Di Pengungsiaan

Tak terasa aku dan keluarga telah enam hari berada di pengungsiaan. Banjir yang merendam rumahku dan sekitarnya membuatku serta keluarga harus mengungsi ke tempat yang aman. Pilihan tempat aman itu jatuh pada rumah, tepatnya gudang, yang dihuni oleh pembantu kami selama ini. Berjejalan di tempat yang sempit membuat interaksi kami begitu intens. Kini aku sekeluarga telah kembali ke rumah. Meski barang-barang masih banyak yang belum dibereskan.
Bulan Desember betul-betul bulan cobaan bagi kami. Berturut-turut terjadi: ibu mertuaku ditabrak motor hingga sekarang sudah dua minggu dalam kondisi koma di ruang ICU RS Mitra Cirebon; banjir menerjang desaku, termasuk rumahku; istriku tertusuk bekas tusuk sate di kaki hingga harus dibawa ke rumah sakit untuk divaksin anti tetanus; aku tergolek lemah diterjang demam karena kecapekan usai membereskan rumah paska banjir; adik sepupuku jatuh dari motor hingga mukanya penuh luka.
Bulan Desember memang seringkali meninggalkan cerita pilu. Tahun 2003 lalu, di bulan Desember, banjir besar juga melanda hampir separuh Indramayu. Saat itu, di rumahku ketinggian air sekitar 1,5 meter. Tsunami di Aceh juga terjadi pada bulan Desember.
Apa yang bisa diambil hikmahnya atas semua kejadiaan ini? Ternyata kita memang harus banyak bersyukur. Betapapun banyak musibah menimpa diri kita, ternyata masih banyak anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta. Sayang kita seringkali gagap untuk mencermati anugerah-Nya. “Andai kau menghitung nikmat Allah, kau tak kan pernah mampu melakukannya.” Begitu firman-Nya dalam Alquran.
Bulan November lalu, istriku diterima sebagai CPNS. Bukankah itu sebuah nikmat-Nya? Masih banyak anugerah dan nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Ketika aku di pengungsiaan, aku pun trenyuh. Betapa rumah yang lebih tepat disebut gudang ukuran 5 x 3 meter harus dijejali lima orang. Ternyata rumahku jauh lebih baik dari rumah itu. Bukankah hal itu harus membuatku banyak bersyukur?–>

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

1 Komentar