Setiap orang yang menikah tentu ingin pernikahannya langgeng dan diliputi kebahagiaan. Namun faktanya, tidak semua pernikahan itu bisa bertahan dari hantaman gelombang kehidupan hingga berujung di perceraian. Tidak semua orang yang mengayuh biduk rumah tangga diselimuti oleh kebahagiaan. Mengapa hal itu terjadi? Mungkin ada beberapa hal yang luput untuk dilakukan oleh pasangan rumah tangga.
Kebahagiaan dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia harus diupayakan dengan sekuat tenaga. Rumah tangga bahagia bukanlah berarti rumah tangga yang tak pernah tidak terjadi masalah dan konflik. Rumah tangga bahagia bukanlah karena suami istri yang sempurna, tapi justru karena menyadari ketidaksempurnaan. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan jika ingin pernikahan tetap awet dan bahagia.
Realistis dan Saling Menyadari Ketidaksempurnaan
Hal pertama yang sering tidak disadari oleh pasangan rumah tangga, terutama bagi pasangan muda, adalah ketidaksempurnaan pasangannya. Tentu saja mereka mengetahui bahwa manusia memang tidak ada yang sempurna. Tapi belum tentu mereka menyadari sepenuh hati tentang ketidaksempurnaan itu. Mengapa mereka dikatakan tidak menyadari? Hal itu tercermin dalam sikap dan cara pandang seseorang terhadap pasangannya.
Saat baru memasuki gerbang pernikahan, banyak pasangan muda yang membayangkan tentang konsep ideal suami istri. Bagi seorang suami, mungkin terbayang dalam benaknya bahwa ia akan senantiasa dilayani dengan sepenuh hati oleh sang istri. Bagi seorang istri, mungkin tercetak dalam pikirannya bahwa ia akan senantiasa dinafkahi dan dilindung oleh sang suami.
Namun kenyataan manusia tidaklah seindah bayangan yang ada dalam benak mereka. Ternyata seorang istri juga bisa capek dan marah. Seorang suami juga bisa saja pulang dari tempat kerja tanpa membawa uang sepeser pun. Kondisi inilah yang harus diterima dengan lapang dada oleh suami dan istri. Tidak mudah menyalahkan dan mudah tersulut emosi ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Jangan Banyak Menuntut
Salah satu yang sering kali menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah tangga adalah sikap banyak menuntut kepada pasangannya. Padahal pasangan kita tetaplah manusia biasa yang tidak sempurna. Dia juga bisa salah dan lalai dengan kewajibannya. Mengingatkan pasangan akan kewajibannya tentu sesuatu yang baik. Tapi perhatikan pula caranya. Ingatkan dengan cara yang baik dan manusiawi. Pasangan kita juga punya hati dan perasaan. Cara yang kasar dan tidak menghargai tentu akan melukai perasaan pasangan kita.
Tuntutan yang berlebihan bahkan tidak realistis sering kali dilakukan pasangan dalam rumah tangga. Ironisnya, hal itu sering tidak disadari. Bagi seorang istri, menuntut suaminya untuk selalu memenuhi semua kebutuhan yang kita minta adalah sikap yang tidak realistis. Apalagi bagi pasangan muda yang masih belum memiliki sumber penghasilan yang tetap dan mencukupi.
Begitu pula bagi seorang suami. Menuntut sang istri agar bisa selalu melayaninya sesuai dengan apa yang ia minta adalah sikap yang juga tidak realistis. Bagaimanapun istri bukanlah dayang-dayang dalam dalam istana raja seperti dongeng di zaman dulu. Istri kita juga adalah perempuan biasa yang juga bisa lelah, stres, dan marah.
Saling Terbuka
Keterbukaan akan menyingkirkan kecurigaan. Sebaliknya, sikap tidak terbuka akan melahirkan kecurigaan. Terutama di dalam hal keuangan, keterbukaan menjadi faktor yang sangat penting agar rumah tangga terhindar dari konflik-konflik kecil karena kecurigaan yang tidak perlu. Memang setiap pribadi memiliki kebutuhan hidup masing-masing. Terkadang ada hobi dan kesukaan tertentu yang memerlukan dana. Bahkan terkadang dana yang dibutuhkan cukup besar. Di situlah, keterbukaan menjadi sangat penting.
