” seru Erdogan dengan lantang. “Anda mengetahui betul pembantaian terhadap warga Palestina. Saya masih ingat 2 mantan perdana menteri di negaramu yang pernah mengaku senang saat tank-tank Israel berhasil menjejakkan kehadiran di tanah Palestina,” tambahnya.
Mengapa keberanian Erdogan menjadi penting sehingga menjadi topik tulisan ini? Tentu saja banyak alasannya. Di antara alasan itu adalah bahwa menentang Israel secara terbuka adalah sama artinya menentang Amerika untuk berperang. Padahal semua orang tahu, Amerika saat ini adalah negara adidaya di dunia yang belum ada negara penyaingnya yang sepadan. Kekuatan Amerika nyaris meliputi semua aspek, seperti diplomasi luar negeri, militer, teknologi, budaya, pers, pendidikan, dan lain-lain. Semua negara di dunia tak bisa menahan penetrasi Amerika, baik dalam bentuk politik, budaya, militer, dan lain-lain.
Menyuarakan kepentingan umat Islam di dunia Internasional bukanlah sesuatu yang mudah. Padahal kondisi umat Islam di berbagai negara sangatlah mengenaskan. Tertindas dan terjajah. Afghanistan, Kashmir India, Irak, Mindanao Filipina, Pattani Thailand, dan lain-lain, adalah wilayah-wilayah yang selama ini masih bergolak di bawah tekanan penguasa lokal dan asing.
Ketika Erdogan berani berkata lantang tentang umat Islam di Gaza yang baru saja digempur habis-habisan oleh Israel, maka ia pun disambut gegap gempita oleh dunia Islam. Ia laksana seorang pahlawan yang berani berjibaku berperang melawan kekuatan besar dunia melalui forum diplomasi internasional. Setibanya di Turki seusai pulang dari Davos, ia pun disambut ribuan orang yang mengelu-elukannya laksana pahlawan yang baru menang dari pertempuran.
Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos itu, Erdogan mengungkapkan bahwa ia diperlakukan tidak adil oleh sang moderator debat saat itu yang diikuti oleh dirinya, Azerbaijan dan Israel yang diwakili oleh Simon Perez. Ia hanya diberi waktu bicara selama 12 menit sementara Simon Peres selama 24 menit. Perlakuan tidak adil itu pula yang menyulut emosinya sehingga kemudian ia melakukan aksi walk laut dari forum internasional itu.
Ada hal menarik yang bisa diambil pelajaran dari sikap Erdogan. Meskipun ia bersitegang dengan Simon Peres di sebuah forum internasional yang disaksikan oleh banyak pemimpin negara dari seluruh dunia, namun ia tetap menyatakan bahwa hubungan kedua negara, Turki dan Israel, tetap tidak terganggu. Hubungan keduanya pun secara pribadi tetap terjalin dengan baik. Usai bersitegang di forum Davos itu, keduanya pun kembali bertelepon ria sebagai dua orang pimpinan negara bersahabat. Inilah sikap yang perlu dicontoh oleh para pemimpin negara kita. Perbedaan sikap politik tidak lantas melahirkan permusuhan secara pribadi.
Sebagaimana diketahui, Turki menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Sikap Turki tersebut berbeda dengan kebanyakan negara muslim, seperti Indonesia, yang tidak mengakui negara Israel sehingga tidak menjalin hubungan diplomatik dengan negara tersebut. Hubungan Turki dengan Israel merupakan peninggalan kebijakan luar negeri dari para penguasa Turki sebelumnya yang notabene sekuler dan sangat pro Barat.
Meskipun menentang kebijakan agresi Israel terhadap Gaza, Turki tetap menganggap Israel sebagai sebuah negara sah yang harus dijaga hubungan diplomatiknya. Bahkan Turki mempunyai peran penting sebagai penengah konflik Palestina dengan Israel. Sikap Turki yang kritis terhadap kebijakan Barat merupakan sinyal perubahan geopolitik Turki. Selama ini Turki terus berupaya untuk diakui sebagai anggota komunitas negara Barat dalam lembaga Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Sayang sekali, Turki belum juga diterima sebagai anggota MEE. Alasan yang dihembuskan adalah karena Turki mempunyai masalah HAM di masa lalu karena terlibat dalam genosida di Armenia dan terhadap minoritas Kurdi. Sebuah alasan yang ditolak mentah-mentah pihak Turki.
Terkadang lucu juga melihat bagaimana sikap masyarakat Barat. Begitu pentingnya persoalan HAM bagi mereka sehingga bisa menjadi alasan untuk menentukan nasib negara lain, terutama negara-negara berkembang. Tapi begitu persoalan HAM menimpa negara mereka sendiri, mereka ternyata tidak bersuara lantang. Lihat saja, bagaimana sikap negara-negara Barat terhadap pelanggaran HAM oleh Israel di Gaza. Penggunaan senjata kimia fosfor putih yang jelas-jelas oleh Konvensi Genewa, tidak begitu digubris oleh komunitas internasional yang notabene dikuasai oleh negara-negara Barat.
