Pada saat menghadiri prosesi akad nikah, masyarakat biasanya sering mendengar pengucapan sigat taklik oleh pengantin laki-laki. Namun sangat disayangkan, banyak masyarakat yang gagal paham dengan sigat taklik itu. Hal itu karena banyak masyarakat yang memahaminya tidak secara utuh. Mereka hanya mengingat bagian awalnya saja, yaitu apabila suami meninggalkan dan tidak memberi nafkah. Dengan memahami secara parsial itu, mereka menganggap bahwa jika suami sudah meninggalkan istri dan tidak memberi nafkah, lantas otomatis sudah terjadi perceraian.
Baca juga Perempuan Ditinggal Pergi Suami
Pemahaman itu merupakan salah kaprah yang banyak terjadi di masyarakat. Berdasarkan pemahaman seperti itulah, seorang perempuan lantas menganggap dirinya sudah tidak ada hubungan perkawinan lagi dengan suaminya. Tak ayal, perempuan itu pun ingin mendaftarkan diri untuk pernikahan ke kantor kami. Tentu saja kami tidak bisa melayaninya.
Bagaimanapun, status perceraian hanya bisa dibuktikan dengan akta cerai, akta kematian atau surat kematian. Di sisi lain, kondisi ditinggalkan dan tidak diberi nafkah bukanlah lantas menjadi faktor yang menyebabkan status perkawinan seorang perempuan menjadi otomatis bercerai dengan suaminya. Ada beberapa persyaratan lain yang harus ditempuh jika status seorang perempuan ingin diperjelas menjadi bercerai.
Pengertian Sigat Taklik
Istilah sigat taklik sendiri merupakan susunan kata majemuk (tarkib idhafah) yang berasal dari Bahasa Arab. Istilah tersebut terdiri dari dua kata, yaitu shighat dan ta’liq. Dalam kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, shighat (الصيغة) berasal dari kata shaagha-yashuughu-shaughan wa shiigatan wa shiyaghatan yang berarti membentuk atau membuat. Sedangkan kata ta’liq merupakan kata benda abstrak (isim mashdar) yang berasal dari kata allaqa-yualliqu-ta’liqan yang berarti menggantungkan.
Dengan demikian, sigat taklik bisa dipahami sebagai pernyataan seorang suami untuk menggantungkan hal-hal tertentu yang bila ia lakukan di masa mendatang akan bisa mengakibatkan jatuh talak dirinya kepada sang istri. Dengan pemahaman seperti itu, istilah yang lebih lengkap untuk digunakan adalah sigat taklik talak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 1 huruf (e), taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Sigat Taklik yang Berakibat Perceraian
Jika dipahami dengan seksama, sigat taklik yang bisa mengakibatkan perceraian itu harus memenuhi dua jenis syarat, yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif itu adalah salah satu atau lebih dari keempat hal berikut ini yang harus terpenuhi, yaitu:
- meninggalkan istri saya selama 2 tahun berturut-turut;
- tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 bulan lamanya;
- menyakiti badan atau jasmani istri saya;
- membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya selama 6 bulan atau lebih.
Selain keempat syarat alternatif itu, ada lagi syarat kumulatif, yaitu syarat-syarat yang harus semuanya harus terpenuhi yang terdiri 4 (empat) hal sebagai berikut ini:
- Istri tidak rela
- Istri mengajukan gugat ke Pengadilan Agama
- Gugatan istri diterima oleh Pengadilan Agama
- Istri membayar uang pengganti (iwadh) sebanyak Rp. 10.000, (sepuluh ribu rupiah).
Tujuan Sigat Taklik
Sigat taklik sebenarnya mempunyai tujuan baik, yaitu untuk melindungi hak-hak perempuan. Sigat taklik menjadi penting jika kemudian perempuan ditinggalkan begitu saja dan tidak diberikan hak-haknya oleh sang suami. Dengan sigat taklik, perempuan bisa mengadukan perihal dirinya tersebut kepada Pengadilan Agama. Dalam hal ini, pelanggaran atas sigat taklik menjadi salah satu alasan gugatan perceraian yang diterima oleh Pengadilan Agama.
Dalam hukum perkawinan Islam, hak talak itu memang ada di tangan suami. Meski demikian, bukan berarti perempuan tidak memiliki hak untuk memutuskan perceraian. Hak tersebut diwujudkan dalam format sigat taklik. Ketika terjadi pelanggaran sigat taklik, perempuan lantas bisa mengadukan ke Pengadilan Agama. Setelah melalui proses sidang pengadilan, hakim yang kemudian menjatuhkan putusan perceraian.
Regulasi tentang Sigat Taklik
Dalam sejarah Islam di Indonesia, sigat taklik sebenarnya sudah diterapkan di kerajaan-kerajaan Islam zaman dulu. Hal ini diperlukan karena masih sering terjadi peperangan yang mengakibatkan seorang suami meninggalkan istri dalam jangka waktu yang lama. Dalam kondisi seperti itu, seorang istri perlu membutuhkan kepastian tentang status perkawinannya.
Setelah terbit Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, perempuan relatif memiliki perlindungan secara hukum. Meskipun tanpa sigat taklik, perempuan tetap bisa mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama ketika ia merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya.
Terkait dengan sigat taklik dan perkembangan regulasi yang ada, MUI juga mengeluarkan fatwa yang tertanggal 7 September 1996. Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa pengucapan sigat taklik setelah akad nikah tidak diperlukan lagi. Hal ini dikuatkan kembali dengan Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/HK.00/074/2008 tanggal 30 Juli 2008. Surat Edaran tersebut di antaranya berisi bahwa pembacaan sighat taklik tidak wajib dibaca oleh pengantin pria, dan cukup ditandatangani. Hal itu karena pembacaan sigat taklik dianggap mengganggu kekhidmatan pelaksanaan proses akad nikah itu sendiri.