Memang tidak selalu sikap saling terbuka itu menimbulkan kebaikan. Untuk hal-hal tertentu yang terkait dengan masa lalu yang buruk tidak perlu juga semuanya dibuka. Apalagi jika hal itu akan menimbulkan pertikaian dan sakit hati bagi pasangan kita. Begitu pula untuk pengeluaran-pengeluaran kecil yang tidak mengganggu stabilitas ekonomi rumah tangga. Hal itu tidak perlu juga harus dijelaskan dengan gamblang kepada pasangan.
Saling Mengingatkan dalam Kebaikan
Pernikahan yang berbahagia berkait pula dengan kebaikan dalam pola perilaku di rumah tangga. Mustahil akan terwujud kebahagiaan jika pola relasi rumah tangga penuh dengan keburukan dan kejahatan. Tidak ada ceritanya pasangan suami istri perampok yang berbahagia. Karena itulah, kebahagiaan itu harus dibangun di atas kebaikan. Dengan kata lain, berbuat baiklah dengan tulus kepada pasangan kita dan orang-orang di sekeliling kita, maka kebahagiaan itu akan memenuhi setiap sudut rumah tangga kita.
Sebagai manusia biasa, pasangan kita bisa saja melakukan kesalahan. Ketika kesalahan itu terjadi, segera diingatkan dengan cara yang baik. Jika kesalahan dilakukan oleh sang istri, sang suami mengingatkan dan membimbingnya dengan cara yang baik. Jika kesalahan itu dilakukan oleh sang suami, sang istri pun juga tidak sungkan untuk mengingatkan.
Tapi tetap harus dicamkan baik-baik oleh setiap pasangan rumah tangga. Mengingatkan dalam kebaikan bukan berarti mencaci maki dan mengeluarkan sumpah serapah. Mengingatkan itu bukan berarti menumpahkan segala amarah ketika pasangan melakukan kesalahan. Selama kesalahan yang dilakukan itu bukan hal-hal yang fatal, sebaiknya seorang istri memaafkan kesalahan sang suami dan mengingatkan agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama. Begitu pula sebaliknya bagi seorang suami saat menemui si istri melakukan kesalahan.
Jangan Keras Kepala
Membangun rumah tangga berarti menyiapkan diri sebagai pribadi yang lapang dada. Mengarungi bahtera rumah berarti menyediakan diri untuk saling mengerti dan memahami terhadap pasangan masing-masing. Sikap merasa menang dan benar sendiri adalah sikap yang harus dibuang jauh-jauh jika ingin rumah tangganya adem dan tenteram.
Seorang suami tidak perlu merasa kalah jika pendapatnya memang salah. Seorang suami harus siap bersikap legawa ketika pendapat sang istri yang benar dan digunakan dalam pengambilan keputusan. Begitu pula sebaliknya, saat pendapat sang suami yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Hal itu bukan berarti sang istri merasa bahwa pendapatnya tidak dihargai.
Orang yang mempunyai karakter keras kepala, mau menang sendiri, dan tidak menghargai pendapat orang lain, niscaya tidak akan memiliki relasi yang baik dengan siapapun, termasuk terhadap pasangannya sendiri. Kalau pun ia bisa bertahan dalam rumah tangganya, maka rumah tangga yang ia jalani kemungkinan besar tidak akan bisa bertahan lama. Kalaupun rumah tangga itu bisa bertahan lama, hal itu pasti yang terjadi di dalamnya adalah perselisihan yang tak berkesudahan.
Membiasakan Kemesraan
Kemesraan itu adalah salah satu manifestasi cinta dalam rumah tangga. Memang tidak semua orang bisa bersikap mesra dan romantis. Tetapi akan terasa indah jika pasangan saling bersikap mesra satu sama lain. Kemesraan itu tidak selalu berarti sikap lebay seperti yang terjadi dalam sinetron dan film. Kemesraan itu bisa saja dalam manifestasi sederhana, seperti berpamitan saat hendak berangkat kerja kepada pasangannya.
Kemesraan itu menjadi salah satu faktor penting untuk memupuk rasa cinta dan saling terikat antara pasangan suami istri. Bersikap mesra bisa meluluhkan rasa marah dan kesal dan pasangan kita. Apalagi jika pasangan kita disibukkan dengan rutinitas yang melelahkan, seperti sang istri yang sibuk mengurus anak yang masih kecil. Atau misalkan bagi seorang suami yang lelah dengan pekerjaannya di kantor.