Sikap Erdogan seperti itu bukanlah sesuatu yang aneh jika dilihat dari latar belakang politiknya. Ia berasal dari Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pembangunan). Singkatan AK juga berarti putih, bersih, atau murni. Partai ini mirip dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia. Sebagaimana PKS, AKP juga berhaluan Islam. Partai inilah yang mengusung Erdogan sehingga berhasil menjabat Perdana Menteri Turki pada tahun 14 Maret 2003. Sikap Erdogan yang keras terhadap Israel juga merupakan manifestasi dari garis partainya yang tegas terhadap Israel. Hal ini pula yang merupakan kesamaan AKP Turki dengan PKS di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, PKS beberapa waktu lalu mengerahkan ribuan kadernya dalam demonstrasi menentang agresi Israel ke Gaza.
Erdogan dan Sekulararisme Turki
Erdogan dengan Partai AKP-nya merupakan fenomena yang relatif baru di Turki. Selama ini berpuluh-puluh tahun, Turki dikuasai oleh pemerintahan sekuler peninggalan dari Bapak Turki, Kemal Attaturk. Sekularisme menjadi konstitusi negara. Ketika AKP berkuasa, kelompok sekuler pun melawan dan melakukan aksi demonstrasi berkali-kali. Para demonstran mengkhawatirkan AKP akan menghapuskan sekularisme di Turki. Abdullah Gull yang sebelumnya menjadi Perdana Menteri dan berasal dari AKP, akhirnya tumbang dalam kemelut politik di Turki.
Sekularisme di Turki tampaknya sudah tidak lagi mendapat hati di tempat banyak rakyat di sana. Hal itu terbukti dengan menangnya usulan pemerintahan Turki yang dikuasai oleh AKP agar dilaksanakan referendum pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Gugatan tersebut dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi Turki. Dengan demikian, hal itu memungkinkan rakyat Turki langsung memilih presidennya jika hasil referendum menghendaki demikian. Hal inilah yang ditakutkan oleh kubu sekuler di sana. Jika presiden langsung dipilih oleh rakyat, maka kubu sekuler kemungkinan kalah telak. Hal ini juga bisa dilihat oleh menangnya Partai AKP yang berhaluan Islam dalam beberapa kali pemilihan umum terakhir.
Sekularisme di Turki kini hanya didukung oleh segelintir elit militer dan anggota parlemen. Sementara mayoritas rakyat Turki tampaknya sudah gerah dengan sekularisme yang membuat mereka semakin jauh dari nilai-nilai agama Islam yang mereka yakini. Aturan larangan tentang jilbab kini juga sudah direncanakan untuk direvisi. Istri Erdogan sendiri, Emine Erdogan, mengenakan jilbab. Hal ini merupakan sesuatu yang tak mungkin terjadi di masa lalu Turki yang sekuler. Saat itu, jilbab dilarang di instansi-instansi pemerintahan. Kalau perlu, militer akan bertindak jika ada yang nekat berjilbab. Kini, meski aturan larangan berjilbab belum dicabut, namun larangan itu sudah tidak digubris lagi oleh wanita-wanita muslim Turki. Seorang teman perempuan saya waktu kuliah S1 di Yogyakarta, bercerita bahwa ia bebas mengenakan jilbab saat kuliah S2 dan S3 di Angkara beberapa tahun lalu.
sejarah turki memang berliku-liku. mulai dari islam -sekuler dan insya Allah sekarang bangkit lagi menjadi islam lagi, setelah partainya ikhwanul muslimin (kalo di indonesia PKS) menjadi mayoritas di Turki.
semoga kebangkitan diturki di ikuti oleh negara2 lain, seperti mesir, mudah2an kran politik di negeri itu di buka selebar2nya, sehingga ikhwan di sana bisa berjuang dengan lebih optimal.
I LOVE ERDOGAAAAAN
“Ada hal menarik yang bisa diambil pelajaran dari sikap Erdogan. Meskipun ia bersitegang dengan Simon Peres di sebuah forum internasional yang disaksikan oleh banyak pemimpin negara dari seluruh dunia, namun ia tetap menyatakan bahwa hubungan kedua negara, Turki dan Israel, tetap tidak terganggu. Hubungan keduanya pun secara pribadi tetap terjalin dengan baik. Usai bersitegang di forum Davos itu, keduanya pun kembali bertelepon ria sebagai dua orang pimpinan negara bersahabat. Inilah sikap yang perlu dicontoh oleh para pemimpin negara kita. Perbedaan sikap politik tidak lantas melahirkan permusuhan secara pribadi.”
Seharusnya ini menjadi bukti siapa sesungguhnya erdogan, sekalipun menentang israel di forum internasional tp ttp berteman baik dg seorang pembunuh umat Islam. Bayangkan perasaan keluarga2 korbannya, mampukah mereka menerima pertemanan itu, bayangkan keluarga anda dibunuh, kemudian ada yg membela anda, mengecam si pembunuh di sebuah forum, kmdn esoknya mereka sarapan bersama dg anda. Adakah artinya pembelaan yg tlh dilakukan sblmnya?
Astaghfirullah
http://www.eramuslim.com/berita/dunia/erbakan-partai-erdogan-antek-zionis.htm
alhamdulillah,dg kebetanianmu membela islam,maka Allah akan membelamu di dunia dan akhirat.doa kami utk mu dan negaramu semg Allah limpahkan rahmat berlipat ganda.