Saat ini, kita dihujani oleh banyak sinetron yang bertema Ramadhan. Banyak Production House (PH) berlomba memproduksi tayangan, baik berupa sinetron, komedi, talk show, dan lain, yang mengusung tema-tema religius. Tentu saja tak ketinggalan, mereka juga menampilkan para artis yang cantik dan ganteng untuk terlibat dalam tayangan-tayangan tersebut. Hampir semua stasiun televisi berupaya menangguk rezeki dengan menyuguhkan tayangan-tayangan rutin setiap tahun itu.
Ada yang sedikit mengusik hati saya dalam tayangan-tayangan tersebut. Mungkin juga keterusikan itu tidak hanya dialami oleh diri saya. Mungkin saja banyak orang yang merasakannya. Tengok saja, sinetron atau komedi yang ada di beberapa stasiun televisi.
Mereka yang sebelumnya menjalani kehidupan mereka sebagai artis yang glamour, tiba-tiba merubah penampilan mereka menjadi berkerudung, berjilbab, mengenakan surban dan kopiah. Penampilan mereka sungguh bertolak belakang dengan kehidupan mereka di luar Ramadhan. Kita seolah melihat sekumpulan orang bertopeng yang menutupi jati diri mereka yang sebenarnya.
Ambil contoh, Nia Ramadhani, artis remaja yang beberapa bulan lalu dihebohkan dengan fotonya yang begitu seksi. Dalam foto itu, Nia mengenakan baju renang dipangku oleh dua orang laki-laki. Foto itu tersebar luas di internet. Dalam keseharian pun, Nia tidak pernah terlihat mengenakan jilbab atau kerudung. Namun, saat di bulan Ramadhan, dengan santun, ia mengenakan jilbab dalam sebuah sinetron.
Contoh lain, Titi Kamal. Artis cantik yang selama ini sering mengenakan pakaian dengan dada terbuka. Di samping itu, ia pun terlibat hubungan asmara dengan seorang artis beken nan ganteng, Christian Sugiono, yang notabene non muslim. Nah, saat di bulan Ramadhan, tak ketinggalan, Titi Kamal menjadi seorang perempuan yang dengan anggun mengenakan busana jilbab dalam sinetron Muslimah.
Profesi Artis (Mestinya) juga Bagian Ibadah
Apa yang bisa kita renungkan dengan fenomena ini? Dari sudut pandang dunia film, memang wajar bagi seorang artis untuk memerankan apapun peran yang ada di film. Dengan alasan profesionalitas, seorang artis rela memamerkan aurat demi tuntutan peran. Sebaliknya, seorang artis pun dengan begitu anggun mengenakan jilbab di dalam sinetron, meskipun dalam kehidupan sehari-harinya ia tidak pernah mengenakan jilbab.
Sejatinya, kehidupan dunia adalah panggung luas tempat kita memerankan peranan yang mestinya disesuaikan dengan skenario yang telah dibuat oleh Sang Pencipta. Seseorang saat melakukan sesuatu apapun, termasuk profesi di dunia entertainment, adalah bentuk ibadah atau pengabdian kepada Sang Maha Sutradara, Tuhan Yang Maha Indah.
Karena sebagai ibadah itulah, seseorang harus menyesuaikan tingkah lakunya, termasuk saat ia bekerja sebagai artis, dengan tuntutan perannya sebagai hamba Sang Kuasa. Ketika Tuhan memerintahkan wanita untuk memelihara kehormatan dirinya dengan menutup aurat, maka perintah itu pun berlaku saat ia bekerja di dunia akting.
Selain sebagai ibadah, seseorang muslim mestinya juga menempatkan segala aktivitas di tengah masyarakat, termasuk saat ia bekerja di dunia akting, dalam kerangka pembelajaran atau dakwah kepada masyarakat. Karena itulah, saat seorang artis muslim memainkan perannya di dunia film, saat itu pula ia seyogianya menjadikan perannya itu sebagai bentuk contoh bagi masyarakat.