Hindari Long Distance Relationship (LDR)
Berumah tangga berarti membangun kehidupan bersama, bukan kehidupan yang tidak bersama, yang terpisah oleh jarak yang jauh dan waktu yang lama. Rumah tangga yang pasangannya saling hidup terpisah akan banyak menimbulkan masalah. Kalaupun harus terjadi perpisahan karena masalah pekerjaan misalnya, bukan berarti hal itu menjadi pilihan permanen yang harus dijalani sepanjang masa berumah tangga. Keterpisahan itu menimbulkan peluang yang besar bagi munculnya orang lain di antara hubungan berdua suami istri. Pria idaman lain (PIL) dan wanita idaman lain (WIL) akan muncul tanpa disadari saat peluang itu terbuka lebar karena adanya keterpisahan.
Di sisi lain, keterpisahan itu akan mengurangi rasa keterikatan antara satu sama lain. Semakin lama keterpisahan akan semakin memudar rasa keterikatan dan saling membutuhkan. Hubungan jarak jauh harus segera dihentikan jika ingin rumah tangganya diliputi kebahagiaan dan ketenteraman. Dalam bahasa agama, sakinah (ketenangan), mawaddah (rasa cinta), dan kasih sayang (rahmah), itu akan sulit terwujud jika sebuah rumah tangga dijalani dengan terus-menerus dalam kondisi saling berpisah.
Konsekuen dengan Hak dan Kewajiban
Ketika sepasang insan bersepakat untuk membangun rumah tangga, saat itu pula ada hak dan kewajiban yang melekat dalam diri keduanya. Rumah tangga tidak akan bisa berjalan dengan baik dan berbahagia jika hak dan kewajiban tidak dilakukan dengan konsekuen oleh pasangan masing-masing. Dalam umumnya kebudayaan Timur, seorang suami memiliki kewajiban untuk mencari nafkah. Sedangkan seorang istri memiliki kewajiban untuk menjaga rumah tangganya saat ditinggal oleh suami bekerja.
Konsep seperti itu bukan berarti lantas dipahami bahwa suami tidak perlu lagi bekerja mencari nafkah jika sang istri sudah bekerja. Begitu pula sebaliknya, istri tidak perlu menjaga rumah tangganya jika ia sudah bekerja mencari nafkah. Bagaimana pun konsep dasarnya tetap harus dijalani: suami mencari nafkah, dan sang istri menjaga rumah tangga.
Ketika sang suami belum mampu mencari nafkah dengan baik sehingga bisa mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga, bukan berarti sang istri tidak boleh membantu mencari nafkah. Sang istri tetap boleh bekerja tanpa harus menghilangkan kewajibannya untuk mengurus rumah tangga. Sebaliknya, sang suami yang belum mampu mencari nafkah yang cukup, bukan berarti ia lantas berhenti dan berpangku tangan. Betapapun seorang suami yang malas bekerja mencari nafkah, sementara istri yang bekerja, niscaya rumah tangganya akan terasa pincang. Pertengkaran dan perselisihan akan terus terjadi tak berkesudahan.
Jangan Mengungkit-ungkit Masa Lalu
Setiap orang pasti memiliki masa lalu. Tidak semua masa lalu yang dimiliki seseorang adalah masa lalu yang gilang gemilang tanpa noda belang. Hal inilah yang harus betul-betul disadari dan diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Orang mungkin menyadari bahwa masa lalu itu tidak perlu diungkit-ungkit. Tetapi sikap dan cara bertutur yang senantiasa mengorek-ngorek dan mengait-ngaitkan dengan masa lalu pasangannya, hal itu menunjukkan bahwa ia belum move on dari masa lalu.
Karena itulah, masa lalu dijadikan pelajaran, bukan dijadikan alasan menyalah-nyalahkan pasangan. Ketika terjadi kesalahan yang dilakukan saat ini, bukan berarti hal itu lantas serta-merta dikaitkan dengan masa lalu pasangan kita. Membongkar masa lalu bisa menjadi seolah membangkitkan macan yang sedang tidur. Sesuatu yang telah terjadi di masa lalu tidak akan bisa diubah. Tetapi masa depan masih bisa berubah dan terbuka luas bagi kita untuk membuatnya menjadi bahagia atau menderita.
benar sekali, memang harus saling mengerti dan saling mendukung, terima kasih sharingnya, sangat bermanfaat.
Sama-sama,Mbak Riska.Terima kasih juga sudah berkunjung.