Sebagaimana dicatat oleh Ibnu Hibban dalam as-Sirah an-Nabawiyah wa Akhbar al-Khulafa, shalat Idul Adha pertama kali dalam sejarah Islam dilaksanakan pada tahun 2 Hijriah (624 M). Saat itu, kondisi umat Islam masih dalam kondisi belum stabil. Gangguan keamanan dari pihak musuh masih sering terjadi. Pelaksanaan Hari Raya menjadi momentum umat Islam untuk merayakan suka cita dan menunjukkan kekuatan di hadapan pihak musuh.
Sebelumnya pada tahun itu, telah banyak peristiwa besar terjadi di kalangan umat Islam. Di bulan Safar, Nabi Muhammad menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Di pertengahan bulan Sya’ban, terjadi perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis di Yerussalem ke Ka’bah di Masjidil Haram Mekkah. Masih di bulan Sya’ban, Allah menurunkan ayat tentang perintah berpuasa di bulan Ramadhan.
Konflik Militer
Memasuki bulan Ramadhan, pasukan Islam terlibat peperangan besar dan dahsyat dengan pasukan kaum kafir Quraisy, yaitu Perang Badar. Peperangan itu akhirnya dimenangkan oleh umat Islam. Meski demikian, kemenangan itu menyisakan dendam di kalangan musuh, sehingga muncul beberapa konflik militer.
Di antara konflik militer itu adalah konfrontasi dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa yang terjadi di bulan Syawal. Menurut ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa ar-Rusul wa al-Muluk, konfrontasi itu berawal ketika Nabi Muhammad mengumpulkan kaum Yahudi Bani Qainuqa di sebuah pasar.
Saat itu Nabi berpidato, “Wahai, orang-orang Yahudi semua. Takutlah dengan murka Allah sebagaimana yang telah Dia turunkan kepada orang-orang Quraisy. Marilah masuk Islam. Kalian sudah mengetahui bahwa aku adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah. Kalian menemukan hal itu di kitab kalian dan di perjanjian Allah dengan kalian.”
Orang-orang Yahudi kemudian menjawab, “Hai, Muhammad, kami tidaklah seperti kaummu yang bisa kau tipu. Kau berperang dengan kaum yang tidak mengerti tentang taktik peperangan. Pantas saja kamu bisa mengalahkan mereka (kaum kafir Quraisy dalam Perang Badar). Tapi coba kamu berperang melawan kami. Kamu akan akan tahu siapa kami!”
Menghadapi tantangan kaum Yahudi Bani Qainuqa, Nabi berangkat bersama pasukan untuk mengepung kawasan penghunian kaum Yahudi Bani Qainuqa di Madinah. Pengepungan itu berlangsung selama 15 hari. Tak ada seorang pun dari kaum Yahudi Bani Qainuqa yang bisa keluar dari kawasan mereka. Akhirnya, mereka menyerah dan menerima keputusan Nabi Muhammad untuk mengusir mereka dari kota Madinah. Nabi Muhammad menunjuk Ubadah bin ash-Shamit untuk memimpin aksi pengusiran tersebut.
Setelah berhasil mengusir kaum Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah, kaum muslimin kembali terlibat konfrontasi militer. Pada bulan Dzulqa’dah, rombongan kaum Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan dalam perjalanan pulang dari Syam. Tokoh kafir Quraisy itu masih menyimpan dendam membara atas kekalahan kaumnya dari kaum muslimin dalam Perang Badar. Ia pun bernazar, tidak akan menyentuh wanita dan minyak wangi sampai ia bisa melampiaskan dendam terhadap Nabi Muhammad.
Rombongan Abu Sufyan memasuki Madinah bersama 200 orang pasukan berkuda. Berkomplot dengan tokoh Yahudi bernama Sallam bin Misykam, rombongan itu membakar rumah-rumah penduduk dan ladang pertanian di daerah Uraidh. Gerombolan teror itu juga membunuh seorang muslim Anshar bernama Ma’bad bin Amr dan seorang pelayannya. Usai melampiaskan dendamnya, Abu Sufyan lantas kembali ke Mekkah.