Begitu pula saat ia memerankan sebagai seorang muslimah yang dengan taat menjalankan ajaran-ajaran agama, termasuk dengan mengenakan jilbab. Berbusana dengan jilbab adalah bentuk pesan kepada masyarakat bahwa seperti itulah seorang muslimah seharusnya berbusana dalam kehidupannya sehari-hari.
Lantas bagaimana jadinya, jika pesan itu disampaikan oleh seorang artis yang sehari-harinya justru tidak pernah mengenakan jilbab dan jarang shalat, misalnya? Hal itu seolah menjadi sebuah kemunafikan yang begitu mengiris hati bagi masyarakat yang menonton tayangan-tayangan tersebut. Seolah tidak nyambung antara pesan yang ingin disampaikan oleh sang artis dengan perilakunya sehari-hari. Jika, sudah demikian, mungkin agak berlebihan jika kita mengharapkan tujuan penting tayangan Ramadhan sebagai media dakwah bisa tercapai.
Tapi, mungkin pula, bagi para produser pemilik PH itu, tujuan dakwah tidaklah termasuk dalam kalkulasi bisnis mereka. Momen Ramadhan tak lebih dari sekedar ajang bisnis yang bisa digunakan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Apalagi kebanyakan para pemilik PH yang besar bukanlah orang muslim. Dengan demikian, bagaimana mungkin, mengharapkan mereka sudi menggarap tayangan-tayangan yang memang sesuai dengan ajaran Islam?
Mungkin yang termasuk dalam kalkulasi mereka adalah bagaimana menampilkan artis cantik atau ganteng yang sedang naik daun agar tayangan produksi mereka bisa laris di pasaran. Persetan amat apakah para artis itu dalam kehidupan sehari-harinya menjalankan ajaran agamanya atau tidak. Bahkan justru terkadang artis yang dipakai pun adalah mereka yang non muslim yang tidak mengerti apa-apa tentang Islam. Sungguh ironis memang.
Hal ini tentu bisa menjadi PR besar bagi para sineas muslim yang masih memiliki spirit dakwah. Mungkin kita tidak perlu terlampau berkecil hati dengan fenomena tersebut. Betapapun, Dedi Mizwar, dengan sinetron Para Pencari Tuhan, sudah mampu menelurkan sinetron berkualitas yang sedikit banyak sesuai dengan tuntunan agama.
Memang seyogianya, para pemain sinetron religius itu berperan sebagai para penyampai pesan agama yang mereka sendiri sudah melakukan pesan itu terhadap diri mereka sendiri. Dengan demikian, sinetron tidak hanya menampilkan para artis secara asal-asalan: yang penting cantik dan ganteng.
Musik Ramadhan
Dalam jagat musik pun, momen Ramadhan betul-betul menjadi bahan garapan para pemusik. Seolah latah, para pemusik berbondong-bondong meliris album religius yang mengagungkan Tuhan. Kita seolah menonton orang-orang yang menyeru keagungan Tuhan, namun mereka sendiri justru mengkhianati Tuhan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimana tidak, dalam kehidupan sehari-hari mereka justru jarang atau tidak pernah menjalankan perintah-perintah Tuhan.
Pesan religius yang dibuat oleh para pemusik tersebut, tentu saja akan menjadi berkurang maknanya jika sang pemusik sendiri tidak melaksanakannya di kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimana para pendengar mau tergerak untuk mengagungkan Tuhan, jika para pemusik itu sendiri diketahui masyarakat sebagai orang-orang yang tidak menjalankan ajaran-ajaran Tuhan dengan baik?
Tapi ada baiknya pula kita harus ber-husnuzhan, berpandangan positif. Mudah-mudahan karya musik mereka betul-betul bisa memberikan inspirasi bagi para pendengarnya untuk tunduk kepada Yang Maha Kuasa. Tapi, sebelum kepada para pendengar yang menikmati karya musik mereka, terlebih dahulu seruan lirik yang mereka buat adalah pesan untuk mereka sendiri. Wallahu a’lam.