Dan Setan Pun Enggan Disalahkan

Pada dasarnya manusia memang diciptakan oleh Tuhan dengan fitrah mencintai kebenaran dan membenci kejahatan. Karena itulah, saat manusia terpojok dan terancam mendapatkan hukuman karena kejahatan yang ia lakukan, ia bisa dengan mudahnya menyalahkan orang lain, mencari kambing hitam. Dengan demikian, manusia berharap ia tetap dianggap sebagai orang yang baik.

Al-Quran (QS. Ibrahim: 21-22) memberikan ilustrasi yang begitu indah tentang tingkah polah manusia seperti itu saat di alam akhirat. Ketika manusia memasuki alam akhirat, mereka pun dikumpulkan untuk diadili oleh Tuhan Yang Maha Adil. Semua bukti-bukti perbuatan manusia saat di dunia dibeberkan. Baik dan buruk, semuanya dibeberkan dengan transparan. Tak ada bukti yang disembunyikan dan tak ada yang terlewatkan.

Meski semua bukti sudah dibeberkan dengan sangat gamblang dan telak, tetap saja manusia enggan disalahkan. Kalaupun manusia mengakui kesalahannya, ia enggan disalahkan sendirian. Ia menyeret-nyeret orang lain. “Aku kan mengikuti perintah dan petunjuk atasanku,” dalihnya. “Tolong dong bagaimana caranya agar saya bisa diselamatkan.”

Sang atasan juga ternyata tak mau disalahkan. “Gimana saya bisa menyelamatkan kalian, saya sendiri juga nggak tahu bagaimana caranya agar bisa selamat?!” demikian sanggah sang atasan. “Sudahlah! Mau protes macem-macem atau diam dengan sabar, sama saja buat kita. Toh, kita sudah tak punya tempat untuk melarikan lagi”

Bahkan ketika vonis Tuhan sudah dijatuhkan, dan manusia harus menjalani sanksi hukuman di neraka, ia masih berupaya menyalahkan pihak lain. “Kesalahan ini gara-gara setan! Dasar setan terkutuk!” umpat si manusia. “Hei, setan, gimana tanggung jawab kamu?! Ayo selamatin aku, dong! Kan aku dulu mengikuti kamu.”

“Enak saja!” protes setan dengan sengit. “Jangan memaki-maki, dong! Jangan menyalahkan aku. Salahkan diri kamu sendiri. Aku kan hanya mengajak kalian untuk berbuat jahat. Salah sendiri, mengapa kamu mau menuruti ajakanku. Terus terang aja, ya. Sebenarnya, aku juga nggak setuju dengan perbuatan jahat yang kalian lakukan. Jadi, kesalahan kalian jadi tanggung jawab kalian sendiri. Aku nggak bisa membantu kalian sedikit pun!”

Demikianlah ilustrasi yang diungkap dalam Kitab Suci-Nya. Seperti itu pula yang terjadi di dunia. Kasus Nazarudin yang sekarang heboh juga bisa dijadikan bahan renungan. Tersangka kasus suap Sesmenpora itu sempat melarikan diri dari. Dalam pelariannya, ia menyeret-nyeret banyak orang, termasuk atasan dan koleganya di Partai Demokrat. Nazar tak mau disalahkan sendirian.

Tapi ketika sudah tertangkap dan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nazar ternyata bungkam. Ia mengaku lupa terhadap tudingan-tudingan yang sudah ia lemparkan ke publik saat dalam pelariannya. Aneh bin ajaib. Seperti orang yang tak pernah mengenyam pendidikan, ia justru melemparkan tawaran yang aneh: Ia ingin langsung dihukum tanpa proses pengadilan, dan tak kan menyeret-nyeret teman-temannya di Partai Demokrat, asal anak dan istrinya selamat.

Padahal di negara hukum, orang yang tertangkap basah melakukan kejahatan sekalipun, ia tidak boleh langsung dihukum tanpa ada proses pengadilan. Di samping itu, prinsip hukum sudah jelas: setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Seseorang tak bisa menanggung kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Sungguh tidak adil, jika kesalahan seseorang bisa dialihkan tanggung jawabnya kepada orang lain.

Tapi yang jelas, Nazarudin kini sedang menjalani peradilan dunia yang mungkin bisa diintervensi. Kelak, di peradilan Tuhan, Nazar akan menjalani peradilan Tuhan yang tak mungkin bisa diintervensi. Saat itu, ia bisa saja menyalahkan atasan atau teman-temannya di Partai Demokrat. Bahkan ia bisa saja menyalahkan setan atas kejahatan korupsi yang disangkakan dilakukan olehnya. Namun teman, atasan, dan setan pasti juga memprotes dan tak mau disalahkan begitu saja oleh Nazar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

3 Komentar