Berita teror yang dilakukan oleh rombongan Abu Sufyan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Beliau lantas berangkat bersama pasukan yang terdiri 200 orang lelaki dari Anshar dan Muhajirin untuk bergegas mengejar rombongan Abu Sufyan. Sebelum berangkat, Rasulullah menyerahkan mandat kepemimpinan sementara di Madinah kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.
Mengetahui mereka sedang dikejar, rombongan Abu Sufyan semakin mempercepat pelarian. Untuk meringankan beban dan menambah kecepatan lari kuda, mereka membuang barang bawaan mereka yang kebanyakan berupa tepung gandum (sawiq). Akhirnya pengejaran itu oleh pasukan muslim tidak berhasil meringkus rombongan Abu Sufyan.
Namun pasukan muslim berhasil membawa pulang barang rampasan berupa tepung gandung (sawiq). Karena itulah, peristiwa konfrontasi militer ini dikenal dalam sejarah dengan sebutan Perang Tepung (Sawiq). Sepulang dari perang itulah dan memasuki bulan Dzulhijjah, Nabi Muhammad bersama umatnya untuk pertama kali melaksanakan shalat Idul Adha.
Teknis Perayaan Idul Adha
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahih-nya, Nabi Muhammad memberikan petunjuk kepada umatnya tentang teknis perayaan Idul Adha. Kegiatan yang dilakukan terlebih dahulu adalah shalat I’d baru kemudian menyembelih kurban. Jika penyembelihan kurban dilakukan sebelum shalat I’d, hal itu tidak menjadi ibadah kurban.
Hal itu terjadi pada Abu Burdar bin Niyar, salah seorang sahabat, yang mengaku terlanjur menyembelih seekor unta sebelum shalat Id. Namun Abu Burdah mengaku masih memiliki anak unta. Nabi Muhammad pun memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anak unta itu sebagai pengganti unta yang terlanjur disembelih sebelum shalat Id.
Dalam Tarikh Makkah karya Ibnu adh-Dhiya, disebutkan bahwa kegiatan shalat Idul Adha saat itu dilaksanakan di sebuah tanah lapang di depan rumah seorang sahabat bernama Hakim bin al-Ada. Di kawasan itu memang terdapat orang-orang yang berbisnis jasa transportasi angkutan barang dengan menggunakan ternak, seperti unta, kuda, dan keledai. Menurut as-Samhudi dalam Khulasah al-Wafa bi Akhbar Daar al-Mushtafa, di tempat shalat Idul Adha itu dibangun masjid kecil yang kini dikenal dengan nama Masjid Ali bin Abi Thalib.
Menurut riwayat Muhammad bin Ammar bin Yasir, Nabi Muhammad berangkat menuju tempat shalat Idul Adha melewati jalan utama di antara rumah-rumah besar yang terbuat dari kayu. Sedangkan pulangnya, Nabi Muhammad melewati jalan lain yang tidak dilewati sebelumnya pada saat berangkat, yaitu melewati rumah Ammar bin Yasir. Keberangkatan dan kepulangan menuju dan dari tempat shalat Id dengan melewati jalan berbeda kelak menjadi sunah Nabi yang sepatutnya diikuti oleh umatnya. Hal ini dilakukan agar semakin menambah syiar Islam.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqallani menjelaskan bahwa saat itu Nabi berkhutbah dalam keadaan berdiri tanpa menggunakan mimbar. Penggunaan mimbar dalam khutbah digunakan sejak Khalifah Marwan di era Dinasti Muawiyah. Pada era Khalifah Utsman bin Affan sempat sekali menggunakan mimbar dalam khutbah. Setelah itu, Khalifah Utsman tidak menggunakan mimbar lagi.
Menurut riwayat Ibnu Majah, seusai shalat Id dan menyampaikan khutbah, Nabi Muhammad melaksanakan penyembelihan kurban di ujung gang di jalan Bani Zuraiq. Dengan menggunakan sebilah golok yang tajam, beliau menyembelih sendiri dua ekor domba jantan berwarna putih bercampur hitam dan bertanduk. Saat menyembelih, Nabi meletakkan kakinya di leher sang domba yang sudah direbahkan.