Seorang Irshad Manji dengan bangga menyatakan dirinya seorang lesbian. Sungguh suatu fenomena yang membuat diriku bertanya-tanya: ada apa gerangan dengan feminisme? Apakah feminisme lantas melahirkan para perempuan pemberontak? Para perempuan yang memberontak terhadap tatanan norma sosial dan agamanya? Para perempuan yang membuang jauh-jauhnya kodrat mereka sebagai perempuan yang melahirkan dan mengasuh anak?
Pilihan Irshad Manji untuk menjadi seorang lesbian adalah sebuah pilihan yang sungguh berani. Lucunya, ketika dikejar dengan landasan pilihannya tersebut di dalam Alquran, ia pun akhirnya tersudut dengan hanya menjawab “Tidak tahu: apakah yang dikutuk Tuhan adalah tindakan homoseksualitas kaum Luth ataukah tindakan kekerasan seksual.” Adalah absurd menyerahkan sebuah pilihan hidup kepada sebuah ketidaktahuan.
Jika hanya Tuhan dan nurani dirinya yang menjadi sandaran hidupnya, maka ini semakin sulit untuk dimengerti. Bagaimana mungkin bisa terjadi: menjadi seorang Islam yang beriman –sebagaimana yang diklaim oleh dirinya—sementara di sisi lain ia menolak berbagai ajaran dalam Islam yang mestinya ia imani.
Bagaimana ia tahu tentang cara beriman kepada Tuhan dalam Islam jika ia tidak mempercayai Alquran dan hadis Nabi? Apakah nurani dirinya selalu berada dalam kebenaran? Bagaimana mengukur kebenaran nuraninya tersebut. Sungguh suatu yang sulit dimengerti.
Jika memang Irshad Manji dengan rendah hati menyatakan betapa sedikitnya ilmu manusia dengan ilmu Tuhan, mengapa ia juga tidak dengan rendah hati mengakui bahwa ilmu Tuhan tentu lebih luas dari dirinya sehingga Tuhan menyatakan tindakan homoseksualitas kaum Luth adalah sesuatu yang keji.
Ketika Tuhan sudah menyatakan homoseksualitas sebagai sesuatu yang keji, mengapa Irshad justru dengan bangga menjalani kehidupan sebagai lesbian? Bukakah hal itu sama saja dengan menentang Tuhan yang dipercayainya.
Jika betul bahwa hanya Tuhan yang dipercayainya, maka mestinya ia pun mempercayai apa yang dikatakan oleh Tuhan. Jika Tuhan telah menyatakan bahwa perbuatan homoseksual adalah tindakan yang keji, maka mengapa ia tidak dengan rendah hati mempercayai perkataan Tuhan tersebut?
Mungkin persoalannya, Irshad tidak betul-betul meyakini apakah betul bahwa Alquran adalah seluruhnya perkataan Tuhan? Jika memang Irshad tidak meyakini Alquran sebagai perkataan Tuhan, lantas dari mana lagi ia mempercayai kebenaran tentang Tuhan? Dari nuraninya? Sungguh sangat riskan jika kepercayaan terhadap Tuhan hanya dipasrahkan kepada nurani seorang manusia yang bisa salah.
Tampaknya, Irshad sendiri tidak konsisten dengan pilihannya untuk mempercayai hanya dua entitas: Tuhan dan nuraninya. Bagaimana ia mengenal Tuhan sesuai dengan ajaran Islam yang ia anut jika Alquran dan hadis tidak sepenuhnya ia percayai?